Ketahuilah bahwasanya dianjurkan untuk meminta syafa’at (baca, berhubungan melalui perantara) kepada pemerintah (Waliyyul Amri) dan pihak-pihak lainnya yang memiliki wewenang memenuhi hak-hak (masyarakat banyak); selama perantara tersebut bukan dalam (usaha menggugurkan) hukuman (hudud) dari dirinya, atau dalam usaha meninggalkan suatu perintah (Syari’at) yang tidak boleh ditinggalkan. Seperti misalnya, mengambil perantara kepada pengawas (dari pemerintah) yang berwenang meninjau anak kecil, atau orang gila, atau waqaf; untuk tidak memberikan hak-hak yang merupakan tanggung jawab orang bersangkutan dalam daerah wewenang pengawas tersebut. Ini semua adalah syafa’at yang diharamkan kepada yang memberi syafa’at dan yang diberi syafa’at untuk menerimanya, dan diharamkan pula bagi orang lainnya untuk berusaha mendapatkannya apabila dia mengetahui.

Dan dalil-dalil tentang semua yang telah saya sebutkan, tampak jelas dalam al-Kitab, as-Sunnah dan perkataan ulama.

Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

مَّن يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُ نَصِيبُُ مِّنْهَا وَمَن يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُن لَهُ كِفْلُُ مِّنْهَا وَكَانَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ مُّقِيتًا

“Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa yang memberikan syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nisa: 85)

“الْمُقِيْتُ” bermakna “الْمُقْتَدِرُ” dan “الْمُقَدَّرُ” berarti (Yang menakdirkan dan Yang Maha Kuasa).” Ini merupakan pandangan ahli bahasa. Dan ia diceritakan dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu dan mufassir yang lainnya. Mufassir lainnya lagi mengatakan, “الْمُقِيْتُ” bermakna “الْحَفِيْظُ” (Yang Maha Menjaga),” dan menurut pendapat lain dikatakan, “الْمُقِيْتُ” adalah Yang menanggung makan semua makhluk serta rizkinya.” Al-Kalbi berkata, “الْمُقِيْتُ” bermakna Yang Memberi balasan kebaikan dan keburukan,” menurut pendapat lain dikatakan, “الْمُقِيْتُ” bermakna “الشَّهِيْدُ” (Yang Maha Menyaksikan),” dan ia kembali kepada makna “الْحَفِيْظُ” (Yang Maha Menjaga). Adapun “الْكِفْلُ” (tanggungan) bermakna bagian dan jatah. Adapun syafaat yang disebut dalam ayat, maka Jumhur menafsirkannya sebagai syafa’at yang dikenal secara terminologi agama, yaitu syafa’at manusia antara satu terhadap yang lainnya. Dikatakan (dalam riwayat lain), ‘Asy-Syafa’at al-Hasanah adalah menggenapi imannya untuk memerangi kaum kafir.” ( Diawalinya dengan, ‘Menurut suatu pendapat,’ menimbulkan asumsi bahwa pendapat itu lemah dan bertentangan dengan yang benar dan an-Nawawi pantas untuk melakukan hal itu, demi Allah, karena ia berasal dari penakwilan ar-Rafidhah dan al-Batinah.) Wallahu a’lam.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Musa al-Asy’ari radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِذَا أَتَاهُ طَالِبُ حَاجَةٍ، أَقْبَلَ عَلَى جُلَسَائِهِ، فَقَالَ: اِشْفَعُوْا تُؤْجَرُوْا، وَيَقْضِي اللهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ مَا أَحَبَّ ( وَفِي رِوَايَةٍ : مَا شَاءَ).

“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila didatangi oleh orang yang mempunyai keperluan maka beliau menghadap kepada (para sahabat) yang duduk bersamanya seraya bersabda, ‘Mintalah syafa’at (kepadaku) untuk orang tersebut, niscaya kalian akan diberi pahala, dan Allah akan menakdirkan melewati lisan NabiNya apa yang disukaiNya’.” Dalam riwayat lain, “Apa yang dikehendaki-Nya.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab az-Zakah, Bab at-Tahridh ala ash-Shadaqah, 3/299, no. 1432; dan Muslim, Kitab al-Birr, Bab Istihbab asy-Syafa’ah, 4/2026, no. 2627.

Dan dalam riwayat Abu Dawud,

اِشْفَعُوْا إِلَيَّ لِتُؤْجَرُوْا، وَلْيَقْضِ اللهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ مَا شَاءَ.

“Mintalah syafa’at kepadaku agar kalian diberi pahala, dan agar Allah menakdirkan melewati lisan NabiNya apa yang dikehendakiNya.”

Dan riwayat ini memperjelas makna hadits yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari,Kitab ath-Thalaq, Bab Syafa’ah an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,9/408, no. 5283.dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu dalam kisah Barirah dan suaminya, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,

لَوْ رَاجَعْتِهِ، قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، تَأْمُرُنِيْ؟ قَالَ: إِنَّمَا أَشْفَعُ. قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِيْ فِيْهِ.

‘Kalau kamu merujuk suamimu.’ Dia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, apakah anda menyu-ruhku?’ Beliau menjawab, ‘(Tidak), saya berkata demikian hanyalah untuk memberi syafa’at (untuk suamimu).’ Dia menjawab, ‘Saya sudah tidak membutuhkannya’.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dari Ibnu Abbas, dia ber-kata,

لَمَّا قَدِمَ عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنِ بْنِ حُذَيْفَةَ بْنِ بَدْرٍ، نَزَلَ عَلَى ابْنِ أَخِيْهِ الْحُرِّ بْنِ قَيْسٍ، وَكَانَ مِنَ النَّفَرِ الَّذِيْنَ يُدْنِيْهِمْ عُمَرُ رضي الله عنه، فَقَالَ عُيَيْنَةُ: يَا ابْنَ أَخِيْ، لَكَ وَجْهٌ عِنْدَ هذَا اْلأَمِيْرِ، فَاسْتَأْذِنْ لِيْ عَلَيْهِ. فَاسْتَأْذَنَ لَهُ عُمَرَ، فَلَمَّا دَخَلَ، قَالَ: هِيْ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، فَوَاللهِ، مَا تُعْطِيْنَا الْجَزْلَ، وَلاَ تَحْكُمُ بَيْنَنَا بِالْعَدْلِ. فَغَضِبَ عُمَرُ حَتَّى هَمَّ أَنْ يُوقِعَ بِهِ، فَقَالَ الْحُرُّ: يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ، إِنَّ اللهَ سبحانه و تعالى قَالَ لِنَبِيِّهِ صلى الله عليه و سلم: خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين. وَإِنَّ هذَا مِنَ الْجَاهِلِيْنَ وَاللهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِيْنَ تَلاَهَا عَلَيْهِ وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللهِ سبحانه و تعالى.

“Ketika ‘Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badr datang berkunjung kepada keponakannya al-Hurr bin Qais yang mana dia termasuk orang-orang yang dekat dengan Umar radiyallahu ‘anhu seraya berkata, ‘Wahai keponakanku, kamu memiliki kedudukan di hadapan amir ini, maka mintakanlah izin untukku menghadapnya.’ Maka dia memintakan izin untuknya kepada Umar. Ketika dia masuk, dia berkata, ‘Berlakulah lebih baik wahai Umar bin al-Khaththab, demi Allah, kamu tidak memberikan bagian yang banyak kepada kami dan kamu tidak menghukumi di antara kami dengan adil.’ Maka Umar marah sehingga ingin memukulnya, maka al-Hurr berkata kepadanya, ‘Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya Allah Subhanahu waTa`ala berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.’ (QS. 7:199). Dan dia ini termasuk orang-orang yang bodoh.’ Demi Allah, Umar tidak berbuat melampaui batas, ketika dia membacakannya ayat tersebut. Dia adalah orang yang berserah diri sepenuhnya kepada kitab Allah Subhanahu waTa`ala.” ( Telah dikemukakan pada no. 995.)

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky