Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang tiada Nabi setelahnya, serta atas keluarga besar dan para sahabatnya.

Tetanggaku yang Mulia!

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Tulisan ini adalah curahan hati yang ingin aku bisikkan ke kedua pende-ngaranmu dan aku aromai dengan tetesan kasih dan keinginan kuat demi kebaikanmu. Sebab, bagaimana aku tidak berantusias untuk kebaikanmu sedang-kan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berpesan agar memperhatikan tetangga hingga sampai-sampai para sahabat mengira bahwa beliau akan memberikan bagian warisan kepada tetangganya?!.

Bagaimana aku tidak berantusias untuk kebaikanmu, sementara aku tidak pernah melihat hal yang kurang menyenangkan engkau lakukan terhadap diriku, keluargaku dan hartaku?! Bagaimana aku tidak berantusias untuk kebaikanmu, padahal engkau selalu melakukan sesuatu demi ketenangan dan agar tidak mengganggu-ku?! Bagaimana aku tidak berantusias untuk kebaikanmu sementara engkau sanggup menahan hiruk pikuk dan gangguan yang dilakukan oleh anak-anakku?!.

Demi membalas budimu ini terhadapku, maka izinkan aku untuk melimpahkan curahan hati ini kepadamu. Hal ini semua berangkat dari kecintaanku kepadamu dan kekhawa-tiranku terhadap dirimu serta sebagai refleksi dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya, sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Tetanggaku yang Mulia!

Tentunya engkau tidak meragukan lagi bahwa shalat berjama’ah merupakan salah satu hal yang penting yang diserukan Islam dan dianjurkan kepada kaum Muslimin agar selalu konsisten terhadapnya dan tidak menyia-nyiakannya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menuaikan zakat, dan tidak takut (kepa-da siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.at-Taubah:18)

Di mana lagi tempat orang-orang yang ruku’ melakukan ruku’nya dan orang-orang yang bersujud melakukan sujudnya bila tidak di masjid? Di mana lagi tempat shalat didirikan bila tidak di masjid? Di mana lagi tempat kaum Muslimin saling mengenal, akrab dan saling mengasihi bila tidak di masjid?

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nuur: 36-37)

Berbicara tentang shalat berjama’ah berarti berbicara tentang hal yang besar. Oleh karena itu, Ulama as-Salaf ash-Shalih teramat sangat memperhatikannya dan selalu mempersiapkan diri untuknya dengan sebaik-baiknya.

Dikisahkan, bahwa di antara mereka ada yang selama 40 tahun selalu berada di masjid sebelum Muadzdzin mengumandangkan adzan. Di antara mereka ada yang sejak sekian tahun tidak pernah ketinggalan takbiratul ihram. Di antara mereka ada yang meski fisik sudah lemah dan sakit menahun menggerogoti tubuhnya, tak mampu mencegah dirinya untuk memenuhi panggilan adzan dan menuju masjid saat mendengar panggilan “hayya alash-shalah, hayya ‘alal falah” (mari kita shalat, mari menyongsong kemenangan) padahal sakit yang dideritanya begitu berat.

Tapi, wahai tetanggaku yang mulia, Allah subhanahu wata’ala telah menganugerahkan kese-hatan dan kebugaran kepadamu dan memudahkanmu menuju masjid karena berada di samping rumahmu. Hanya beberapa langkah kecil saja, engkau sudah sampai ke masjid dan meraih pahala besar dan berlipat jika shalat berjama’ah. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Shalat berjama’ah menggungguli pahala shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Sekalipun janji pahala shalat berjama’ah sedemikian besar dan engkau mampu serta begitu mudah bisa mencapai masjid, mengapa jarang sekali aku melihatmu di sana?

Demi Allah ! Aku tahu, engkau mengerjakan shalat di rumahmu. Tetapi, bukankah shalat di rumah itu tidak diperuntukkan buat laki-laki yang kuat dan sehat? Shalat di rumah hanya khusus buat kaum wanita dan orang-orang yang memiliki ‘udzur seperti orang sakit dan lumpuh. Sementara engkau, wahai saudaraku tercinta, bukanlah seperti itu kondisimu.

Saudaraku tercinta!

Tidakkah engkau ingin meraih pahala berlipat melalui shalat berjama’ah tersebut? Tidakkah engkau mau mendapatkan naungan dari Allah subhanahu wata’ala pada hari yang ketika itu tidak ada naungan di sana selain naungan-Nya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang di dalamnya disebutkan, “…dan seorang laki-laki yang hatinya tertambat kepada masjid-masjid?”

Tidakkah engkau senang mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pergi ke masjid dan memenuhi panggilan adzan? Tidakkah engkau senang mengajarkan anak-anakmu bagaimana konsisten dengan shalat berjama’ah bersama kaum Muslimin dan membiasakan mereka menghormati masjid dan mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah subhanahu wata’ala?

Tidakkah engkau rindu melihat saudara-saudaramu kaum Muslimin dan bertanya tentang kondisi mereka? Tidakkah engkau ingin malaikat memintakan ampunan untukmu sejak engkau keluar dari rumah hingga kembali seusai melakukan shalat? Tidakkah engkau ingin anugerah-anugerah Allah subhanahu wata’ala yang diraih para penghuni masjid dan orang-orang yang menghidupkan rumah-rumah Allah?

Wahai Saudaraku!

Tidakkah engkau tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan dispensasi (keringanan) kepada lelaki tunanetra yang tidak memiliki penuntun jalan agar bisa melakukan shalat di rumahnya dan meninggalkan shalat berjama’ah bahkan beliau bersabda kepadanya, “Apakah engkau mendengar adzan shalat?” dan ketika dia menjawab, “ya”, beliau bersabda, “maka penuhilah (panggilan-nya)?” (HR. Muslim).

Apa yang harus kita katakan bagi orang yang berbadan sehat, kuat dan diberi nikmat oleh Allah subhanahu wata’ala dengan penglihatan yang normal, kekuatan badan, dan rizki yang melimpah?

Tetanggaku yang Mulia!

Melaksanakan shalat berjama’ah memiliki kenikmatan tersendiri yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah terbiasa dengannya, menyongsong-nya di tengah dingin nan membeku, dan panas nan menyengat.

Sesungguhnya shalat berjama’ah dapat ‘menyuntikkan’ ketenangan dan kedamaian di hati, menyelimuti seluruh badan dengan kepuasan jiwa dan ketentraman batin. Ia adalah seberkas cahaya yang memenuhi sekujur badan dan kegembiraan abadi yang selalu berganti setiap lima kali sehari. Sesungguhnya ia adalah ‘miniatur’ kesatuan, kekuatan, dan kekompakan kaum Muslimin. Sesungguhnya ia adalah potret hidup bentuk ibadah kepada Sang Pencipta langit dan bumi. Sesungguhnya ia merupakan bentuk pengakuan terhadap nikmat dan rasa syukur yang terefleksikan melalui perkataan dan perbuatan atas anugerah-anugerah dan karunia-karunia-Nya.

Ibnu Mas’ud z pernah berkata, “Siapa yang senang bertemu dengan Allah kelak dalam kondisi berserah diri (Muslim), maka hendaklah dia konsisten melakukan shalat-shalat tersebut di mana saja dia dipanggil olehnya karena sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan Sunnah-sunnah Petunjuk tersebut. Jikalau kalian melakukan shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang melakukan shalat di rumahnya ini, niscaya kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, dan jikalau kalian tinggalkan sunnah Nabi kalian niscaya kalian telah sesat. Tidaklah seorang laki-laki bersuci lantas menyempurnakan wudhunya kemudian pergi menuju salah satu dari masjid-masjid ini melainkan Allah telah mencatatkan satu kebaikan baginya dari setiap langkah yang dia langkahkan. Dengan langkahnya tersebut, Dia Ta’ala mengangkat derajatnya dengan satu derajat dan menghapuskan satu kejelekan darinya. Sungguh aku telah melihat diri kami; tidak ada seorang pun yang ‘mangkir’ (tidak melakukan shalat di masjid) selain ia adalah sosok seorang Munafiq yang jelas-jelas kemunafikannya! Dan sungguh, seseorang akan terseret dan terapit di antara dua orang untuk berada di shaf (barisan) tersebut.” (HR. Ahmad)

Wahai Tetanggaku yang Mulia!

Ingin aku melihatmu selalu berada di masjid memenuhi panggilan ar-Rahman. Aku ingin agar kita bekerja sama membangunkan masing-masing kita untuk melakukan shalat Shubuh. Aku ingin agar kita sama-sama berlomba menuju surga dan beradu cepat di medan amal shalih dan perolehan pahala dan keuntungan. Aku ingin kegembiraanku menjadi sempurna dengan bertetangga denganmu sehingga kita bisa berkumpul untuk berbuat ta’at kepada Allah subhanahu wata’ala dan berpisah juga dalam rangka yang sama. Aku ingin mencurahkan kepadamu problematikaku, demikian pula, engkau mencurahkan problematikamu kepadaku.

Apakah engkau akan kikir terhadap tetanggamu yang ingin melengkapi kegembiraannya? Apakah engkau menghalanginya untuk menyempurnakan kesenangan dan keceriaannya? Aku kira engkau tidak akan pernah melakukan hal itu, bukankah demikian? (Dari tetanggamu yang tulus)
Sumber: Buletin berjudul Hamsah Fi Udzuni Jaari (Abu Shofiyyah)