Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

مَنْ رَأَى مُبْتَلًى، فَقَالَ: اَلْحَمْدُ لله الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً، لَمْ يُصِبْهُ ذلِكَ الْبَلاَءُ.

“Barangsiapa yang melihat orang yang tertimpa musibah, kemudian mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari segala musibah yang Dia ujikan kepadamu dan mengutamakanku di atas sebagian besar makhluk yang Dia ciptakan dengan keutamaan,’ niscaya musibah tersebut tidak akan menimpanya.”

Shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Kitab ad-Da’awat, Bab Ma Yaqul Idza Ra`a Mubtala, 5/493, no. 3432; al-Bazzar no. 2133-Mukhtashar az-Zawa`id; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 4721, al-Mu’jam ash-Shaghir, no. 676, dan ad-Du’a` no. 799; Ibnu Adi 4/1461, 6/2374: dari berbagai jalur, dari Muththraf bin Abdillah al-Madani, dari Abdullah bin Umar al-Umari, dari Suhail bin Abi Shalih, dari bapaknya, dari Abu Hurairah.
Hadits ini dhaif karena mempunyai dua illat:

Pertama, Perselisihan mereka tentang matannya, at-Tirmidzi dan Ibnu Adi meriwayatkannya dari berbagai jalur dengan lafazh yang disebutkan oleh an-Nawawi di sini. Sedangkan yang lainnya meriwayatkannya dengan lafazh فَإِذَا قَالَ لِذلِكَ فَقَدْ شَكَرَ تِلْكَ النِّعْمَةَ pada posisi lafazh لَمْ يُصِبْهُ ذلِكَ الْبَلاَءُ.

Kedua, Abdullah bin al-Umari memiliki kelemahan. Singkat kata, dia adalah seorang yang shalih dalam syawahid. Akan tetapi dia tidak bersendirian -berbeda dengan yang dilontarkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabrani- bahkan dia di-mutaba’ah. Ath-Thabrani meriwayatkannya dalam ad-Du’a` no. 800: dari jalur Abdullah bin Ja’far al-Madani, dari Suhail dengan hadits tersebut dengan lafazh yang lain. Dan hadits ini dhaif karena al-Madani, karena sesungguhnya dia adalah perawi dhaif atau di bawahnya. Dan dia adalah ayah Ali bin al-Madini. Dan hadits ini mempunyai jalur sanad yang lain -berbeda dengan yang dilontarkan al-Bazzar- pada ath-Thabrani dalam ad-Du’a`, no. 801, Muththalib bin Syu’aib al-Azdi menceritakan kepada kami, Abdullah bin Shalih menceritakan kepada kami, al-Laits menceritakan kepadaku, dari Isa bin Musa bin Iyas, dari Shofwan bin Sulaim, dari seorang laki-laki, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut dengan lafazh lain. Hadits ini dhaif, karena Abdullah bin Shalih dan Isa bin Musa memiliki kelemahan. Di sana juga ada perawi yang tidak diketahui. Namun ia memiliki syahid dari hadits Ibnu Umar. Perincian pembahasannya akan datang dalam catatan kaki berikutnya.

Secara global hadits tersebut shahih dengan kesempurnaannya. Adapun doa tersebut maka shahih dengan berkumpulnya jalur-jalur ini dan syahidnya. Sedangkan lafazh, لَمْ يُصِبْهُ ذلِكَ الْبَلاَءُ, maka ia shahih berdasarkan hadits Umar yang akan datang. Sedangkan lafazh selainnya, maka ia hasan berdasarkan tiga jalurnya. At-Tirmidzi telah menghasankannya sebagaimana kamu lihat. Demikian pula al-Mundziri dengan dua lafazh, dan al-Haitsami. Al-Albani menshahihkannya dengan lafazh terjamah.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan”.

Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, dari Umar bin al-Khaththab radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَأَى صَاحِبَ بَلاَءٍ، فَقَالَ: اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ، وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً، إِلاَّ عُوْفِيَ مِنْ ذلِكَ الْبَلاَءِ، كَائِنًا مَا كَانَ، مَا عَاشَ.

“Barangsiapa saja yang melihat orang yang tertimpa musibah, kemudian mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari segala musibah yang Dia ujikan kepadamu dan mengutamakanku di atas sebagian besar makhluk yang Dia ciptakan dengan keutamaan’, niscaya dia akan diselamatkan dari musibah tersebut, musibah apa pun juga selama dia hidup”

Shahih: Dari hadits Ibnu Umar, dan penyebutan Umar pada hadits ini adalah salah, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 29727, Abd bin Humaid 38-Muntakhab; Ibnu Majah, Kitab ad-Du’a`, Bab Ma Yad’u Idza Nazhara Ahl al-Bala, 2/1281, no. 3892; at-Tirmidzi, Ibid., no. 3431; ath-Thabrani dalam ad-Du’a` no. 797; Ibn as-Sunni no. 308, Ibnu Adi 5/1786; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 6/265; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 4445; al-Baghawi no.1337: dari beberapa jalur, dari Amr bin Dinar Qahramani, Alu az-Zubair, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Umar dengan hadits tersebut.

Ini adalah sanad saqith karena memiliki dua illat:

Pertama, Qahraman Alu az-Zubair adalah perawi yang sangat dhaif dan hampir mendekati matruk.

Kedua, bahwa di dalamnya terdapat idhthirab (kegoncangan), terkadang menyatakannya mauquf, dan terkadang menjadikannya marfu’ dari Musnad Ibnu Umar sesekali, dan dari Musnad Umar dalam kesempatan yang lain. Akan tetapi hadits ini datang dari sanad yang lain, diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam ad-Du’a` no. 798; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 5/13; Ibnu Asakir dalam at-Tarikh 53/329: dari beberapa jalur, dari Marwan bin Muhammad ath-Thathari, al-Walid bin Utbah telah menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Suqah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, (dalam salah salah satu jalur ditambahkan: dari Umar) dengan hadits tersebut secara marfu’. Dan mereka semua ini berderajat tsiqah kecuali al-Walid bin Utbah.

Apabila Abu al-Abbas ad-Dimasyqi sebagaimana yang dinampakkan oleh al-Albani, maka dia seorang yang tsiqah. Namun apabila dia seorang Dimasyqi lainnya sebagaimana dinampakkan oleh al-Asqalani, maka minimal dia kapabel dalam kapasitas sebagai syahid.

Dan ia mempunyai jalur lain pada ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath no. 5320, Muhammad bin Ahmad bin Abi Khaitsamah menceritakan kepada kami, Zakariya bin Yahya adh-Dharir menceritakan kepada kami, Syababah bin Syawwar menceritakan kepada kami, al-Mughirah bin Muslim menceritakan kepada kami, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar dengan hadits tersebut secara marfu’. Al-Haitsami berkata, 10/141, “Di dalamnya terdapat Zakariya bin Yahya bin Ayyub adh-Dharir, namun saya tidak mengetahuinya, dan sisa perawinya adalah perawi tsiqah.” Al-Albani mengomentarinya dalam ash-Shahihah no. 2737 bahwa dia tertulis biografinya dalam Tarikh Baghdad, 8/457 dengan periwayatan sekelompok perawi tsiqah. Maka orang sepertinya adalah termasuk perawi yang haditsnya dianggap walaupun dalam kapasitas syawahid.

Kesimpulannya bahwa hadits tersebut apabila tidak shahih dengan berkumpulnya dua jalurnya yang terakhir, maka dia shahih berdasarkan syahidnya yang terdahulu.

Kemudian di antara perkara yang penting pula, kita mencermati bahwa yang benar dalam hadits ini adalah dari Musnad Ibnu Umar, sebagaimana jelas disebutkan pada jalur ketiga yang merupakan jalur paling kuat. Sedangkan jalur kedua kuat, adapun jalur yang pertama maka sama sekali tidak bisa dianggap, apalagi ada perawi yang idhthirab padanya.

At-Tirmidzi mendhaifkan sanadnya.

Saya berkata, Para ulama dari para sahabat kami dan selain mereka berkata, ‘Sebaiknya doa ini diucapkan dengan pelan, yang hanya dapat didengar olehnya sendiri, dan tidak didengar oleh orang yang tertimpa musibah tersebut, agar hatinya tidak sakit dengan hal tersebut, kecuali apabila musibah itu berupa maksiat, maka tidak mengapa memperdengarkannya, apabila tidak dikhawatirkan terjadinya keburukan. Wallahu a’lam.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky