“Untuk memperoleh keridhaan (dukungan) dan penghormatan manusia, maka banyak-banyaklah mengikuti arus mereka pada setiap kesempatan.”

Ini adalah salah satu dari sekian banyak kesalahan berfikir dan berperilaku yang banyak dilakukan oleh mayoritas orang zaman ini, dimana mereka menjadikan tujuan utama yang ada dalam benak mereka berupa keridhaan orang lain kepadanya dan orang lain menerima dirinya dengan baik. Maka orang yang demikian menganggap bahwa ber-mujamalah (basa-basi) dan beradaptasi pada setiap keadaan, baik itu benar atau pun salah, akan menyebabkan ia diterima di hati orang lain, dan bahwa keridhaan manusia terhadapnya akan bertambah dengan banyaknya basa-basi yang ia lakukan atau mengikuti kemauan mereka. Padahal sesungguhnya manusia banyak yang tidak menyukai orang yang selalu menyesuaikan diri dengan keadaan serta tidak membedakan antara yang benar dan yang salah.

Sesungguhnya kemampuan minimal yang rasional untuk beradaptasi dengan orang lain akan melahirkan kemampuan untuk melakukan approach atau pendekatan dan menyatukan antara dua pihak. Dan hal ini tidak akan mengundang masalah selama masih dalam koridor atau batasan-batasan syari’at. Adapun yang menjadi masalah adalah apabila melampau hal itu, dan menjadikan relasi antar sesama dan adaptasi serta ingin dianggap baik sebagai tujuan utama; dimana setiap kali bertambah tinggi adaptasimu akan menambah bagusnya prasangka dan penerimaan mereka kepadamu; dan persepsi bahwa cara mendapatkan penerimaan orang lain adalah dengan selalu berbasa-basi. Padahal faktanya menyatakan bahwa penghormatan orang lain kepadamu adalah berbeda-beda tergantung kepada masing-masing pribadi; diantara mereka ada yang tidak menganggap persahabatan kecuali kepada orang sepakat dengannya saja. Maka orang yang demikianlah yang menganggap ia menghormati dan menghargaimu.

Sebagai contoh:
1. Hindun, seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Dian sangat pemalu, dan sangat baik dalam perilaku dan agamanya, dimana kawan-kawannya tidak sebagus Hindun dalam perilaku dan agamanya. Maka ia sangat tidak suka dengan perilaku mereka itu yang berperilaku tidak sopan (suka bersenda-gurau dengan para pemuda, dll). Hindu selalu saja bersahabat dengan mereka dengan basa-basi, dan adaptasi dengan mereka, dan berpura-pura, maka ia pun bahagia dengan adaptasi Hindun ini, apalagi mereka tidak menentang Hindun. Akan tetapi penerimaan mereka kepada Hindun ini tidak berlangsung lama, dimana kawan-kawan Hindun telah merasakan hal ini, sebab bagaimana mungkin seorang yang bagus agamanya lalu ia akrab dengan perempuan-perempuan yang banyak bersenda-gurau dengan laki-laki, lalu beradaptasi dengan mereka, dan menerima keadaan mereka, dan berusaha berpura-pura dengan mereka. Maka, salah seorang dari wanita-wanita itu pun berkata, “Dia yang ikut menjadi seperti kita-kita, ataukah kita berpisah saja dengannya.”
2. Shalih pernah ingin membeli sebuah tempat tinggal. Setelah mengumpulkan uang sampai dirasa cukup, maka ia pun mulai mencari tempat tinggal yang sesuai untuk dibeli, apalagi ibu dan saudara perempuannya juga ikut serumah dengannya. Setelah beberapa hari, datang seorang kerabatnya dan ingin meminjam uang sebanyak 100.000 Riyal. Maka Shalih memikirkan hal itu, dan akhirnya ia mengambil keputusan “ingin memperoleh keridhaan kerabatnya itu”, dan akhirnya meminjamkan uang tersebut dengan syarat mengembalikannya dalam 3 bulan kemudian sebagaimana ia janjikan. Dan belum berlalu waktu 2 minggu, Shalih pun mendengar bahwa kerabatnya itu membeli rumah hingga akhirnya ia tidak bisa mengembalikan uang yang dipinjamnya itu kecuali setelah 2 tahun lagi. Maka ketika Ibunya Shalih mengetahui perbuatan Shalih itu, maka berubahlah temperamennya dan berkata seperti seorang awam yang disebut dengan: “Engkau bagai lilin yang menyala, menerangi tempat tapi dirinya sendiri binasa.”
Sumber: Majalah Al-Usrah, no. 110, Jumadal Ulaa 1423H