DEFINISI USAHA

Usaha secara etimologi artinya adalah kegiatan atau pekerjaan dalam bentuk umum.
Secara terminologis sering digunakan untuk semua jenis pekerjaan manusia dan aktivitasnya, seperti dalam firman Allah, artinya,

“Dan katakanlah, ‘Berusahalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat usahamu itu.” (At-Taubah: 105).

Namun terkadang digunakan untuk arti khusus: yakni keterampilan, profesi atau mencari rizki seperti, dalam sabda Nabi:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطُّ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik dari makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri. Karena Nabi Allah Daud makan dari hasil usaha tangannya sendiri.” HR. Bukhari
Usaha dalam Islam dibatasi dengan dua hal: Keikhlasan dan ittiba’ atau mengikuti Rasulullah. Yakni bahwa usahanya itu hendaknya dilakukan untuk mencari keridhaan Allah dan hendaknya usahanya itu sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .
Allah berfirman, artinya,

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya”. (Al-Kahfi: 110).

Kebenaran satu usaha tentu saja dilihat dari kesesuaian usaha itu dengan syariat. Sementara Allah tidak akan memberikan pahala pada satu amalan kecuali bila bertujuan mengharapkan keridhaanNya.

Usaha yang menentukan tegaknya hidup manusia, hukumnya fardhu ‘ain. Sementara usaha menentukan tegaknya kehidupan bersama, hukumnya adalah fardhu kifayah. Mendirikan perusahaan dan perindustrian dilihat dari kebutuhan umat secara kolektif hukumnya adalah fardhu kifayah. Bertawakal kepada Allah tidak berarti menganggur dan meninggalkan usaha. Karena yang demikian disebut “penggantungan”, yang tercela. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerintahkan umat manusia meninggalkan usaha mencari rizki dan mencari penghidupan. Bahkan Allah mengakui cara mencari rizki yang Allah ridhai. Oleh sebab itu tidak ada alasan mencela jalur-jalur usaha yang disyariatkan. Yang dicela adalah yang menyebabkan pelakunya lupa kepada Allah dan menghalanginya untuk beramal ibadah kepadaNya, sebagaimana dalam firman Allah, artinya, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah…” (An-Nur: 37).

Ilmu dan amal dalam Islam tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu orang yang beramal atau berusaha harus mempelajari hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan bidang usahanya sehingga tidak tergelincir dan terjerumus dalam keharaman. Seorang bisnisman hendaknya mempelajari bagian ilmu fiqih yang berkaitan dengan berbagai aktivitas bisnis yang diharamkan. Untuk alasan itulah buku ini disusun. Demikian juga sikap seorang dokter, petani, produsen dan lain sebagainya.

Sebagaimana seorang pekerja wajib mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan bidang usahanya dari hukum-hukum syariat, ia juga harus menekuni dan mengerjakan pekerjaannya itu dengan baik, serta melakukan berbagai cara yang dapat menolongnya menyelesaikan pekerjaannya, dengan melatih dan mengajarkan ilmunya atau dengan cara lain. Terkecuali bila ia menipu kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa yang berbuat curang, maka ia bukan termasuk umatku.”

Orang yang bekerja sebagai dokter tetapi tidak mengenal ilmu kedokteran, maka ia harus bertanggung jawab.