Untuk menutup bulan Ramadhan Allah subhanahu wata’ala mensyari’atkan berbagai ibadah yang akan memperbanyak catatan amal kebaikan, menguatkan iman, dan menambah kedekatan dengan Allah subhanahu wata’ala. Di antara amalan yang disyari’atkan selepas Ramadhan yaitu:

Membayar Zakat Fithri.

Zakat fithri ( sering disebut zakat fithrah, red) diwajibkan kepada setiap muslim, baik orang tua, anak-anak, pria, wanita, orang merdeka ataupun budak. Orang yang tidak memiliki kelebihan harta untuk menafkahi kebutuhannya dari pagi hingga malam hari raya tidak terkena kewajiban untuk mengeluar kan zakat fithri. Jika dia mempunyai kelebihan kurang dari satu sha’ maka ia tetap mengeluarkannya sesuai dengan kemampuannya.

Mengenai hikmahnya, maka sangat jelas. Ia merupakan bentuk perbuatan baik (ihsan) kepada fakir miskin, sekaligus mencegah mereka dari meminta-minta di hari raya dan agar mereka bergembira bersama-sama dengan orang kaya, sehingga kebahagiaan di hari raya dirasakan oleh semua kalangan. Hikmah lainnya yaitu, ia akan dapat menumbuhkan sifat kedermawanan dan kasih sayang sekaligus menyucikan orang yang berpuasa dari dosa, kekurangan dan kesia-siaan. Ia juga merupakan ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah subhanahu wata’ala, berupa kesempurnaan pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan, menghidupkannya dengan shalat dan kemudahan untuk melakukan amal-amal shalih lainnya.

Pakaian, bejana, perabot rumah tangga dan benda-benda lainnya selain makanan pokok tidak dapat digunakan untuk membayar zakat fithri. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensyari’atkan pembayaran zakat fithrah dengan makanan, dan ketentuan Nabi ini tidak boleh untuk dilanggar. Juga tidak boleh untuk mengganti makanan dengan uang seharga makanan, karena ini menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan amalan para shahabat.

Takaran zakat fithri adalah satu sha’ nabawi, beratnya mencapai 480 mitsqal, atau 2,04 kg dari gandum (beras) yang berkualitas baik. Seseorang terkena kewajiban membayar zakat fithri adalah mulai terbenamnya matahari di malam hari raya. Jika seseorang meninggal dunia beberapa saat sebelum terbenam matahari, maka dia tidak terkena kewajiban membayar zakat fithri. Sebaliknya jika meninggal setelah terbenam matahari, maka dia terkena kewajiban, meskipun meninggalnya hanya dalam hitungan menit dari tenggelamnya matahari.

Waktu pembayaran zakat fithri yang paling utama adalah ketika Shubuh hari raya sebelum dilaksana kannya shalat Ied. Dibolehkan juga satu atau dua hari sebelum malam hari raya.

Bertakbir

Apabila bilangan bulan Ramadhan telah sempurna maka Allah subhanahu wata’ala mensyari’atkan kepada hamba-Nya untuk bertakbir, dimulai dari terbenamnya matahari malam hari raya sampai didirikannya shalat Ied.

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. 2:185)

Shigat (redaksi) bacaan takbir adalah, “Allahu akbar, Allahu akbar, la ilaha illallahu wallahu akbar, Allahu akbar walillahilhamdu.” Disunnahkan bagi kaum pria untuk mengeraskan takbir tersebut baik di dalam masjid, di pasar, ataupun di rumah-rumah dalam rangka mengumandangkan keagungan Allah subhanahu wata’ala serta menampak kan ibadah dan rasa syukur kepada-Nya. Adapun wanita maka cukup mengucapkannya dengan pelan, karena mereka diperintahkan untuk menutup diri dan menjaga suaranya.

Betapa indahnya keadaan manusia ketika di setiap tempat mereka bertakbir kepada Allah subhanahu wata’ala dalam rangka mengagungkan dan memuliakan-Nya pada saat mereka mengakhiri bulan puasa. Mereka memenuhi seluruh ufuk dengan suara takbir, tahmid dan tahlil karena mangharap rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya.

Shalat Hari Raya

Allah subhanahu wata’ala juga mensyari’atkan shalat Ied pada hari raya sebagai kesempurnaan dzikir kepada-Nya. Hal ini juga diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ummat ini, baik laki-laki ataupun perempuan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para wanita untuk keluar melaksanakan shalat Ied, padahal untuk selain shalat Ied mereka lebih baik tetap berada di rumah. Ini merupakan dalil atas ditekankannya shalat ini.

Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk membawa keluar wanita-wanita merdeka, wanita-wanita haidh dan wanita-wanita yang sedang dipingit ketika Iedul Fithri dan Iedul Adha. Wanita-wanita yang sedang haidh ditempatkan secara terpisah dari tempat shalat, namun mereka menyaksikan kebaikan dan seruan kaum muslimin. Aku berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, ada di antara kami yang tidak memiliki jilbab. Beliau bersabda, “Hendaklah saudarinya memberikan jilbabnya kepadanya.” (Muttafaq ‘alaih)

Disunnahkan untuk memakan kurma dengan jumlah ganjil; Tiga, lima, tujuh atau lebih dari itu, sebelum keluar melaksanakan shalat Ied. Berdasarkan kepada hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, ” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar untuk melaksanakan shalat Ied (Iedul Fithri) sebelum memakan kurma. Dan beliau memakannya dalam jumlah ganjil.” (HR. Ahmad dan Al-Bukhari)

Disunnahkan pula untuk keluar dengan berjalan kaki, tidak berkendaraan, kecuali jika ada udzur, seperti tidak mampu untuk berjalan atau jaraknya cukup jauh. Hal ini berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Termasuk sunnah adalah engkau keluar menuju shalat ied dengan berjalan kaki.” (HR. at-Tirmidzi, dan berkata hadits hasan)

Bagi kaum laki-laki disunnahkan untuk berhias dan memakai pakaian yang paling bagus, namun tidak boleh memakai emas dan baju dari sutera karena itu haram bagi mereka. Adapun wanita, maka boleh baginya berhias menuju shalat Ied namun tetap tidak boleh bertabarruj (membuka aurat), memakai minyak wangi dan membuka kerudungnya. Sebab mereka tetap terkena perintah untuk senantiasa melaksanakan ha-hal tersebut.

Setelah itu kita semua melaksana kan shalat Ied dengan khusyu’ dan hati yang tunduk, serta memperbanyak dzikir dan do’a dengan mengharap rahmat-Nya dan takut adzab-Nya. Momen berkumpulnya manusia pada saat Ied tersebut akan mengingatkan kita bahwa manusia kelak akan berkumpul kembali pada suatu tempat yang agung (Mahsyar) di hadapan Allah subhanahu wata’ala yang Maha Mulia lagi Maha Perkasa.

Pada hari itu setiap mukmin menampakkan kegembiraanya atas nikmat yang telah Allah subhanahu wata’ala berikan kepadanya berupa perjumpaan dengan bulan Ramadhan serta beramal di dalamnya, baik itu berupa shalat, puasa, membaca al-Qur’an, sedekah dan amalan-amalan lainnya. Semua itu lebih baik daripada dunia dan seisinya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS.Yunus:58)

Sesungguhnya puasa Ramadhan di siang hari dan shalat di malam harinya dengan penuh iman dan pengharapan merupakan sebab terampuninya dosa. Seorang mukmin tentu akan bergembira ketika selesai dari melaksanakan puasa dan shalat karena keduanya merupakan sebab terlepas dari dosa. Adapun orang yang lemah imannya dia akan bergembira dengan selesainya puasa, karena ia sebenarnya merasa berat dan enggan untuk melaksanakannya, dan dadanya terasa sempit dalam menjalankan puasa tersebut. Kedua golongan orang ini sama-sama bergembira, namun perbedaan antara dua kegembiraan ini sangatlah besar.

Saudaraku, bulan Ramadhan telah usai namun amal seorang mukmin tidak akan pernah berhenti dan selesai, sebelum maut datang menjemput. Meskipun bulan Ramadhan telah pergi namun itu tidak berarti bahwa seorang mukmin harus terputus dari ibadah puasa, karena puasa tetap disyari’atkan dalam bulan-bulan lainnya meskipun di luar bulan Ramadhan. Di antara puasa tersebut adalah puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal, puasa tiga hari setiap bulan hijriyah (ayyamul bidh tanggal 13,14,15) setiap bulan, puasa Arafah (9 Dzulhijjah), puasa Asyura’, puasa Senin dan Kamis, puasa di bulan Sya’ban, puasa sepuluh hari awal Dzulhijjah, dan juga yang sangat utama yaitu puasa Dawud. Demikian pula meskipun shalat tarawih telah usai namun di luar Ramadhan masih banyak shalat-shalat sunnah dan nawafil yang lainnya.

Disadur dan diringkas dari buku “Majlis Ramadhan” Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin, Pustaka Imam Syafi’i.