Seyogyanya, bagi seseorang yang mana orang lain berkata kepadanya, “Pemutus perkara antara aku dan kamu adalah kitab Allah, atau Sunnah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam, atau perkataan para ulama dari kaum Muslimin,” Saya berkata, ‘Sesungguhnya pendapat para ahli ilmu (boleh) dilihat adalah untuk memahami nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, namun tidak boleh dijadikan sebagai sandaran hukum yang berfungsi sebagai sumber penetapan syariat yang berdiri sendiri. Kecuali kalau yang dimaksud adalah ijma’. Yang jelas, ungkapan “Ulama kaum Muslimin” adalah ungkapan yang sangat longgar sekali, ia mencakup dalam urf mayoritas umat ini para khathib Jum’at dan imam masjid, kaum fanatis agama, kaum ekstrim sufi, dan selain mereka dari kalangan pencari makan dan para penganut khurafat. Dan sudah diketahui secara umum bahwa tidaklah berdosa orang yang menolak perkataan mereka, dan menolak kembali kepadanya, namun dosa di atas dosa, demi Allah, adalah tertimpakan kepada orang yang menjadikan perkataan ahli ilmu sebagai hujjah antara dia dan Rabbnya, atau hukum antara Allah dan makhluk. Atau yang semisalnya. Atau dia mengatakan, “Pergilah bersamaku kepada hakim bagi kaum Muslimin, atau mufti untuk melerai perselisihan yang terjadi di antara kita,” dan yang semisalnya. Maka hendaklah dia mengatakan, “Sami’na wa Atha’na (Kami mendengar dan kami patuh),” atau “Sam’an wa Tha’atan (Kami mendengar dan kami patuh),” atau “Ya dengan segala hormat,” atau semisalnya.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَّقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 51).

Pasal: Bagi orang yang ditentang atau diselisihi oleh orang lain dalam suatu masalah, dan dikatakan kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah Subhanahu waTa`ala,” atau “Takutlah kepada Allah Subhanahu waTa`ala,” atau “Tunduklah kepada Allah,” atau “Ketahuilah bahwa Allah Subhanahu waTa`ala yang mengawasi segala perbuatanmu,” atau “Ketahuilah bahwa kalimat yang kamu ucapkan akan dituliskan sebagai tanggunganmu dan kamu akan dihitung atas ucapanmu,” atau dikatakan kepadanya, “Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُّحْضَرًا

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya).” (Ali Imran: 30), atau

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.” (al-Baqarah: 281),

Atau ayat-ayat yang semisal dengannya dan juga lafazh-lafazh yang semisal dengannya maka seyogyanya dia menjadikan dirinya beradab seraya mengatakan, “Sam’an wa Tha’atan” (Kami mendengar dan kami patuh). atau “Saya memohon taufik kepada Allah untuk hal tersebut,” atau “Saya memohon kepada Allah yang Mahamulia kelembutanNya.” Kemudian dia bersikap ramah dalam berdialog dengan orang yang mengatakan demikian pada dirinya, dan hendaklah dia berhati-hati dari sikap peremehan dalam pengungkapannya pada saat tersebut. Banyak orang yang berbicara kurang layak pada saat tersebut. Dan mungkin sebagian orang membicarakan pembicaraan yang bisa menjadikannya kufur.

Begitu pula seyogyanya apabila temannya berkata kepadanya, “Perbuatan yang kamu lakukan ini bertentangan dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,” atau semisalnya, maka hendaklah dia jangan menjawab, “Saya tidak harus berpegang pada hadits,” atau “Saya tidak mengamalkan hadits,” atau ungkapan jelek semisalnya, sekalipun hadits tersebut makna zahirnya memang ditinggalkan, karena ditakhshish atau ditakwil atau semisalnya, maka ketika itu hendaklah ketika dia mengucapkan, Hadits tersebut makna zahirnya tidak dipakai, karena ditakhshish atau ditakwil atau zahirnya ditinggalkan berdasarkan ijma’, dan semisalnya.

Hal tersebut haruslah sesuai dengan keadaan sebenarnya, dan ia bukan sebagai jalan untuk pemutarbalikan dan menolak nash sebagai tindakan fanatisme kepada syaikh, kelompok, dan madzhab. Maka setiap amal tergantung pada niatnya. Dan Allah adalah paling mengetahui terhadap rahasia.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky