Pada khuthbah yang disampaikan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam di hari penaklukan Mekkah dinyatakan bahwa “Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan Mekkah akan tetapi hanya ada jihad dan niat” (HR.Bukhari). Jadi hijrah dari Mekkah ke Madinah tidak lagi dihitung wajib sekalipun hukumnya tetap wajib dari negeri kafir ke negeri-negeri Islam hingga Hari Kiamat.
Hijrah ke Madinah disyari’atkan agar kaum Muslimin dapat dengan bebas beribadah kepada Rabb mereka dengan rasa aman, mendirikan pilar negara Islam dan menjaganya, untuk kemudian memperluas wilayah negara ini melalui dakwah kepada Allah. Sementara berhijrah setelah penaklukan Mekkah tidak begitu penting lagi karena eksistensi Islam sudah kuat dan kaum Muslimin sudah memiliki negara sehingga keberadaan kaum Muslimin di negeri mereka sendiri adalah lebih efektif untuk menjalankan syi’ar-syi’ar Islam dan menyebarkan ajarannya di seluruh pelosok negeri.

Sementara jihad tetap berjalan hingga hari Kiamat. Oleh karena itu, setelah penaklukan, Rasulullah membai’at kaum Muslimin atas Islam, iman dan jihad dan tidak membai’at mereka atas hijrah.

Mengenai hal ini, Ibn ‘Umar r.a., menjelaskan, “Hijrah terputus setelah penaklukan pada masa Rasulullah sementara ia tetap berlaku selama masih ada orang-orang Kafir yang diperangi.” Maknanya, selama di dunia ini masih ada Dar Kafir, maka hijrah masih wajib bagi orang yang masuk Islam dan khawatir terjadi fitnah terhadap diennya.

Dalil penguat atas statement ini adalah firman Allah Ta’ala pada ayat 97-98, surat an-Nisa`.
Dengan demikian, momentum berdirinya Negara Islam di Madinah dan kebutuhan akan bala tentara yang bertindak melindunginya menuntut diwajibkannya hijrah ke Madinah bagi setiap Muslim yang mampu.

Al-Khaththabi berkata, “Hijrah ke Madinah dilakukan pada masa beliau Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam untuk mendampingi beliau berperang dan mempelajari syari’at Islam. Allah Ta’ala telah menegaskan masalah ini dalam beberapa ayat sampai-sampai memutus permberlakukan hak saling melindungi antara orang yang berhijrah dan tidak berhijrah. Yaitu dalam firman-Nya (artinya) “Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah” (Q.s., al-Anfal:72). Tatkala Mekkah berhasil ditaklukkan dan orang-orang secara berbondong-bondong masuk Islam dari seluruh kabilah, maka gugurlah kewajiban berhijrah namun hukumnya tetap dianjurkan.”

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan pula bahwa bilamana ada diantara negara-negara kafir itu yang lebih memberikan perlindungan dan kebebasan kepada seorang Muslim di dalam menjalankan diennya dan dakwah, maka ia lebih pantas untuk dijadikan tempat menetap bila mana jalan ke arah itu memungkinkan bagi si Muslim dan tidak wajib baginya berhijrah karena negeri-negeri ini sudah seperti Dar Islam. Jadi menetap di sana lebih baik ketimbang meninggalkannya karena lebih diharapkan ada orang lain yang nantinya masuk Islam.”

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam menggunakan segala faktor-faktor pendukung dan sarana-sarana materialistik yang secara alami akal manusia memang menghajatkannya di dalam menghadapi permasalahan seperti itu. Tindakan berhijrah itu dilakukan beliau, bukan karena faktor takut dirinya celaka atau ragu kemungkinan dirinya jatuh ke tangan kaum Musyrikin, akan tetapi ini adalah pensyari’atan bagi umat agar mereka meneladani beliau sehingga dalam setiap perbuatan mereka, selalu berpegang kepada faktor-faktor pendukungnya.

Adalah sunnatullah, bahwa sebab ada bila ada penyebabnya selama Allah tidak membatalkan hal itu sebagaimana yang diperbuat-Nya ketika api Dia jadikan dingin dan keselamatan bagi Ibrahim a.s.,. Bila yang terjadi seperti ini, maka ini merupakan bagian dari mukjizat Nabi dan keramat bagi orang-orang Shalih serta istidraj (perdayaan) bagi orang-orang yang tidak shalih dari kalangan manusia. Buktinya, setelah beliau melakukan semua faktor-faktor pendukung yang bersifat materialistik tersebut, beliau menjadi tenang sementara sahabat beliau, Abu Bakar masih diliputi kecemasan. Konsekuensi dari ketergantungan kepada berbagai sarana kehati-hatian itu setidaknya masih menyisakan sedikit rasa takut dan cemas. Jadi, semua sarana kehati-hatian itu adalah tidak lain merupakan bagian dari tugas pensyari’atan yang harus beliau lakukan. Maka tatkala beliau selesai menjalankannya, hati beliau kembali tertaut dengan Allah Ta’ala, bergantung kepada perlindungan dan taufiq-Nya. Hal itu agar kaum Muslimin mengetahui bahwa ketergantungan di dalam segala sesuatu tidak pantas kecuali kepada Allah Ta’ala semata dan itu tidak menafikan pengambilan faktor-faktor pendukung dan tadbir untuk mencapai tujuan.

Kesediaan ‘Ali untuk tidur di ranjang Rasulullah menggantikan beliau pada malam hijrah tercatat sebagai keutamaan pribadinya yang amat besar dan menunjukkan keimanan serta keberaniannya. Ini juga menunjukkan bolehnya menipu musuh dan mengelabui mereka, bila hal itu dilakukan sebagai salah satu upaya mendapatkan faktor-faktor keselamatan.

Peran yang dimainkan para pemuda di dalam melaksanakan rencana Rasulullah untuk berhijrah, seperti peran ‘Ali dan putera-putera Abu Bakar dianggap sebagai peran teladan dan baik sekali dari para pemuda Islam tersebut.

Sesungguhnya mukjizat-mukjizat yang ditampakkan Allah untuk melindungi Nabi-Nya di dalam rihlah tersebut datang sebagaimana mukjizat yang lainnya, sebagai bagian dari pemuliaan kepada Rasulullah dan isyarat bahwa Allah adalah Penolongnya dan akan memantapkan diennya di muka bumi, baik dalam waktu yang lama ataupun singkat.

Demikian juga, peran yang dilakukan Abu Bakar di dalam hijrah, tercatat sebagai keutamaan pribadinya yang terbesar. Sebenarnya, sudah cukup baginya sebagai kemuliaan bahwa dirinya disinggung di dalam al-Qur’an berkenaan dengan hal itu, dalam firman-Nya (artinya), “Dua orang ketika keduanya berada dalam gua, diwaktu dia berkata kepada temannya:”Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita.” (Q.s.,at-Tawbah:40)

Bila kita merenungi kisah Abu Ayyub dan isterinya di dalam bertabarruk (mengambil berkah) dari bekas-bekas (peninggalan-peninggalan) Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam dan persetujuan beliau atas hal itu, maka jelaslah bagi kita disyari’atkannya mencari berkah dari semua bekas-bekas (peninggalan-peninggalan) beliau, bila masih ada. (Lihat: at-Tawassul: Anwâ’uhu Wa Ahkâmuhu, karya Syaikh al-Albâniy:142-147)

Sikap yang ditunjukkan Abu Ayyub al-Anshariy dan isteri menunjukkan betapa kecintaan para shahabat terhadap diri Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam . Dan ini merupakan gambaran yang terus terjadi sepanjang sirah Nabawiyyah.

Keengganan Rasulullah memakan bawang merah merupakan salah satu hal yang khusus bagi beliau saja, sebab pada dasarnya beliau menghalalkannya bagi kaum Muslimin dengan syarat tidak memakannya ketika akan ke masjid kecuali bila sudah hilang baunya. Rasulullah sendiri memberikan pengarahan akan hal itu, yaitu bahwa barang siapa yang ingin memakan bawang merah, maka hendaknya dia mematikan (bau)nya dengan cara dimasak. (SUMBER: as-Sîrah an-Nabawiyyah Fî Dlaw`i al-Mashâdir al-Ashliyyah, karya Dr.Mahdiy Rizqullah Ahmad, h.288-291)