Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Anas radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada saudaranya yang kecil,

يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟

“Wahai Abu Umair, apa yang diperbuat oleh anak burung kecil (nughair)?” (Telah dikemukakan teks dan takhrijnya pada no. 907)

Dan kami meriwayatkan dalam Kitab Abu Dawud dan at-Tirmidzi juga dari Anas radiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya,

ياَ ذَا اْلأُذُنَيْنِ،

“Wahai orang yang mempunyai dua telinga!”

Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad 3/117,127, 242, 260; Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab Ma Ja`a fi al-Mizah, 2/719, no. 5002, at-Tirmidzi, kitab al-Birr, Bab Ma Ja`a fi al-Mizah, 4/358, no. 1992 dan 3828; Abu Ya’la, no. 4029; ath-Thabrani 1/240, no. 663; Ibn as-Sunni, no. 420; al-Baihaqi 10/248; al-Baghawi, no. 3606: dari berbagai jalur, dari Syuraik, dari Ashim, dari Anas dengan hadits tersebut.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan, shahih, gharib,” dan al-Baghawi menyetujuinya. Saya berkata, “Syuraik tidak tertolak dari segi kejujuran, akan tetapi penghafal yang buruk dan banyak melakukan kesalahan, maka orang semisalnya adalah haditsnya tidak menjadi hasan. Pendeknya dia menjadi orang yang shalih dalam syawahid, akan tetapi dia dimutaba’ah. Maka al-Khatib dalam at-Tarikh 13/46 telah meriwayatkannya, dari jalur Musa bin Hayyan al-Bindar, Hafsh bin Umar telah menceritakan kepada kami, Syu’bah telah menceritakan kepada kami, dari Ashim, dari Anas. Dan Musa bin Hayyan adalah majhul. Begitu pula Ashim dia dimutaba’ah dari jalur yang hasan, pada ath-Thabrani 1/240, no. 662; dari jalur Harb bin Maimun, dari an-Nadhar bin Anas, dari Anas. Kesimpulannya bahwa hadits ini pada akhirnya shahih, dengan mutaba’ah-mutaba’ah ini. At-Tirmidzi, al-Baghawi dan al-Albani telah menshahihkannya.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini shahih.”

Dan kami meriwayatkan dalam Kitab Abu Dawud dan at-Tirmidzi juga,

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، احْمِلْنِيْ. فَقَالَ: إِنِّيْ حَامِلُكَ عَلَى وَلَدِ النَّاقَةِ. فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ النَّاقَةِ؟ فَقَالَ: رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم، وَهَلْ تَلِدُ اْلإِبِلَ إِلاَ النُّوقُ.

“Bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, bawalah aku (dengan kendaraan tungganganmu).’ Beliau menjawab, ‘Saya akan membawamu dengan berkendaraan anak unta betina.’ Dia bertanya, ‘Apa yang bisa saya perbuat dengan anak unta betina?’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apakah unta jantan dilahirkan selain oleh unta betina?'”

Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad 3/267; Abu Dawud, Ibid., no. 4998; at-Tirmidzi, Ibid., 4/357, no. 1991; Abu Ya’la, no. 3776; al-Baihaqi 10/248; dan al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, no. 3605: dari jalur Khalid bin Abdillah, dari Humaid, dari Anas dengan hadits tersebut.

Dan mereka semua adalah perawi tsiqah asy-Syaikhain, maka sanad ini sangat shahih, kalau bukan karena dinodai oleh Humaid disebabkan tadlisnya terhadap hadits-hadits Anas, tetapi itu bukan aib. Saya telah mengetahui perantara yang ditadlisnya, dia adalah Tsabit al-Bunani, seorang yang tsiqah, maka hadits tersebut shahih.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”

Dan kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا؟ قَالَ: إِنِّيْ لاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا.

“Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya anda mencandai kami?’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya saya tidak berkata kecuali perkataan yang benar’.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad 2/340 dan 360; al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 265; at-Tirmidzi, Kitab al-Birr, Bab Ma Ja`a fi al-Mizah, 4/357, no. 1990; Ibn as-Sunni, no. 418; al-Baihaqi 10/248; dan al-Baghawi no. 3602: dari tiga jalur sanad yang kuat, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih,” al-Baghawi berkata, “Hasan.” Dan al-Albani menshahihkannya. Saya berkata, Jalan-jalannya secara sendiri-sendiri adalah hasan, dan hadits ini shahih dengan pengumpulan sanad-sanadnya, dan dia mempunyai syawahid yang banyak berupa perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan di antaranya hadits-hadits yang telah dikemukakan sebelumnya.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”

Dan kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,

لاَ تُمَارِ أَخَاكَ، وَلاَ تُمَازِحْهُ، وَلاَ تَعِدْهُ مَوْعِدَةً فَتُخْلِفَهُ.

“Janganlah kamu mendebat saudaramu, dan janganlah kamu bercanda terhadapnya (dengan canda yang dapat menyinggungnya), serta janganlah kamu menjanjikannya suatu janji lalu kamu mengingkarinya.”

Dhaif: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 394; at-Tirmidzi, Kitab al-Birr, Bab Ma Ja`a fi al-Mira`, 4/359, no. 1995; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 3/344; dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 8431: dari jalur Laits, dari Abdul Malik, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan hadits tersebut.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib kami tidak mengetahuinya, kecuali dari jalur ini, dan menurutku Abdul Malik ini adalah Ibnu (Abi) Basyir. Dan Abu Nu’aim berkata, “Gharib,” dari haditsnya Ikrimah, dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Laits dari Abdul Malik.” Saya berkata,”Abdul Malik adalah Ibnu Abi Basyir sebagaimana yang dinyatakan oleh at-Tirmidzi dan Abu Nu’aim, dia tsiqah. Dan illat tersebut disebabkan oleh Laits, karena sesungguhnya dia adalah Ibnu Abi Sulaim, dan dia dhaif. Oleh karena itu, Abu Nu’aim mendhaifkan hadits tersebut sebagaimana yang anda lihat. Al-Albani mengikutinya.

Para ulama berkata, “Bercanda yang dilarang adalah bercanda yang berlebihan dan terus-menerus, karena itu akan menimbulkan tertawa dan kerasnya hati, serta menyibukkan diri dari berdzikir kepada Allah Subhanahu waTa`ala dan melalaikan dari pemikiran tentang kepentingan Agama. Dan pada banyak kesempatan menjerumuskannya kepada menyakiti orang, membangkitkan iri hati, dan menjatuhkan wibawa. Adapun bercanda yang selamat dari perkara-perkara ini, maka ia adalah mubah yang mana Rasulullah melakukannya, dan beliau melakukannya pada kondisi tertentu untuk suatu kemaslahatan, dan untuk menye-nangkan dan menyayangi jiwa pihak yang diajak bicara. Maka bercanda seperti ini tidak ada larangan sama sekali, bahkan ia adalah sunnah yang dianjurkan apabila dalam cara-cara baik seperti ini.” Maka berpedomanlah kepada sesuatu yang kami nukilkan dari para ulama, dan kepada apa yang telah kami tahqiq dalam hadits-hadits ini dan penjelasan hukumnya. Karena ia termasuk yang sangat dibutuhkan.” Wabillahi at-Taufiq.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky