Masalah Pertama:
Islam Berlepas Diri Dari Pembunuhan Terhadap Kaum Muslimin

Apa pun alasannya, agama Islam berlepas diri (tidak bertanggung jawab) dari pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang dilakukan oleh orang per orang selama mereka bukan para pelaku tindak kejahatan yang dijatuhi salah satu hukum hadd oleh Waliyul Amri (penguasa) atau qishâsh yang diajukan oleh salah seorang korban. Dikecualikan dari hal itu bolehnya membela diri dari kejahatan penyamun dengan beberapa acuan tertentu.

Di sini, saya akan menjelaskan beberapa gambaran kejadian dan hukum terhadap masing-masingnya:

Gambaran Pertama:
Pembunuhan Terhadap Aparat Keamanan

Andaikata para aparat keamanan ingin menangkap seseorang; apakah dia boleh membunuh mereka atau salah seorang dari mereka karena mengganggap mereka itu akan menyamunnya atau bahkan(menganggap mereka) sebagai orang-orang yang kafir sehingga boleh dibunuh?

Pendapat yang benar adalah tidak boleh membunuh para aparat keamanan yang beragama Islam dengan alasan apa pun, sedangkan jawaban terhadap dua syubhat lainnya adalah sebagai berikut:

Jawaban Atas Syubhat Pertama
Tidak mungkin memposisikan para aparat ke-amanan sebagai penyamun dalam kondisi ini.

Hal ini berdasarkan beberapa alasan, di antaranya yang paling penting:
1. Para aparat keamanan tersebut tidak menye-ngaja untuk membunuh orang yang akan ditangkap, sedangkan penyamun memang ingin membunuh orang yang akan dirampok, karena itu, boleh si korban pe-nyamunan membela dirinya sehingga si Penyamun itu tidak berhasil membunuhnya menurut sebagian ulama.

Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa si korban penyamunan tidak wajib membela dirinya sekalipun si penyamun membunuhnya.

Mengenai hal ini, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah -ketika berbicara tentang apa yang diinginkan si penyamun terhadap korbannya, yaitu bisa jadi menginginkan harta, kehormatan ataupun membunuh dan terhadap hal terakhir ini (keinginan untuk membunuh)-, beliau berkata, “Adapun bila tujuannya adalah untuk membunuh, maka ia (si korban) boleh membela dirinya. Apakah hal ini wajib baginya? Terdapat dua pendapat ulama di dalam madzhab Ahmad dan madzhab ulama selainnya.”

2. Bahwa para aparat keamanan tersebut diutus oleh Waliyul Amri[ untuk menangkap orang yang harus ditangkap. Oleh karena itu, orang yang harus ditang-kap tersebut wajib ta’at terhadap perintah Waliyul Amri sebagaimana keta’atan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Artinya, “Ta’atilah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (an-Nisâ`: 59).

Dan berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
عَلَيْكَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فيِ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشِطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ
“Hendaklah kamu mendengar dan ta’at (loyal) baik di dalam masa sulitmu, masa mudah, masa bersemangat (fit), masa tidak suka (kurang bergairah) ataupun dalam mengalahkan ego kamu.” (HR. Muslim 1836)

Imam an-Nawawi berkata, “Para ulama ber-kata, ‘Artinya, wajib mena’ati para Waliyul Amri terha-dap hal yang amat sulit dan dibenci jiwa sekalipun, selama bukan dalam berbuat maksiat… Dan hadits-hadits ini menganjurkan agar loyal dalam seluruh kon-disi. Alasannya adalah agar terjadi persatuan di kalangan kaum Muslimin sebab perselisihan dapat menyebabkan rusaknya kondisi mereka baik dalam urusan agama maupun dunia mereka’.” (Syarh an-Nawawy ‘Ala Shahîh Muslim, Jld.VI, h.468)

Sementara, tidak terdapat kemaksiatan dalam ben-tuk keta’atan pada kondisi ini sebab keta’atan hanya berlaku pada hal yang ma’ruf dan tidak ada kewajiban ta’at kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada sang Khaliq. Hal inilah yang tidak didapat ketika salah seorang diinterogasi sebab ia tidak diperintahkan agar berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

3. Penilaian terhadap para aparat keamanan yang ingin menangkap seseorang yang dicari untuk diinte-rogasi (menurut orang yang berpendapat demikian) terombang-ambing antara (penilaian) bahwa tindakan menyamun yang mereka lakukan (para aparat) memang terbukti kuat menurut mereka dan (antara) tidak mung-kin menilai aparat tersebut sebagai para penyamun menurut pendapat kebanyakan para ulama.

Karena itu, andaikata ada yang mengatakan bahwa perkara ini merupakan hal yang masih samar, maka tentu harus dikatakan kepada mereka; apakah mungkin seorang Muslim dibunuh karena hal yang masih samar? Dan pendapat semacam ini tidak pernah dikatakan oleh siapapun yang berakal sehat sebab hukum asalnya adalah Barâ`ah adz-Dzimmah (jiwa terbebas dari tang-gungan apa pun) sebagaimana hal ini telah menjadi ketetapan para ulama. (Lihat, ar-Risâlah karya Imam asy-Syafi’i)

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Seorang Mukmin masih menjadi mu’niq (yang bersegera berbuat keta’tan) yang shalih selama belum menumpahkan darah haram.” (HR. Abu Daud: 4270)

Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ فيِ الدِّمَاءِ
“Hal pertama yang diperkarakan di antara sesama manusia pada hari Kiamat adalah dalam masalah darah.” (HR. al-Bukhary: 6533 dan Muslim: 1678)

Imam an-Nawawy berkata, “Hadits ini me-nunjukkan diperkerasnya urusan darah dan bahwa ia adalah hal pertama yang diperkarakan di antara sesama manusia pada hari Kiamat. Demikian ini karena masa-lahnya begitu serius dan banyak bahayanya.” (Syarh an-Nawawy, Op.Cit., h.229).

Ibn Hajar berkata, “Hadits tersebut menun-jukkan betapa seriusnya masalah darah sebab permulaan (sesuatu dijadikan sebagai hal pertama) hanya berlaku pada hal yang paling penting, sedangkan dosa diper-besar sesuai dengan besarnya kerusakan, hilangnya kemashlahatan dan puncaknya adalah dilenyapkannya sendi-sendi kemanusiaan.”(Fath al-Bâry karya Ibn Hajar, Jld.XI, h.482)

4. Dien al-Islam berlepas diri dari pembunuhan kaum Muslimin, tanpa dosa yang mereka lakukan.
Mengenai hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya pada saat haji Wada’ dengan sejelas-jelasnya ketika bersabda,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فيِ شَهْرِكُمْ هَذَا فيِ بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kamu adalah haram atas kamu seperti haramnya hari kamu ini, dalam bulan kamu ini, di negeri kamu ini.” (HR. al-Bukhary: 67 dan Muslim: 1679)

Beliau hanya mengecualikan pelaku zina yang sudah beristeri (muhshan) dan pembunuh bila belum dima’afkan para wali korbannya serta orang yang murtad dari agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانيِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ اْلمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan –yang berhak disembah- selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwa aku adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali karena salah satu dari tiga hal: pelaku zina yang sudah beristeri, melayangkan nyawa (membunuh) dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jama’ah.” (HR. al-Bukhary: 6878 dan Muslim: 1676)

Imam an-Nawawy berkata, “Dan ketahuilah bahwa hadits ini bersifat umum namun dikhususkan darinya penyamun dan semisalnya di mana boleh membunuhnya bila untuk membela diri.” (Syarh an-Nawawy, Op.Cit., h.228)

Jadi, hanya Waliyyul Amri (Penguasa) kaum Mus-limin saja, bukan orang selainnya yang boleh membe-rikan sanksi bagi orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran ini sedangkan terhadap Penyamun, para ulama memberikan beberapa persyaratan, di antaranya yang paling penting adalah Musqithât al-‘Uqûbah al-Haddiyyah karya Muhammad Muhammad Ibrahim, h.162; lihat juga, al-Asybâh Wa an-Nazhâ`ir karya as-Suyûthy, h.87 diantaranya:
a. Memang ia seorang penyamun, bukan hanya sekedar dugaan saja, sebab bila setiap orang yang membunuh orang lain diklaim sebagai penyamun, merasa atau memprediksi ia akan menyamunnya, maka tentu banyak sekali darah kaum Muslimin dan non Muslim yang tertumpahkan padahal Islam tidak pernah mem-bawa ajaran seperti ini. Oleh karena itulah, sebagian ulama mengatakan bahwa hendaknya penyamun tersebut memang mengancam akan melakukan se-suatu yang berbahaya lagi tidak disyari’atkan serta hendaknya bahaya ini terjadi ketika itu juga atau hampir terjadi.
b. Melawannya dengan segala yang dimungkinkan tanpa harus membunuh. Dan ini diungkapkan oleh para ulama dengan ucapan mereka, “Hendaknya pembelaan diri tersebut sesuai dengan tingkat peng-aniayaan.”
c. Penyamun tersebut memang berkeinginan untuk membunuh korbannya atau menginginkan harta atau kehormatannya.
d. Penyamun tersebut sendiri yang menginginkan pem-bunuhan, kehormatan atau harta. Sedangkan bila ada seorang utusan dari Waliyyul Amri untuk menangkap seseorang atau beberapa orang, maka tidak mungkin menganggapnya sebagai penyamun.

5. Bahwa mengangkat senjata terhadap kaum Muslimin merupakan hal yang diharamkan. Bila ada seseorang mengangkat senjata terhadap kaum Mus-limin, maka ia berdosa walaupun tidak ada seorang pun yang dibunuh atau disakiti dengan senjata tersebut.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang mengangkat senjata terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.” (Al-I’lâm karya Ibn al-Mulaqqin, Jld.X, h.378)

Ibn al-Mulaqqin berkata, “Hadits ini menun-jukkan keharaman memerangi kaum Muslimin dan diperkerasnya masalah tersebut. Demikian juga haram mengangkat senjata tanpa adanya kemashlahatan menurut syari’at.
Allah Subhanahu wa Ta’ala Ta’ala telah melarang pedang dibiarkan terhunus dan memerintahkan agar menahan dari menarik busur, melarang mengacungkan dengan besi dan semisalnya. Hal ini semua karena khawatir setan mencabut senjata itu dari tangannya untuk ditujukan kepada saudaranya sesama Muslim. Dan semua itu merupakan bukti kehormatan seorang Muslim dan tidak mencari-cari faktor-faktor yang dapat me-nyebabkan ia disakiti karena begitu terhormatnya ia di sisinya (sesama Muslim) dan juga guna memperkenal-kan kedudukannya. (Al-I’lâmkarya Ibn al-Mulaqqin, Jld.X, h.378)

6. Sebagaimana yang dimaklumi bahwa orang-orang yang melakukan pembunuhan terhadap para aparat keamanan telah melakukan pembunuhan ter-hadap jiwa mereka sendiri –lâ hawla wa lâ quwwata illa billâh-; apakah orang yang membunuh dirinya sendiri dapat dikatakan membela diri terhadap penyamun? Sebab orang yang membunuh dirinya dengan mele-dakkannya itu sendiri adalah orang yang membawa kematian bagi dirinya dan bukan membelanya.

Nah, bagaimana mungkin dapat dikatakan ini sama dengan membela diri dari penyamun?

Jawaban Atas Syubhat Kedua
Sesungguhnya menghalalkan pembunuhan terha-dap para aparat keamanan di mana saja mereka berada karena menganggap mereka sebagai orang-orang yang kafir merupakan hal yang tidak boleh sebab syubhat yang dilontarkan oleh orang yang melakukan demikian adalah pengkafiran terhadap para Waliyyul Amri kaum Muslimin, baik mereka itu sebagai para ulama ataupun umara` sehingga secara otomatis juga mengkafirkan orang-orang yang bekerja dengan mereka, selain, pendapat semacam ini secara argumentatif lemah di mana orang-orang biasa pun dapat mengetahui kebatilannya begitu mendengarnya, maka apakah harus diterima pendapat para penuntut ilmu pemula padahal masih banyak para ulama yang mumpuni, yang tidak kita kenal mereka itu mengkafirkan seorang penguasa ataupun seorang ulama secara per-orangan?

Tentunya tidak asing lagi bagi orang-orang yang berpikiran sehat betapa seriusnya masalah ‘pengkafiran’ sebab ia ter-masuk hal yang amat berbahaya, yang menyeret orang yang terjerumus ke dalamnya ke dalam jurang-jurang berbahaya?

Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga diselamatkan dari hal seperti ini.

Tentu, yang menge-tahui apakah syarat-syarat pengkafiran terpenuhi dan penghalang-penghalangnya telah hilang, hanya para ulama yang mumpuni keilmuannya, yaitu para ulama besar sehingga orang yang jahil atau penuntut ilmu pemula tidak dibenarkan untuk mengkafirkan salah seorang dari para umara` (penguasa) ataupun para ulama.

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah berkata, “Tidak boleh terburu-buru mengkafirkan para ulama kaum Muslimin dan wajib menahan pengkafiran mereka, sekalipun mereka bersalah sebab menahan pengkafiran terhadap mereka termasuk tujuan-tujuan syari’at yang paling realistis dan siapa saja yang mengkafirkan mereka, maka ia berhak untuk mendapatkan sanksi yang berat.” (Majmû’ al-Fatâwa, Op.Cit., Jld.XXXV, h.100-103).

Beliau juga mengatakan, “Tidak ada yang diper-kenankan memvonis ‘murtad’ kecuali orang-orang yang mengetahui benar madzhab-madzhab para imam dan tidak boleh membiarkan orang-orang jahil (dengan seenaknya) mengkafirkan ulama kaum Muslimin sebab membiarkan mereka mengkafirkan para ulama kaum Muslimin termasuk kemungkaran paling besar.” (Majmû’ al-Fatâwa, Op.Cit., Jld.XXXV, h.100)

Di antara hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mengkafirkan para ulama atau umara` serta orang-orang yang bekerja bersama mereka tanpa dalil yang benar dan tanpa mengetahui terpenuhinya syarat serta tidak adanya penghalang-penghalangnya adalah ter-masuk berkata atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa berdasarkan ilmu.

Ibn al-Qayyim berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang berkata atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu di dalam berfatwa dan qadha] (memutuskan hukum) dan menjadikan hal itu sebagai Muharramât (hal-hal yang diharamkan) paling besar bahkan menempatkannya pada posisi ter-tinggi darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Artinya,“Katakanlah,’Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala apa saja yang tidak kamu ketahui.” (al-A’râf: 33)
Dan hal ini mencakup berkata atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu di dalam asmâ`, sifat dan perbuatan-Nya serta dalam agama dan syari’at-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala Ta’ala ber-firman,
Artinya, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala tiadalah beruntung, (itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka adzab yang pedih.” (an-Nahl: 116-117)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan kepada mere-ka ancaman berdusta terhadap-Nya di dalam hukum-hukum-Nya dan (ancaman atas) perkataan mereka terhadap yang tidak diharamkan-Nya sebagai haram dan terhadap yang tidak dihalalkan-Nya sebagai halal. Ini merupakan penjelasan dari-Nya bahwa tidak boleh seorang hamba mengatakan ‘ini halal dan ini haram’ kecuali terhadap hal yang diketahui (dipastikan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Ta’ala sudah menghalalkan dan mengharamkan-nya.”(A’lâm al-Muwaqqi’în karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, h.42-43]

Imam asy-Syâfi’iy berkata, “Siapa saja yang bersusah-susah terhadap hal yang tidak diketahuinya dan belum dapat dibuktikan oleh pengetahuannya, maka keberuntungannya mendapatkan kebenaran -jika kebetulan mendapatkannya tanpa diketahuinya- adalah kurang terpuji, wAllah Subhanahu wa Ta’alau ‘alam. Dan dengan kesalahannya itu ia tidak dapat dima’afkan bila ia mengatakan hal yang tidak diketahuinya dalam mem-bedakan antara yang salah dan benar di dalamnya.” (Ar-Risâlah, Op.Cit., h.53)

Tidak dapat disangkal lagi bahwa hal ini berkenaan dengan peringatan kepada kaum Muslimin agar tidak terburu-buru dalam memberikan vonis-vonis terhadap orang per orang, seperti mengkafirkan atau menilai mereka berbuat bid’ah (tabdî’) tanpa ma’rifah dan ilmu.

Apakah seorang Muslim begitu lancang mengkafirkan orang yang tidak dicap kafir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, padahal ia mengetahui betapa bahaya-nya masalah ini?
Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا
”Bila seorang laki-laki berkata kepada saudaranya, ‘Hai si kafir’ maka ia akan kembali (mengenai) kepada salah satu dari keduanya.”

Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Jika memang seperti yang ia bilang (maka akan mengenai orang yang dikatakan kepadanya tersebut-penj.) tetapi bila tidak, maka ia akan kembali kepadanya (yang mengatakannya-penj.).” (HR. al-Bukhary: 6103 dan Muslim: 60)

Ibn al-Qayyim mengambil sikap keras di dalam bukunya “Madârij as-Sâlikîn” terhadap orang yang berkata atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu.

Beliau berkata, “Adapun berkata atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu, maka ini termasuk hal-hal yang diharamkan paling keras dan paling besar dosanya. Karena itu, ia men-duduki peringkat keempat dari seluruh hal-hal yang diharamkan (al-Muharramât) yang semua syari’at dan agama bersepakat atasnya dan tidak membolehkannya sama sekali bahkan hukumnya hanya haram saja, tidak seperti hukum bangkai, darah dan daging babi yang dibolehkan pada kondisi tertentu. Sebab, hal-hal yang diharamkan itu terdiri dari dua jenis: Satu jenis diharamkan karena zatnya dan sama sekali tidak dibolehkan dan satu jenis lagi diharamkan karena kondisi mendesak dan tertentu.
Mengenai hal-hal yang diharamkan karena zatnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala q berfirman (dalam surat al-A’râf: 33), Artinya, “Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.” Kemudian berpindah kepada pengharaman yang lebih besar lagi dalam firman-Nya selanjutnya, “(mengha-ramkan) mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan hujjah untuk itu.”
Kemudian kepada hal yang lebih besar lagi dari yang kedua ini, yaitu dalam firman-Nya selanjutnya, “dan (mengharam-kan) mengada-adakan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala apa saja yang tidak kamu ketahui.”
Inilah hal-hal yang diharamkan paling besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan paling keras dosanya sebab mengandung kedustaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, menisbatkan sesuatu yang tidak pantas kepada-Nya, merubah dan mengganti agama-Nya, menafikan sifat yang telah ditetapkan-Nya dan menetapkan sifat yang telah dinafikan-Nya, merealisasikan hal yang dibatalkan-Nya dan memba-talkan hal yang telah direalisasikan-Nya, memusuhi orang yang dijadikan-Nya wali dan mengangkat orang yang dijadikan-Nya musuh sebagai wali, mencintai hal yang dibenci-Nya dan membenci hal yang dicintai-Nya serta memberi-Nya sifat yang tidak layak bagi-Nya di dalam dzat, sifat, firman dan perbuatan-Nya.
Di dalam deretan jenis-jenis hal yng diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak ada hal yang lebih besar dan lebih keras dosanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala darinya (berdusta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala-penj.). Dia lah yang merupakan pangkal kesyirikan dan kekufuran, di atasnya bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan dibangun. Setiap bid’ah yang menyesatkan dalam agama, pangkal utamanya adalah berkata atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu.” (Madârij as-Sâlikîn karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, h.367-368)

Renungkanlah ucapan ini wahai saudaraku, berhati-hati dan berhati-hatilah dari berkata atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu.

Sabagian ulama Salaf berkata, “Hendaknya sebagian kamu berhati-hati dari mengatakan, ‘Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan ini dan mengharamkan itu’ lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berkata kepadanya, ‘Engkau bohong, Aku tidak pernah menghalalkan ini dan mengharamkan itu.’ Yakni menghalalkan dan mengharamkan dengan semata berlandaskan pendapat yang tidak diiringi dalil dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.”(Madârij as-Sâlikîn karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, h.368)

Ibn al-Qayyim berkata, “Oleh karena itulah, berdusta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dapat memas-tikan seseorang masuk neraka dan mengambil salah satu posisinya sebagai tempat duduk, yaitu tempat tetap yang tidak akan ditinggalkan lagi oleh penghuni-nya sebab ia mengandung perkataan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu seperti berdusta secara nyata-nyata terhadap-Nya. Di samping itu, karena apa yang dinisbatkan kepada Rasul maka pasti ia juga dinisbatkan kepada Mursil (Sang Pengutus, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala). Berkata atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu merupakan kedustaan yang terang-terangan terhadap-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Artinya, Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang mem-buat-buat suatu kedustaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (al-An’âm: 21)
Maka, semua dosa para pelaku bid’ah masuk dalam jenis ini sehingga taubat tidak dapat direalisasikan kecuali dengan bertaubat dari perbuatan-perbuatan bid’ah tersebut.”(Madârij as-Sâlikîn karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, h.368).

Gambaran Kedua:
Membunuh Orang Yang Melakukan Penjagaan Terhadap Non Muslim

Bila ada beberapa orang aparat keamanan mela-kukan penjagaan terhadap umat non Muslim, maka tidak boleh sama sekali membunuh mereka dengan alasan apa pun.

Bila ada yang berkata, “Mereka itu sudah menjadi kafir karena melakukan penjagaan terhadap umat non Muslim tersebut” maka ini adalah perkataan yang tertolak dan tidak seorang ulama pun yang mengatakan kafirnya orang yang melakukan penjagaan terhadap umat non Muslim.

Seperti yang sudah diketahui bahwa setiap individu kaum Muslimin boleh memberikan rasa aman kepada umat non Muslim dan ini sebenarnya sudah cukup sebagai jawaban atas orang yang mengatakan bahwa orang yang melakukan itu adalah kafir sebab tidak mungkin dikatakan kepada seorang Muslim bahwa “kamu tidak boleh memberikan rasa aman kepada umat non Muslim,” sehingga kemudian bila dia mela-kukannya lantas kita katakan kepadanya, “Kamu kafir.”

Adalah kewajiban bagi seorang Muslim untuk men-jaga tangan dan lisannya agar tidak menyakiti siapa pun baik melalui tindakan maupun perkataan. Sebab Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
اْلمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim adalah orang yang memberikan rasa aman kepada kaum Muslimin, baik dari lisan maupun dari tangan-nya.”{i] (HR. al-Bukhary: 10 dan Muslim: 40)