Wakaf secara bahasa adalah menahan, sebagaimana dalam surat ash-Shâffât ayat 24, artinya, “Tahanlah mereka (di tempat penghentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya”. Sedangkan secara istilah, wakaf yaitu; Menahan pokok benda suatu barang lalu hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan Islam.

Wakaf telah disyari’atkan dalam Islam pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, kemudian syari’at ini diteruskan oleh para shahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dari generasi ke generasi hingga sekarang.

Salah seorang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Umar telah memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata, “Aku telah mendapatkan bagian tanah, yang mana saya tidak memperoleh harta yang paling berharga bagiku selain sebidang tanah ini, maka apa yang akan engkau perintahkan kepadaku dengan sebidang tanah ini?” Lalu beliau bersabda, “Jika engkau menghendaki wakafkanlah tanah tersebut (engkau tahan tanahnya) dan sedekahkan hasilnya,” Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu menyedekahkan hasilnya. Sungguh tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan, tetapi diinfakkan hasilnya untuk fuqara`, kerabat, untuk membebaskan budak, untuk kepentingan di jalan Allah subhanahu wata’ala, untuk menjamu tamu dan untuk ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan). Tidak ada dosa bagi yang mengurusinya, apabila dia memakan sebagian hasilnya secara ma’ruf, atau memberi makan temannya tanpa menimbun hasilnya. (HR.al-Bukhari no.2565, Muslim no.3085).

Dalam hadits lain tentang pensyari’atan wakaf, sebagaimana yang dituturkan oleh Anas Bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang di Madinah, beliau menyuruh para shahabat untuk membangun masjid, lalu beliau berkata, “Wahai Bani Najjar! Juallah kebunmu ini kepadaku!” Lalu Bani Najjar berkata, “Tidak, demi Allah tidaklah kami menjual tanah kebun ini, kecuali untuk Allah (diwakafkan)”. (HR. al-Bukhari)

Keutamaan Berwakaf.

Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata, “Wakaf adalah sedekah yang paling mulia. Allah subhanahu wata’ala menganjurkan nya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi yang berwakaf, karena sedekah berupa wakaf tetap terus mengalirkan kebaikan dan maslahat. Adapun keutamaannya sebagai berikut;

Pertama; Menebarkan kebaikan kepada pihak yang memperoleh hasil wakaf dan orang yang membutuhkan bantuan, seperti fakir miskin, anak yatim, janda, orang yang tidak punya usaha dan pekerjaan, atau untuk orang yang berjihad di jalan Allah subhanahu wata’ala, untuk para pengajar dan penuntut ilmu, atau untuk pembantu dan untuk pelayanan kemaslahatan umum.

Ke dua; Merupakan amal kebaikan bagi pewakaf, karena dia menyedekah kan harta yang barangnya tetap utuh, tetapi pahalanya mengalir terus, sekali pun pewakaf sudah putus usahanya, karena telah meninggal dunia.

Hukum Wakaf

Wakaf hukumnya sunnah, berdasarkan hadits di atas dan juga hadits berikut ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 perkara; sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang mendo’akannya”. (HR.Muslim 3084). Syaikh Ali Bassam berkata, “Yang dimaksud dengan sedekah jariyah dalam hadits ini adalah wakaf.”

Wakaf sudah dianggap berlaku dengan salah satu dari tiga cara berikut ini:

Pertama; Perbuatan, misalnya, seseorang membangun sebuah masjid kemudian dia izinkan orang lain untuk shalat di situ, atau membangun sekolah dan lain sebagainya.

Ke dua; Perkataan, misalnya “aku wakafkan barang ini” atau “aku sedekahkan hasil barang ini” atau ungkapan lain yang semakna.

Ke tiga; Wasiat, misalnya bila aku wafat, maka aku wakafkan rumah ini.

Harta yang diwakafkan sebaiknya tercatat dan diketahui oleh seorang saksi atau lebih, hal ini dilakukan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Landasan tentang hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ketika ibu Sa’ad Bin Ubadah meninggal dunia, dia (Sa’ad) tidak berada di sampingnya, lalu dia datang melapor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Ya Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia, ketika itu saya tidak berada di sisinya. Apakah bermanfaat kepadanya bila saya bersedekah atas namanya?” Jawab beliau, “Ya tentu (bermanfaat).” Lalu Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya aku menjadikan engkau sebagai saksi, bahwa pekarangan yang banyak buahnya ini aku sedekahkan (atas nama) ibuku”. (HR. al-Bukhari 2551).

Status Harta Wakaf

Harta benda yang sudah diwakafkan tidak boleh dihibahkan pada orang lain, tidak boleh diwariskan kepada ahli waris, tidak boleh diperjual belikan, sebab pada hakikatnya harta wakaf itu sudah bukan milik pewakaf lagi dan sudah berpindah tangan dalam soal kepemilikan. Imam Syafi’i berkata, “Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan pewakaf menahan pokok harta yang diwakafkan tersebut dan memanfaat- kan hasilnya, maka itu menunjukkan bahwa harta yang sudah diwakafkan bukan milik pewakaf lagi (al-Umm). Abu Yusuf dan Muhammad berkata, “Harta bila sudah diwakafkan maka tidak lagi menjadi milik pewakaf, tetapi dia hanya berhak menahan pokoknya agar tidak berpindah tangan kepada orang lain. Oleh karena itu, bila pewakafnya meninggal dunia, maka ahli warisnya tidak mewarisi harta wakaf tersebut.” (al-Mabsuth).

Hukum asal harta benda wakaf tidak boleh dicabut kecuali bila tidak dimanfaatkan, atau diabaikan amanatnya, maka boleh mencabut wakafnya untuk dialihkan kepada yang lebih bermanfaat. Syaikh Muhammad Amin berkata, “Seharusnya pewakif tidak mencabut wakafnya, kecuali sebelumnya dia membuat syarat apabila harta wakafnya tidak dimanfaatkan atau merasa diabaikan amanahnya; maka pewakaf boleh mencabut wakafnya.”

Jenis Harta yang Bisa Diwakafkan

  • Tanah Kosong. Sebagaimana Bani Najjar mewakafkan tanah mereka untuk membangun masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di kota Madinah. Tentu saja tanah wakaf tidak hanya dipergunakan untuk masjid, tapi bisa untuk sekolah, rumah sakit, dan lain-lain yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Dan tanah wakaf tidak dipergunakan untuk kemaksiatan, seperti untuk membangun bioskop, tempat perjudian, pelacuran dan lain sebagainya.

  • Peralatan Perang. Sebagaimana Khalid radhiyallahu ‘anhu mewakafkan baju perang nya untuk berjihad di medan perang fi sabilillah. (HR.al-Bukhari, No.1375)

  • Alat Transportasi. Amr bin al-Harits radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau tidak meninggalkan dirham, tidak pula dinar, tidak pula budak pria dan wanita, dan sedikit pun beliau tidak meninggalkan harta selain keledai putihnya, senjata, dan tanah, Beliau mewakafkan semua miliknya itu. (HR.al-Bukhari No.2661).

  • Sumber Mata Air, seperti sumur atau yang lainnya. Utsman Bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke kota Madinah. Beliau tidak menjumpai air tawar, melainkan sebuah sumur namanya “rumah”, lalu Beliau berkata, “Barang siapa yang mau membeli sumur ini dengan uangnya sendiri, sehingga timba yang diletakkan di dalamnya sebagai timbanya kaum muslimin, maka dia mendapat imbalan yang lebih baik di sorga”. (HR. Ahmad No.524, Tirmizi No. 3636, Nasa`i No.3551)

  • Kebun buah-buahan berikut hasilnya. Sa’ad Bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia, ketika itu saya tidak berada di sisinya, apakah bermanfaat kepadanya bila saya bersedekah atas namanya?” Jawab beliau, “Ya tentu (bermanfaat) . Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya aku menjadikan engkau sebagai saksi, bahwa pekarangan yang banyak buahnya ini aku sedekahkan atas nama ibuku”. (HR. al-Bukhari No.2551).

(Isnen Azhar, Lc) Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 05/VIII/1425H/2004M.