Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)

Dan hadits-hadits tentangnya sangat banyak lagi masyhur. Ayat yang mulia ini mencakup segala sesuatu. Maka apabila Allah Subhanahu waTa`ala telah memerintahkan dalam kitabNya yang berupa nash yang jelas, yang memperingatkan NabiNya Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bermusyawarah padahal beliau adalah manusia yang paling sempurna, maka bagaimana dengan selain beliau?

Dan ketahuilah bahwasanya dianjurkan bagi orang yang berniat melakukan sesuatu perkara, agar meminta pendapat tentangnya dari orang yang dipercayai agamanya.

Dan telah kami riwayatkan dalam Shahih Muslim, (Kitab al-Iman, Bab Bayan Anna ad-Din an-Nashihah, 1/73, no. 55.) dari Tamim ad-Dari radiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,

اَلدِّيْنُ النَّصِيحَةُ. قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لله وَكِتَابِهِ وَرَسُوْلِهِ وَأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ.

“Agama itu adalah nasihat. Mereka bertanya, ‘Untuk siapa wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum Muslimin dan kaum Muslimin secara umum’.”

Nasihat untuk Allah Subhanahu waTa`ala, maknanya, perintah keimanan kepada Allah dan mencegah berbuat syirik terhadapNya, dan hakikat penyandaran hal ini kembali kepada hamba dalam menasihati dirinya sendiri, karena Allah ta’ala adalah tidak membutuhkan nasihat penasihat.

Nasihat untuk kitabNya Shallallahu ‘alaihi wasallam, maknanya, beriman bahwa ia adalah kalam Allah Subhanahu waTa`ala dan tidak diserupai oleh sesuatu pun dari perkataan makhluk, dan mengamalkan yang muhkamnya serta berserah diri dari mutasyabihnya.

Nasihat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maknanya adalah pembenarannya terhadap kerasulan dan beriman kepada semua wahyu yang diturunkan kepadanya.

Nasihat untuk pemimpin kaum Muslimin adalah menolong mereka dalam kebenaran dan menaati mereka di dalamnya serta menjalankan perintah mereka. Dan yang dimaksud dengan A immah al-Muslimin adalah khalifah dan selain mereka yang memimpin wilayah, yang melaksanakan urusan-urusan kaum Muslimin.

Sedangkan nasihat untuk kaum Muslimin seluruhnya adalah mereka yang selain para pemimpin (Wulat al-Umur), adalah memberi petunjuk kepada mereka untuk kemaslahatan mereka di akhirat dan dunia mereka.

Muhammad Fu`ad Abdul Baqi meringkasnya dari penjelasan panjang lebar Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 2/38. Orang yang berkeinginan untuk memahami hadits ini dengan benar hendaklah melihatnya. Sesungguhnya saya mencukupkan diri dengan menyebutkan ringkasannya karena takut terjadi pelebaran pembahasan.

Dan kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa`i dan Sunan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اَلْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ.

‘Orang yang diajak bermusyawarah adalah terpercaya’.”

Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 256; Ibnu Majah, Kitab al-Adab, Bab al-Mustasyar Mu’taman, 2/1233, no. 3745; Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab al-Musyawwarah, 2/755, no. 5128; at-Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Bab Ma’isyah Ashabi an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, 4/583, no. 2369, 2370 dan 2822; an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra, no. 14977-Tuhfah; ath-Thahawi dalam Musykil al-Atsar 1/195; al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/131; dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 10/112 dan asy-Syu’ab, no. 4604, 4606 dan 5269: dari berbagai jalur, dari Abdul Malik bin Umair, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Dan sekali waktu dia mengatakan, “Hadits ini hasan, shahih, gharib,” dan al-Mundziri menyetujui kehasanannya, sedang al-Asqalani menguatkannya. Adapun al-Hakim dia berkata, “Berda-sarkan syarat asy-Syaikhain.” Dan adz-Dzahabi serta al-Albani menyetujuinya. Saya berkata, “Sepertinya kehasanannya ini dia lihat dari perubahan Abdul Malik pada akhir hayatnya,akan tetapi dia diikuti oleh Umar bin Abi Salamah, dari ayahnya pada Ibnu Adi 5/1698, maka apabila hadits ini tidak shahih dengan jalur sanad yang pertama, maka dia shahih dengan mengumpulkan kedua jalur sanadnya.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky