KEUNTUNGAN

Keuntungan Halal dan Keuntungan Haram

Keuntungan adalah selisih lebih antara harga pokok dan biaya yang dikeluarkan dengan penjualan. Kalangan ekonom mendefinisikannya sebagai: Selisih antara total penjualan dengan total biaya, total penjualan yakni harga barang yang dijual. Total biaya operasional adalah seluruh biaya yang dikeluarkan dalam penjualan, yang terlihat dan tersembunyi.

Karena perniagaan berarti jual beli dengan tujuan mencari keuntungan, maka keuntungan merupakan tujuannya yang paling mendasar, bahkan merupakan tujuan asli dari perniagaan.

Asal dari mencari keuntungan adalah disyariatkan, kecuali bila diambil dengan cara haram. Di antara cara-cara haram dalam mengeruk keuntungan adalah:

  • Keuntungan dari Memperdagangkan Komoditi Haram

    Segala yang muncul dari hasil memperjualbelikan komoditi haram adalah haram, termasuk usaha kotor yang diwadahi oleh transaksi yang rusak pula. Contohnya memperjualbelikan minuman keras, obat bius, bangkai, daging babi, segala sesuatu yang membahayakan orang seperti makan-makanan rusak, minuman-minuman tidak sehat serta berbagai bahan makanan berbahaya dan sejenisnya. Dalil yang menunjukkan haramnya menjual komoditi haram itu banyak sekali dan amat populer. Nanti akan penulis paparkan sebagian di antaranya di bagian khusus dari pembahasan ini, insyaa Allah.

  • Keuntungan dari Perdagangan Curang dan Manipulatif

    Yakni dengan cara menyembunyikan cacat barang dagangan atau menawarkan barang dagangan dengan tampilan yang berbeda dari sebenarnya, dengan trik yang dapat mengelabui pembeli dan mengaburkan penglihatannya.

    Para ulama salaf dahulu berpandangan bahwa memberitahukan cacat barang termasuk nasihat yang merupakan isi pokok ajaran ini. Termasuk bagian yang menjadi baiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap para sahabat beliau. Mereka tidak menganggap diri mereka melakukan perbuatan yang disunnahkan saja ketika mereka memberikan nasihat.

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, untuk KitabNya, untuk RasulNya, untuk kaum muslimin yang awam dan untuk para pemimpin mereka.” HR.Muslim

  • Keuntungan Melalui Penyamaran Harga yang Tidak Wajar

    Yakni melalui tindakan kamuflase harga yang tidak wajar menurut kebiasaan. Asal dari kamuflase harga tersebut masih diizinkan. Karena tujuan dari berdagang adalah mencari keuntungan. Dan itu tidak mungkin melainkan dengan sedikit kamuflase harga. Sementara kamuflase berat itu hanya terjadi dengan semacam penyembunyian harga yang berkembang saat itu. Bila harga meningkat karena penyembunyian harga pasar, maka itu kenaikan yang dipaksakan. Sementara kalau kenaikan harga tidak dengan menyembunyikan harga pasar, tentu itu merupakan keutamaan Allah atas diri penjual.

  • Keuntungan Melalui Penimbunan Barang Dagangan

    Menimbun yang dimaksud di sini adalah segala pencekalan komoditi seperti makanan pokok dan yang lainnya yang berakibat membahayakan orang banyak. Demikian menurut pendapat yang tepat dari para ulama. Namun dosa menimbun makanan pokok dalam penjualan itu lebih besar, karena orang sangat membutuhkannya.

    Diriwayatkan oleh Muslim dengan sanadnya sendiri dari Said bin Musayyab, dari Ma’mar bin Abdillah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

    “Tidaklah melakukan penimbunan barang dagangan kecuali Ahli Maksiat.”

Batas Maksimal Keuntungan

Tidak ada dalil dalam syariat sehubungan dengan jumlah tertentu dari keuntungan sehingga bila melebihi jumlah tersebut dianggap haram, sehingga menjadi kaidah umum untuk seluruh jenis barang dagangan di setiap zaman dan tempat. Hal itu karena beberapa hikmah, di antaranya:

Perbedaan harga, terkadang cepat berputar dan terkadang lambat. Kalau perputarannya cepat, maka keuntungannya lebih sedikit, menurut kebiasaan. Sementara bila perputarannya lambat, keuntungannya banyak.

Perbedaan penjualan kontan dengan penjualan dengan pembayaran tertunda. Pada asalnya, keuntungan pada penjualan kontan lebih sedikit daripada penjualan bentuk kedua.

Perbedaan komoditi yang dijual, antara komoditi primer dan sekunder, keuntungannya lebih sedikit, karena memperhatikan kaum papa dan orang-orang yang membutuhkan, dengan komoditi luks, yang keuntungannya dilebihkan menurut kebiasaan, karena kurang dibutuhkan (sehingga jarang laku).

Oleh sebab itu sebagaimana telah dijelaskan, tidak ada diriwayatkan dalam sunnah Nabi yang suci pembatasan keuntungan sehingga tidak boleh mengambil keuntungan lebih dari itu. Bahkan sebaliknya diriwayatkan hadits yang menetapkan bolehnya keuntungan dagang itu mencapai dua kali lipat pada kondisi-kondisi tertentu, atau bahkan lebih dari itu.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, dari Urwah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor kambing buat beliau. Lalu Urwah menggunakan uang tersebut untuk membeli dua ekor kambing. Salah satu kambing itu dijual dengan harga satu dinar, lalu ia datang menemui Nabi dengan membawa kambing tersebut dengan satu dinar yang masih utuh. Ia menceritakan apa yang dia kerjakan. Maka Nabi mendoakan agar jual belinya itu diberkati oleh Allah. Setelah itu, kalau saja ia mau membeli tanah, ia bisa menjualnya dengan mendapatkan keuntungan!

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Urwah bahwa ia menceritakan:

“Nabi pernah ditawarkan kambing dagangan. Lalu beliau memberikan satu dinar kepadaku. Beliau bersabda, ‘Hai Urwa, datangi pedagang hewan itu, belikan untukku satu ekor kambing.’ Aku mendatangi pedagang tersebut dan menawar kambingnya. Akhirnya aku berhasil membawa dua ekor kambing. Aku kembali dengan membawa kedua ekor kambing tersebut -dalam riwayat lain ‘menggiring kedua kambing itu’- Di tengah jalan, aku bertemu seorang lelaki dan menawar kambingku. Kujual satu ekor kambing dengan harga satu dinar. Aku kembali kepada Nabi dengan membawa satu dinar berikut satu ekor kambing. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Ini kambing Anda dan ini satu dinar juga milik Anda!’ Beliau bertanya, “Apa yang engkau lakukan?” Aku menceritakan semuanya. Beliau bersabda, ‘Ya Allah, berkatilah keuntungan perniagaannya.’ Kualami sesudah itu bahwa aku pernah berdiri di Kinasah di kota Kufah, aku berhasil membawa keuntungan empat puluh ribu dinar sebelum aku sampai ke rumah menemui keluargaku.” HR. Ahmad di dalam Musnadnya.

Diriwayatkan dengan shahih bahwa Zubair bin al-Awwam pernah membeli sebuah tanah hutan, yakni sebidang tanah luas di daerah tinggi di kota Madinah dengan harga seratus tujuh puluh ribu dinar. Namun kemudian ia menjualnya dengan harga satu juta dinar. Yakni menjualnya dengan harga berlipat-lipat kali lebih mahal.

Hal yang perlu dicermati di sini, bahwa semua kejadian itu tidak mengandung unsur penipuan, manipulasi, monopoli, memanfaatkan keluguan pembeli, ketidaktahuannya, kondisinya yang terpepet atau sedang membutuhkan, lalu harga ditinggikan.

Di sisi lain, semua kejadian ini tidaklah menggambarkan kaidah umum dalam mengukur keuntungan. Justru sikap memberi kemudahan, sikap santun dan puas dengan keuntungan yang sedikit itu lebih sesuai dengan petunjuk para ulama salaf dan ruh kehidupan syariat.

Orang yang puas dengan keuntungan sedikit pasti usahanya akan penuh dengan berkah. Ali biasa keliling pasar Kufah dengan membawa tongkat sambil berkata, “Hai para pedagang, ambillah hak kalian, kalian akan selamat. Jangan kalian tolak keuntungan yang sedikit, karena kalian bisa terhalangi mendapatkan keuntungan besar..”

Sebagaimana pendapat yang mengatakan bahwa para pe-dagang bebas membatasi keuntungan mereka dalam batas-batas yang sesuai dengan kaidah-kaidah syariat secara umum, tidaklah menghalangi pemerintah untuk melakukan standarisasi harga dan memaksa para pedagang untuk menjual barang dagangan mereka dengan harga tertentu, tidak boleh lebih dari itu, apabila kondisi mendesak ke arah itu dan terdapat situasi yang mengharuskan adanya standarisasi harga tersebut.