Masalah Kedua:
Islam Berlepas Diri Dari Pembunuhan Terhadap Ummat Non Muslim Di Negeri Islam

Sehubungan dengan dibuatnya perbatasan di zaman kontemporer ini antar negara-negara, maka negara-negara Islam pun tidak mengizinkan masuknya siapa pun ke negerinya kecuali setelah ia mendapatkan apa yang disebut dengan visa. Yaitu, sesuatu yang meru-pakan perlindungan dari negeri ini (pemberi visa) agar orang tersebut tidak diganggu dan aman atas diri dan hartanya serta agar ia berkomitmen memenuhi beberapa persyaratan yang disyaratkannya.

Oleh karena itu, mem-bunuh atau menyakitinya adalah termasuk perkara-perkara yang diharamkan di dalam syari’at Islam ber-dasarkan dalil-dalil yang banyak sekali di antaranya:

A.Orang-orang yang melakukan perjanjian termasuk jiwa yang dijaga, yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menbunuhnya di dalam kitab-Nya.
Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Artinya, “Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (al-An’âm: 151)

Ibn Katsîr berkata, “Terdapat larangan, ke-caman dan ancaman membunuh mu’âhad (orang kafir yang membuat perjanjian dengan pemerintahan Islam), yaitu orang yang termasuk ahl al-harb (orang kafir yang boleh diperangi) tetapi mendapatkan perlindungan.” (Lihat, Tafsîr Ibn Katsîr, Jld.II, h.254)

Demikian pula terdapat ancaman keras diharam-kannya masuk surga bagi orang yang membunuh mu’âhad sebagaimana di dalam sabda Nabi,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ اْلجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
Barangsiapa yang membunuh seorang mu’âhad, maka ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya baunya dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. al-Bukhary: 3166)
Dan sabda beliau,
أَلاَ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدَةً لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُوْلِهِ، فَقَدْ أَخْفَرَ بِذِمَّةِ اللهِ فَلاَ يَرَحْ رَائِحَةَ اْلجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ خَرِيْفًا
Ketahuilah, siapa saja yang membunuh jiwa yang sudah membuat perjanjian, yang memiliki perlindungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, maka ia telah melanggar perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Karenanya) ia tidak akan dapat mencium bau surga dan sesungguhnya baunya dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh musim gugur.” (HR. at-Turmudzy: 1403, dia berkata, “Hasan Shahîh”; Ibn Mâjah: 2686)
Di dalam riwayat Imam al-Bukhary teksnya adalah,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُوْلِهِ
“Barangsiapa yang membunuh seorang mu’âhad yang mendapatkan perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perlindungan Rasul-Nya.” HR. al-Bukhary: 6914
Imam ash-Shan’âny berkata, “Hadits tersebut menunjukkan diharamkannya membunuh seorang mu’âhad.” (Lihat, Subul as-Salâm, Jld.IV, h.136)

B. Agama Islam memerintahkan agar menepati janji dan mengharamkan pembatalannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan di dalam kitab-Nya agar menepati janji di dalam beberapa tempat, di antaranya:
Artinya, “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (al-Isrâ`: 34)
Di dalam ayat yang lain Artinya, “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Se-sungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apa yang kamu perbuat.” (an-Nahl: 91)
Di dalam ayat yang lain Artinya, “Dan penuhilah janji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang demikian itu diperintah-kan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu agar kamu ingat.” (al-An’âm: 152)

Jadi, kita wajib menepati janji terhadap orang-orang kafir yang membuat perjanjian (mu’âhadûn) hingga waktu yang telah disepakati antara kita dan mereka selama mereka tetap komitmen terhadap perjanjian tersebut. (Lihat, Irsyâd Uli al-Albâb, karya Ismâ’il Jamâl, h.73)

Mengenai hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Artinya, “Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Se-sungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyukai orang-orang yang bertaqwa.”(at-Taubah: 4)
Dan firman-Nya,
Di dalam ayat yang lain Artinya, “Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadapa mereka.” (at-Taubah: 7)

Bila ada seorang non Muslim meminta perlin-dungan agar dapat mendengar Kalamullah, maka wajib bagi kaum Muslimin untuk memberikan perlindungan terhadapnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Artinya,“Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (at-Taubah: 6)

Wajib bagi seluruh kaum Muslimin untuk menepati perjanjian ini walaupun yang membuat perjanjian ini adalah individu dari kalangan awam atau seorang wanita. Apalagi yang membuatnya adalah Waliyyul Amri (penguasa) kaum Muslimin. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
ذِمَّةُ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ
“Perlindungan kaum muslimin itu satu, (dapat) diupayakan oleh kalangan paling bawah di antara mereka.” (HR. al-Bukhary: 1870)

Ibn Hajar berkata, “Yakni perlindungan yang mereka berikan adalah benar. Bila salah seorang di antara mereka memberikan perlindungan kepada se-orang kafir, maka orang selainnya diharamkan untuk mengusiknya. Pemberian perlindungan memiliki bebe-rapa persyaratan yang sudah dikenal.

Al-Baidhâwy berkata, ‘Makna adz-Dzimmah (perlindungan) adalah al-‘Ahd (perjanjian), dikatakan demikian karena orang yang memberikannya dicela bila menyia-nyiakannya … Kalimat (dalam teks hadits-penj.) Yas’a biha; makna-nya dapat mengurusinya (pemberian perlindungan) sehingga ia (orang kafir) bisa pergi dan datang.’” (Lihat, Fath al-Bâry karya Ibn Hajar, Jld.IV, h.112)

Imam ash-Shan’âny berkata, “Hadits-hadits tersebut (yang diketengahkannya di dalam kitabnya -penj.) menunjukkan sahnya perlindungan yang diberi-kan oleh setiap Muslim kepada orang kafir. Ini adalah pendapat Jumhur ulama.” (Subul as-Salâm, Op.Cit., h.120)
Juga berdasarkan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Hâni` binti Abu Thalib,
قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئ
”Sudah kami berikan perlindungan orang yang telah engkau beri perlindung itu, wahai Ummu Hâni`.”(HR. al-Bukhary: 3171)

Para ulama telah mencatatkan di dalam buku-buku mereka bahwa pemberian perlindungan berlaku baik dengan lafazh yang sangat jelas seperti أَجَرْتُكَ danأَمَّنْتُكَ (keduanya bermakna; aku telah memberikanmu per-lindungan), أَنْتَ آمِنٌ (Kamu berada dalam perlindungan) ataupun dengan kinayah (sindiran) seperti أَنْتَ عَلَى مَا تُحِبُّ (Kamu dapat berbuat sesukamu) atau كَيْفَ شِئْتَ (Terserah kamu). (Lihat, al-Asybâh Wa an-Nazhâ`ir karya as-Suyûthy, h.506)

Bilamana pemberian perlindungan dapat berlaku walaupun dengan lafazh kinayah, maka apakah masuk akal ia tidak patut ditepati tanpa sebab apa pun? Jawabnya yang pasti adalah tidak masuk akal!
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan pemba-talan perjanjian dan berkhianat terhadap orang yang sudah diberikan perjanjian karena ia termasuk bentuk khianat yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya,
Artinya,“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu, mengkhianati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (al-Anfâl: 27)

Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah memperingatkan agar tidak melanggar perjanjian apa pun yang telah dibuat oleh seorang Muslim dalam sabdanya,
ذِمَّةُ اللهِ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ؛ فَمَنْ أَخْفَرَ مُسْلِمًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَاْلمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلاَ عَدْلٌ
”Perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu satu, (dapat) diupayakan oleh kalang-an bawah di antara mereka; siapa saja yang mengkhianati seorang Muslim, maka atasnya laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Malaikat dan seluruh manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima syafa’at dan fidyah darinya.” (HR. al-Bukhary: 3179)
Dan sabdanya,
مَنْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَوْمٍ عَهْدٌ فَلاَ يَحُلَّنَّ عَقْدًا وَلاَ يَشُدَّنَّهُ حَتَّى يَمْضِيَ أَمَدُهُ أَوْ يَنْبُذُ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ
“Barangsiapa yang membuat perjanjian dengan suatu kaum, maka hendaklah ia tidak membatalkan akadnya dan tidak pula menguatkannya hingga temponya berlalu atau mengem-balikannya kepada mereka dengan cara yang jujur.” (HR. at-Turmudzy: 1580; Abu Daud: 2759 dan Imam Ahmad di dalam Musnad al-Kûfiyyîn dan Musnad asy-Syâmiyyîn dari hadits ‘Amr bin ‘Absah. At-Turmudzy berkata, “Hadits Hasan Shahîh.” Syaikh al-Arna`ûth berkata, “Dan sanadnya adalah Shahîh.”)

Ibn al-Qayyim berkata (Lihat, Zâd al-Ma’âd karya Ibn al-Qayyim, Jld.V, h.88), “Tatkala Quraisy menawan Hudzaifah bin al-Yamân dan ayahandanya, mereka membebaskan keduanya dan membuat perjan-jian dengan mereka berdua agar keduanya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerangi mereka saat mereka keluar ke Badar (untuk berperang). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda, “Kembalilah kamu berdua, kami akan menepati janji mereka dan meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka.” (HR. Muslim: 1787)

Ibn al-Qayyim juga mengetengahkan dalil-dalil yang banyak sekali, yang menjelaskan putusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam a di dalam menepati janji musuhnya dan terhadap para utusannya (musuh tersebut) agar tidak dibunuh dan ditahan serta (putusan) di dalam me-ngembalikan kepada orang yang membuat perjanjian dengan cara yang jujur bila takut dia melanggar perjanjian tersebut.” (Zâd al-Ma’âd, Op.Cit.,h.88)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menerangkan kepada kita bahwa berkhianat merupakan salah satu sifat orang-orang munafik. Hal ini seperti yang dinyatakan di dalam kitab Shahîh al-Bukhary dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعُ خِلاَلٍ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا
“Siapa yang ada padanya empat hal, maka ia adalah seorang munafik tulen: Yang bila bicara, berdusta; bila berjanji, ingkar janji; bila membuat perjanjian, berkhianat dan bila berteng-kar, berbuat fajir. Siapa yang ada padanya salah satu darinya, maka berarti ada padanya satu kemunafikan hingga ia me-ninggalkannya.”(HR. al-Bukhary: 3178)

Di dalam kitab ash-Shahîhain Ibn ‘Umar juga ber-kata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يُنْصَبُّ لِغَدْرَتِهِ
“Setiap pengkhianat memiliki panji yang ditancapkan karena pengkhianatannya.”
Sedangkan di dalam riwayat Anas disebutkan,
لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ -قَالَ أَحَدُ الرُّوَاةِ: يُنْصَبُّ، وَقَالَ اْلآخَرُ: يُرَى يَوْمَ اْلقِيَامَةِ- يُعْرَفُ بِهِ
”Setiap pengkhianat memiliki panji pada hari Kiamat –Salah seorang dari para periwayat berkata, ‘ditancapkan.’ Sedangkan periwayat lain berkata, ’terlihat pada hari Kiamat’- yang ia dikenal dengannya (sebagai tanda pengenalnya).”( HR. al-Bukhary: 3187,3186 ; Muslim: 1736)

Imam an-Nawawy berkata, “Makna ‘setiap pengkhianat memiliki panji’ maksudnya tanda yang dike-nal manusia… Sedangkan makna ‘pengkhianat’ adalah orang yang membuat perjanjian tetapi tidak mene-patinya… Di dalam hadits-hadits ini terdapat penjelasan betapa kerasnya pengharaman perbuatan khianat.” (Lihat, Syarh an-Nawawy, Op.Cit., h.319)

Ibn Hajar juga berkata, “Makna ‘setiap peng-khianat memiliki panji’ maksudnya tanda yang dikenal manusia… Sedangkan makna ‘pengkhianat’ adalah orang yang membuat perjanjian tetapi tidak menepatinya… Di dalam hadits-hadits ini terdapat penjelasan betapa kerasnya pengharaman perbuatan khianat.” (Fath al-Bâry, Op.Cit., h.112)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada umatnya bahwa perjanjian tidak boleh dibatalkan tetapi harus ditepati dalam sabdanya, “Aku tidak melanggar perjanjian dan tidak membunuh para utusan.” (HR. Abu Daud: 2758 dan diriwayatkan Imam Ahmad di dalam Musnad al-Anshâr)

Di dalam hadits ini terdapat penjelasan dari Nabi kepada umatnya bahwa di antara sifat-sifat beliau adalah tidak melanggar perjanjian orang yang sudah membuat perjanjian dengannya sekalipun ia seorang kafir, wajib bagi seluruh umat tanpa terkecuali untuk menepati perjanjian ini.

Di antara para ulama yang mencatatkan mengenai hal ini adalah Imam ash-Shan’âny ketika memberikan komentar setelah memaparkan hadits di atas, “Hadits ini menunjukkan keharusan menjaga perjanjian dan menepatinya sekalipun terhadap orang kafir.”(Subul as-Salâm, Op.Cit., h.126)

C.Membunuh non Muslim di negeri Islam termasuk perbuatan maksiat terhadap Waliyyul Amri dan pembangkangan terhadapnya.
Seperti diketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan untuk mena’atinya selama bukan di dalam berbuat maksiat dan melarang menentang dan membangkang terhadapnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala Ta’ala berfirman,“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ta’atilah Rasul(-Nya) dan ulil amri di antara kamu.” (an-Nisâ`: 59)

D. Membunuh Non Muslim di negeri Islam merupakan bentuk kerusakan di muka bumi.
Biasanya orang yang ingin membunuh umat non Muslim tidak akan mampu melakukannya kecuali de-ngan menggunakan bahan peledak, sebab mereka itu (non Muslim) sudah mendapatkan perlindungan dari negara-negara tempat mereka tinggal. Jadi, bila bahan-bahan peledak ini digunakan, maka akan mengakibat-kan binasanya pula orang-orang yang berada di sekitarnya dan harta-harta benda seperti gedung-gedung, mobil-mobil, makanan dan sebagainya. Belum lagi, menimbulkan rasa takut mereka yang menjadi target tersebut dan setiap orang yang tinggal bersama mereka atau di sekitar mereka. Perbuatan ini tentu tidak dapat disangkal lagi sebagai bentuk kerusakan di muka bumi di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang para hamba-Nya untuk melakukannya sebagaimana dalam firman-Nya, Artinya, “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai kebinasaan.” (al-Baqarah: 204-205)
Dan juga firman-Nya,Artinya, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan mem-buat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23)

E.Membunuh non Muslim di negeri Islam dapat menyebabkan pembunuhan anak-anak dan para wanita yang bersama mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan pembunuhan terhadap anak-anak dan kaum wanita sekalipun di dalam peperangan selama mereka (kaum wanita) tidak ikut berperang dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingkari hal itu. Di dalam kitab ash-Shahîhain dari Ibn ‘Umar bahwasanya ditemukan seorang wanita yang mati terbunuh di dalam salah satu peperangan Nabi, maka beliau mengingkari pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak-anak.(HR. al-Bukhary: 3014; Muslim: 1744)

Imam an-Nawawy berkata, “Para ulama bersepakat untuk mengamalkan hadits ini dan mengharamkan pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak-anak selama mereka tidak ikut berperang, namun jika mereka ikut berperang, maka Jumhur ulama berkata bahwa mereka boleh dibunuh.”(Syarh an-Nawawy, Op.Cit.,h.324)

Sedangkan mengenai penyerangan pada malam hari terhadap non Muslim dan anak-anak cucu yang bersama mereka, Imam Malik dan al-Awzâ’iy berpen-dapat bahwa ‘tidak boleh membunuh kaum wanita dan anak-anak, apa pun kondisinya, sekalipun orang-orang yang berperang itu menjadikan mereka sebagai tameng, bertahan di benteng atau di kapal dan men-jadikan kaum wanita dan anak-anak bersama mereka; maka tidak boleh memanah ataupun membakar mereka.

Sementara Imam asy-Syâfi’iy berpendapat bahwa tidak boleh membunuh wanita kecuali bila ia ikut serta berperang. Ibn Habîb al-Maliky berkata, “Tidak boleh sengaja bermaksud membunuhnya (wa-nita) bila ia juga ikut serta berperang kecuali memang benar ia langsung terjun membunuh dan bertujuan demikian.” (Lihat, Fath al-Bâry, Op.Cit., Jld.VI, h.178-179)

Ibn Hajar menukil kesepakatan ulama atas larangan menyengaja untuk membunuh kaum wanita dan anak-anak. Kemudian dia berkata, “Adapun me-ngapa kaum wanita adalah karena kelemahan mereka sedangkan mengapa anak-anak juga dilarang adalah karena ketidakberdayaan mereka untuk melakukan kekufuran.” (Ibid.,h.179)

Ibn al-Qayyim berkata, “Terdapat hadits yang valid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
اْلمُسْلِمُوْنَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ
Darah kaum Muslimin adalah setara, dan kalangan paling bawah di antara mereka dapat mengupayakan perlindungan atas mereka.” (HR. Abu Daud: 2751; Ibn Mâjah: 2685; an-Nasâ`iy: 4738 dan diriwa-yatkan juga oleh Imam Ahmad di dalam Musnad al-‘Asyarah al-Mubasysyarîn bi al-Jannah.

Syaikh al-Arna`ûth berkata, “Sanadnya Hasan dan didukung oleh hadits Ibn ‘Abbas dan Ma’qil bin Yasâr.”)
Juga terdapat hadits yang valid bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam a telah memberikan perlindungan kepada dua orang yang telah diberi perlindungan oleh Ummu Hâni`, anak paman beliau. (HR. al-Bukhary: 357; Muslim: 336; at-Turmudzy: 1579 dengan lafazh “Ajartu Rajulain Min Ahimmâ`iy, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Qad Ammanna Man Ammanti.”)

Demikian juga berdasarkan hadits yang valid bahwa beliau a telah memberikan perlindungan ke-pada Abu al-‘Âsh bin ar-Rabî’ ketika putrinya, Zainab memberikan perlindungan kepadanya, kemudian beliau bersabda,“Kalangan paling bawah dari kaum Muslimin (berhak) memberikan perlindungan.”(HR. Abu Daud dengan lafazh “Wa Yujîr ‘Alaihim Aqshâhum” no.2751; Ibn Mâjah: 2683 dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari hadits ‘Amr bin al-‘Ash. Syaikh al-Arna`ûth berkata, “Di dalam sanadnya terdapat periwayat majhûl (anonim), juga dikeluarkan di dalam Musnad al-Muktsirîn dan sanadnya Hasan dengan lafazh ‘Yujîr ‘Ala Ummatî Adnâhum.”

Di dalam hadits yang lain, “Kalangan paling bawah kaum Muslimin (berhak) memberikan perlindungan dan (ber-hak) pula kalangan paling jauh mereka untuk mengembali-kannya.” (HR. Abu Daud: 2751; Ibn Mâjah: 2683 dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad di dalam Musnad al-Muktsirîn.
Syaikh al-Arna`ûth ber-kata, “Sanadnya Hasan.”)

Selanjutnya, Ibn al-Qayyim berkata, “Bahwa kalang-an paling bawah kaum muslimin dapat mengupayakan perlindungan buat mereka. Sebagai konsekuenisnya, maka perlindungan yang diberikan oleh seorang wanita dan hamba dapat diterima.” (Lihat, Zâd al-Ma’âd, Op.Cit.,h.89-90)

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa tidak boleh menyengaja untuk membunuh kaum wanita dan anak-anak baik dalam suasana aman ataupun perang. Juga sangat jelas sekali berdasarkan dalil-dalil tersebut betapa Islam tidak bertanggung jawab atas (berlepas diri dari) pembunuhan terhadap nyawa-nyawa tak berdosa baik dari kaum laki-laki, kaum wanita ataupun anak-anak di negeri kaum Muslimin.

F. Membunuh non Muslim di negeri Islam dapat menyebabkan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang berada di sekitar mereka dan memubat takut mereka.
Bila ada umat non Muslim di negeri Islam, maka yang berkewajiban melakukan penjagaan (pengamanan) terhadap mereka adalah kaum Muslimin atau terka-dang terdapat juga bersama mereka itu kaum Muslimin sendiri karena satu dan lain sebab.

Terkadang juga terdapat sebagian kaum Musimin yang sedang lewat di jalan-jalan sekitar gedung-gedung yang dihuni oleh umat non Muslim tersebut. Karena itu, bila ada seseorang yang membunuh mereka dengan meletakkan bahan-bahan peledak di gedung-gedung tersebut, maka ini akan mengakibatkan pembunuhan terhadap siapa pun yang berada di situ atau di dekatnya dari kalangan kaum Muslimin, padahal seperti yang telah kita bicarakan sebelumnya bahwa diharamkan membunuh kaum Muslimin. Jadi, otomatis pula haram membunuh mereka yang sudah membuat perjanjian tersebut (orang-orang kafir mu’âhad) sebab membunuh mereka akan menyebabkan pembunuhan terhadap kaum Muslimn sendiri sedangkan membunuh kaum Muslimin adalah diharamkan. Maka, setiap hal yang dapat menyebabkan sesuatu yang diharamkan adalah haram.
Artinya, berkenaan dengan hal seperti itu tidak bisa dikatakan bahwa umat non Muslim sudah men-jadikan kaum Muslimin sebagai tameng karena dua sebab:

Pertama, Hal ini tidak terdapat di medan pertem-puran tetapi mereka itu adalah orang-orang kafir mu’âhad dan berada di negeri Islam.

Kedua, Bahwa kaum Muslimin tidaklah dipaksa untuk tinggal bersama dengan umat non Muslim tersebut hingga dapat dikatakan bahwa mereka telah dipaksa untuk tinggal sampai dijadikan tameng. Bahkan kaum Muslimin malah mampu keluar dan pergi kapan pun mereka mau. Demikian pula, orang-orang yang berlalu lalang di jalan-jalan terdekat tidak mungkin dikatakan bahwa mereka termasuk dijadikan tameng.

Ada pun menimbulkan rasa takut kaum Muslimin adalah tidak dibolehkan di dalam agama Islam di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menimbulkan rasa takut seorang Muslim dalam sabdanya,
لاَ يَحِلُّ ِلمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak halal bagi seorang Muslim menimbulkan rasa takut muslim yang lain.” (HR. Imam Ahmad di dalam Musnad al-Anshâr; Abu Daud: 5004 dan dinilai shahih oleh al-Albâny di dalam kitab Shahîh al-Jâmi’)

G. Biasanya membunuh umat non Muslim menyebabkan pembunuhan terhadap diri sendiri [terutama dalam kasus bom bunuh diri]
Perlu dicermati, bahwa tindakan-tindakan pele-dakan tersebut biasanya membunuh jiwa pelakunya ketika melakukan tindakan tersebut bahkan yang lebih aneh lagi adalah bahwa pelakunya sengaja membunuh dirinya sendiri [bom bunuh diri] padahal bisa saja dia menyelamatkan diri. Tidak ada interpretasi lain terhadap fenomena seperti ini selain sebagai bentuk bunuh diri dan pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penyayang kepadamu.” (an-Nisâ`: 29)
Khususnya lagi bahwa targetnya adalah orang-orang kafir mu’âhad, dan apa pun alasannya tidak mung-kin menganggap mereka sebagai orang-orang kafir yang boleh diperangi (muhârab).
Sedangkan upaya berdalil dengan hadits Nabi, “Keluarkan orang-orang musyrik dari jazirah Arab” (HR. al-Bukhary: 3168 dan Muslim: 20) atas dibolehkannya membunuh mereka tersebut adalah tidak benar sebab khithâb (pesan) tersebut diarahkan kepada para Waliyyul Amri dan ini termasuk juga kemashlahatan umum yang dipandangnya. Bisa jadi, dikarenakan adanya suatu kebutuhan menuntut ting-galnya sebagian mereka untuk beberapa waktu. Orang-orang musyrik masih ada pada masa Nabi a, masa kekhilafahan Abu Bakar, demikian juga pada masa kekhilafahan Amirul Mukminin, ‘Umar bin al-Khaththab bahkan orang yang membunuh ‘Umar adalah termasuk orang-orang musyrik. Keberadaan individu-individu dari orang-orang musyrik itu terus berlang-sung setelah itu pada masa beberapa khalifah dan Umara` sepanjang periode Daulah Islamiyyah hingga zaman kita saat ini.

Inilah tindakan yang selaras guna menggabungkan antara dalil-dalil terkait dan sikap menepati perjanjian yang terjadi antara kaum Muslimin dan umat non Muslim. Perlu dicatat pula, bahwa pada masanya, ‘Umar bin al-Khaththab pernah memper-ingatkan kaum musyrikin dan memberikan limit waktu hingga tiga malam namun tidak membunuh mereka. Inilah yang dapat dimaknai dari hadits tersebut di mana Nabi hanya memerintahkan agar mereka dikeluarkan (diekstradisi) bukan memerintah agar mereka dibunuh.