Ketahuilah bahwa tidak diperbolehkan berdoa untuk kafir dzimmi dengan doa yang mengandung ampunan dan doa-doa yang semisal dengannya, yang tidak boleh dipanjatkan untuk orang kafir, namun boleh berdoa untuknya dengan doa yang mengandung hidayah, kesehatan jasmani dan rohani serta yang semisal dengannya.

Kami meriwayatkan dalam Kitab Ibn as-Sunni, dari Anas radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

اِسْتَسْقَى النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم، فَسَقَاهُ يَهُوْدِيٌّ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: جَمَّلَكَ اللهُ. فَمَا رَأَى الشَّيْبَ حَتَّى مَاتَ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta minum, lalu seorang Yahudi memberi beliau minum, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, ‘Semoga Allah membaguskanmu.’ Maka dia tidak melihat uban(nya) hingga dia meninggal.”

Dhaif: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, no. 25814, 29825 dan 31748; dan dari Ibnu Abi Syaibah ditambah Ahmad bin Mani’; Abu Dawud meriwayatkannya dalam al-Marasil, no. 492; keduanya meriwayatkan dari Ibnu al-Mubarak, dari Ma’mar, dari Qatadah secara mursal, dan mereka semua adalah perawi tsiqah asy-Syaikhain; Ibn as-Sunni, no. 285; menyelisihi keduanya, maka dia meriwayatkannya dari jalur al-Khalil bin Amr al-Baghawi, dari Ibnu al-Mubarak, dari Ma’mar, dari Qatadah, dari Anas dengan hadits tersebut, di mana dia memaushulkannya dan sanadnya kuat. Akan tetapi yang rajih di sini adalah hadits yang diriwayatkan secara mursal, disebabkan dua hal:

Pertama, berkumpulnya dua rawi yang tsiqah padanya,

Kedua, bahwa Ibnu al-Mubarak telah dimutaba’ah pada pemursalannya, di mana Abdurrazaq, no. 19462 telah meriwayat-kannya, dan dari jalurnya diriwayatkan al-Baihaqi dalam ad-Dalail 6/210, dari Ma’mar, dari Qatadah, secara mursal.

Dan telah datang hadits dari jalur yang lain pada Ibn as-Sunni no. 289, Ubaidillah bin Syabib telah menceritakan kepadaku, Abdurrahman bin Quraisy telah menceritakan kepada kami, dari Bisyr bin al-Walid, dari Ibnu al-Mubarak, dari Salamah bin Wardan, dari Anas dengan hadits tersebut. Dan sanad ini tidak berharga; Ibnu Syabib, saya tidak mengenalnya. Sedangkan Ibnu Quraisy adalah pemilik hadits-hadits yang diriwayatkannya sendirian (al-Afrad) dan hadits-hadits yang aneh (ghara`ib), serta tertuduh dengan sesuatu yang tidak tetap. Ibnu al-Walid adalah seorang yang di akhir hidupnya mengalami ketercampuran dalam hafalan hadits. Ibnu al-Mubarak tidak bertemu Ibnu Wardan, dan rawi yang terakhir ini sangat lemah hampir ditinggalkan.
Dan ia mempunyai jalur ketiga pada al-Baihaqi dalam ad-Dalail 6/210: dari jalur Muhammad bin Sulaiman al-Minqari, Abu Amr al-Anshari Muhammad bin Ibrahim bin ‘Azrah bin Tsabit telah menceritakan kepada kami, dari ayahnya ‘Azrah, dari Tsumamah, dari Anas dengan hadits tersebut. Dan sanad ini juga sangat lemah. Pada awalnya ‘Azrah bukanlah ayah Muhammad melainkan kakeknya. Dan Muhammad ini disebutkan dalam al-Lisan dengan riwayat al-Minqari darinya, dan dia berkata, “Dengan khabar yang munkar.” Dan belum ditambah, maka secara zahir dia majhul. Dan saya belum menemukan biografi al-Minqari. Kemudian telah diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah dari ‘Azrah, maka mereka menjadikannya termasuk Musnad Amr bin Akhthab.
Maka dengan ini nampaklah bahwa yang terjaga adalah pada jalur pertama yang mursal, sedangkan yang bersambung (maushul) adalah munkar. Dan bahwa yang dikenal dari Ibnu al-Mubarak adalah jalur pertama yang mursal, sedangkan jalur yang kedua, munkar. Demikian pula yang dikenal dari Azrah bahwa ia dari Musnad Amru bin Akhthab, dan dia adalah pemilik kisah tersebut. Dia seorang Anshar Khazraj, bukan Yahudi. Jalur yang ketiga juga munkar. Berdasarkan keterangan ini, maka kisah tersebut adalah lemah, baik secara tersendiri, atau jika jalan-jalannya disatukan sekalipun.

Dan masalah yang tersisa adalah apakah layak hadits Amru bin Akhthab pada Ahmad 5/340-341; Ibnu Hibban, no. 7172 digunakan untuk menguatkan kisah ini? Sebagai jawaban untuknya, maka saya berkata, Apabila kejadiannya adalah satu dan ia merupakan kecenderungan hati-, maka yang membawa riwayat ini adalah Amru bin Akhthab, sedangkan penyebutan bahwa dia seorang Yahudi maka itu adalah munkar atau salah duga dari para perawi karena terjebak oleh nama Akhthab. Namun apabila ia dua hadits dan ia mungkin terjadi- maka penyebutan bahwa dia seorang Yahudi adalah pendapat yang dhaif, karena tidak ada sesuatu pun yang menguatkannya. Wallahu A’lam.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky