Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدتُّمْ

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji”. (An-Nahl:91)

Dan Dia berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Al-Ma`idah: 1)

Dan Dia juga berfirman,

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً

“dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabnya.” (Al-Isra`: 34).

Dan ayat-ayat tentang hal tersebut sangat banyak, adapun ayat yang paling tegas adalah firman Allah Subhanahu waTa`ala,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَالاَتَفْعَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shaf: 2-3).

Dan kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ. زَادَ فِي رِوَايَةٍ: وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ.

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; apabila berkata, maka dia bohong, apabila berjanji, maka dia ingkar, dan apabila dipercaya, maka dia berkhianat.”

Al-Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Alamah al-Munafiq, 1/89, no. 33; dan Muslim,Kitab al-Iman, Bab Bayan Khishal al-Munafiq, 1/78, no. 59.

Dalam riwayat lain dia menambahkan, “Walaupun dia berpuasa,shalat dan mengklaim bahwa dia adalah seorang Muslim.”

Dan hadits-hadits dengan makna ini sangat banyak sekali, dan dalam pembahasan yang kami sebutkan sudah mencukupi.

Para Ulama telah berijma’ bahwa Barangsiapa yang menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan sesuatu hal yang tidak dilarang, maka seharusnya dia menepati janji-nya. Dan apakah hal itu wajib atau mustahab? Terdapat perbedaan pendapat di antara mereka: Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah serta Jumhur berpendapat bahwa hal itu mustahab (sunnah), kalau dia meninggalkannya maka dia meninggalkan keutamaan dan melakukan perbuatan makruh, yaitu makruh tanzih (makruh yang tidak disebabkan oleh nash), namun tidak berdosa. Sebagian jama’ah berpendapat bahwa hal tersebut adalah wajib. Imam Abu Bakar bin al-Arabi al-Maliki berkata, “Orang yang paling nampak berpedoman dengan madzhab ini adalah Umar bin Abdul Aziz.” Dia berkata, “Sedangkan Malikiyah berpendapat dengan madzhab ketiga, bahwa apabila janji tersebut berkaitan dengan suatu sebab seperti seorang yang mengatakan, “Nikahlah, maka kamu akan mendapatkan sesuatu,’ atau ‘Bersumpahlah bahwa kamu tidak mencelaku, maka kamu akan mendapatkan sesuatu,’ atau semisal dengan ungkapan tersebut, maka wajiblah dia menepati janji. Dan apabila janji tersebut bersifat mutlak, maka tidak wajib menepatinya. Kelompok yang tidak mewajibkannya beristidlal bahwa dia bermakna pemberian (hibah). Sedangkan hibah tidak harus dipenuhi kecuali pemberian telah diterima menurut Jumhur, dan menurut al-Malikiyah harus dipenuhi sebelum diberikan sekalipun.

Dalam pandangan saya, kebenaran yang cenderung diterima sepenuhnya oleh tabiat manusia yang sehat dan fitrah yang lurus adalah bahwasanya memenuhi janji adalah di antara kewajiban-kewajiban yang mana akan berdosa bagi orang yang meninggalkannya.
Dan yang benar-benar aneh di sini adalah dikesampingkannya dalil-dalil yang ada dan begitu banyak yang mendorong untuk memenuhi janji yang (di antara dalil-dalil itu ada yang) mengategorikan sikap (memenuhi janji) itu sebagai salah satu akhlak kaum Mukminin, perbuatan para nabi, bahkan salah satu sifat Rabb semesta alam. Juga, (di antara dalil-dalil tersebut) ada yang melarang sikap mengingkari janji, dan mengategorikannya sebagai salah satu sifat-sifat orang-orang munafik, bahkan sifat setan. Dan itu hanya karena syubhat menyamakan janji (memberikan sesuatu) dengan hibah (pemberian cuma-cuma). Bukankah menyamakan janji akan lebih utama, lebih dekat dan lebih lurus dengan perjanjian? Inipun jika kita terima argumen yang mengatakan bahwa hibah tidak mesti dipenuhi kecuali setelah barang bersangkutan telah dipegang oleh pihak yang menerima.

Dan ketahuilah wahai anda yang mencari kebenaran, bahwasanya kebenaran tidak menginginkan selain itu; dan bahwasanya kerusakan yang muncul dari pandangan seperti ini sangat banyak untuk disebutkan dan dihitung satu-persatu, cukuplah bagi anda bahwa itu akan membukakan pintu kebohongan kepada hamba-hamba Allah, dan juga mengajarkan seseorang untuk merasa kenyang dengan kebaikan yang tidak pernah dilakukan dan diberikannya, dan kemudian menimbang janji-janji seenaknya setiap kali dia hendak melakukannnya, lalu dia sama sekali tidak merasa memikul tanggung jawab dari perkataannya; karena dalam masalah ini ada keluasan… dan itu semua akan memporak-porandakan ikatan suatu masyarakat, kemudian menebarkan perasaan ragu-ragu dan sangsi terhadap setiap ucapan, bahkan kepada setiap orang yang berkata, sampai anda akan melihat orang-orang tidak akan rela terhadap suatu ucapan, kecuali yang dikuatkan dengan sumpah yang berlapis-lapis.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky