Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang….” (Ali Imran: 134).

Dan Firman Allah Subhanahu Wata’ala :

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36).

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.

“Bukanlah orang yang kuat itu adalah orang yang suka bertindak dengan kekerasan, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Adab, Bab al-Hadzr Min al-Ghadhab, 10/518, no. 1114; dan Muslim, Kitab al-Birr, Bab Fadhl Man Yamliku Nafsahu Inda al-Ghadhab, 4/2014, no. 2609.

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, Ibid., 2608. dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu, dia ber-kata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا تَعُدُّوْنَ الصُّرَعَةَ فِيْكُمْ؟ قُلْنَا: الَّذِيْ لاَ تَصْرَعُهُ الرِّجَالُ. قَالَ: لَيْسَ بِذلِكَ وَلكِنَّهُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.

‘Siapakah di antara kalian yang kalian anggap kuat?’ Kami menjawab, ‘Orang yang tidak terkalahkan oleh orang lain.’ Nabi bersabda, ‘Bukan demikian, akan tetapi dia adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah’.”

Saya berkata, “الصُّرَعَةُ, asalnya adalah orang yang sering mengalahkan manusia. Bentuk wazannya seperti الهُمَزَةُ (Pengumpat) dan اللُّمَزَةُ (Pencela) yaitu orang yang sering mengumpat orang lain.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah, dari Mu’adz bin Anas (‘alaihis salam)-Juhani ash-Shahabi radiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللهُ سبحانه و تعالى عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ.

“Barangsiapa yang menahan marah, padahal dia mampu melampiaskannya, niscaya Allah akan memanggilnya di atas para pemimpin makhluk pada Hari Kiamat hingga Dia memberikan pilihan bidadari untuknya sesuai kehendaknya.”

La Ba’sa Bihi: Diriwayatkan oleh Ahmad 3/438 dan 440; Ibnu Majah, Kitab az-Zuhd, Bab al-Hilm, 2/1400, no. 4186; Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab Man Kazhama Ghaizhan, 2/662, no. 4777; at-Tirmidzi, Kitab al-Birr, Bab Kazhm al-Ghaizh, 4/372, no. 2021 dan 2493; Abu Ya’la no. 1497; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam ash-Shaghir, no. 1114, dan al-Mu’jam al-Ausath, no. 9252 dan al-Mu’jam al-Kabir 20/180, no. 386-388 dan 415-417; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 8/47 dan 48; serta al-Baihaqi 8/16: dari berbagai jalur, dari Sahal bin Mu’adz, dari bapaknya dengan hadits tersebut.

Dan Sahal bin Mu’adz haditsnya la ba’sa bihi tanpa riwayat Zabban bin Faid, hadits ini pun demikian, maka sanadnya layak, dan at-Tirmidzi telah menghasankannya, al-Mundziri, an-Nawawi, Ibnu Katsir, al-Iraqi dan al-Albani telah menyetujuinya.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Sulaiman bin Shurad ash-Shahabi, dia berkata,

كُنْتُ جَالِسًا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم، وَرَجُلاَنِ يَسْتَبَّانِ، وَأَحَدُهُمَا قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: إِنِّيْ لاَعْلَمُ كَلِمَةً، لَوْ قَالَهَا، لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ. لَوْ قَالَ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، ذَهَبَ مِنْهُ مَا يَجِدُ. فَقَالُوْا لَهُ: إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: تَعَوَّذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. فَقَالَ: وَهَلْ بِيْ مِنْ جُنُونٍ؟

“Aku pernah duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedangkan dua orang laki-laki saling mencaci, salah seorang dari keduanya wajahnya memerah dan keringat di lehernya bercucuran, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya saya mengetahui sebuah kalimat yang kalau diucapkan niscaya kemarahan yang dirasakannya akan hilang, yaitu kalau dia mengucapkan, ‘Saya berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk,’ niscaya kemarahan yang dirasakannya akan hilang.’ Para sahabat berkata kepada orang yang marah tersebut, ‘Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berlindunglah kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk’, dia menjawab, ‘Apakah di dalam diriku terdapat kegilaan’.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab Bad’i al-Khalq, Bab Shifat Iblis wa Junudih, 6/377, no. 3282; dan Muslim, Ibid., 4/2015, no. 2610.

Kami meriwayatkan dalam Kitab Abu Dawud dan at-Tirmidzi dengan maknanya: dari riwayat Abdurrahman bin Abu Laila dari Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini mursal“. Yakni bahwa Abdurrahman tidak bertemu Mu’adz.

Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25374 dan 29573; Ahmad 5/240 dan 244; Abd bin Humaid no. 111- Muntakhab; Abu Dawud, Ibid., 2/663, no. 4780; at-Tirmidzi, kitab ad-Da’awat, Bab Ma Yaqulu Inda al-Ghadhab, 5/504, no. 3452, an-Nasa`i dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah, no. 391 dan 392; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 20/140, no. 286-289, dan Ibn as-Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah no. 454: dari berbagai jalur, dari Abdul Malik bin Umair, dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari Mu’adz dengan hadits tersebut.

Mereka semua adalah perawi tsiqah yang merupakan perawi asy-Syaikhain meskipun ada tadlis ringan yang dilakukan oleh Abdul Malik. Akan tetapi at-Tirmidzi berkata, “Mursal, Abdurrahman bin Abu Laila tidak mendengar dari Mu’adz.” Saya berkata, Hadits ini telah didukung (diperkuat) oleh hadits sebelumnya dan al-Albani telah menshahihkannya.

Kami meriwayatkan dalam Kitab Ibn as-Sunni, dari Aisyah radiyallahu ‘anha, dia mengatakan,

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَأَنَا غَضْبَى، فَأَخَذَ بِطَرَفِ الْمَفْصِلِ مِنْ أَنْفِيْ فَعَرَكَهُ، ثُمَّ قَالَ: يَا عُوَيْشُ، قُوْلِي: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ، وَأَذْهِبْ غَيْظَ قَلْبِيْ، وَأَجِرْنِيْ مِنَ الشَّيْطَانِ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku sedangkan aku dalam keadaan marah, maka beliau menarik ujung persendian hidungku, lalu memencetnya, kemudian bersabda, ‘Wahai Uwaisy, katakanlah, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku, hilangkanlah kemarahan hatiku, dan jagalah aku dari godaan setan’.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25374 dan 29573; Ahmad 5/240 dan 244; Abd bin Humaid no. 111- Muntakhab; Abu Dawud, Ibid., 2/663, no. 4780; at-Tirmidzi, kitab ad-Da’awat, Bab Ma Yaqulu Inda al-Ghadhab, 5/504, no. 3452, an-Nasa`i dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah, no. 391 dan 392; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 20/140, no. 286-289, dan Ibn as-Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah no. 454: dari berbagai jalur, dari Abdul Malik bin Umair, dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari Mu’adz dengan hadits tersebut.

Mereka semua adalah perawi tsiqah yang merupakan perawi asy-Syaikhain meskipun ada tadlis ringan yang dilakukan oleh Abdul Malik. Akan tetapi at-Tirmidzi berkata, “Mursal, Abdurrahman bin Abu Laila tidak mendengar dari Mu’adz.” Saya berkata, Hadits ini telah didukung (diperkuat) oleh hadits sebelumnya dan al-Albani telah menshahihkannya.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, dari Athiyyah bin Urwah as-Sa’di ash-Shahabi radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ، وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ، فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ.

‘Sesungguhnya marah itu berasal dari setan, dan setan itu diciptakan dari api, dan api hanya dapat dipadamkan dengan air, maka apabila salah seorang di antara kamu marah, hendaklah dia berwudhu.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25374 dan 29573; Ahmad 5/240 dan 244; Abd bin Humaid no. 111- Muntakhab; Abu Dawud, Ibid., 2/663, no. 4780; at-Tirmidzi, kitab ad-Da’awat, Bab Ma Yaqulu Inda al-Ghadhab, 5/504, no. 3452, an-Nasa`i dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah, no. 391 dan 392; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 20/140, no. 286-289, dan Ibn as-Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah no. 454: dari berbagai jalur, dari Abdul Malik bin Umair, dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari Mu’adz dengan hadits tersebut.

Mereka semua adalah perawi tsiqah yang merupakan perawi asy-Syaikhain meskipun ada tadlis ringan yang dilakukan oleh Abdul Malik. Akan tetapi at-Tirmidzi berkata, “Mursal, Abdurrahman bin Abu Laila tidak mendengar dari Mu’adz.” Saya berkata, Hadits ini telah didukung (diperkuat) oleh hadits sebelumnya dan al-Albani telah menshahihkannya.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky