Wanita adalah salah satu daya tarik dunia di samping harta dan kedudukan, fitnahnya besar, senjatanya adalah daya tarik dirinya, kelembutan, kelemahan dan tangisannya, korban fitnahnya banyak, dari kalangan umum, bahkan dari kalangan yang tidak disangka akan menjadi korban, ternyata menjadi korban. Rasulullah saw telah bersabda benar ketika beliau meminta kaum muslimin berhati-hati terhadap kaum hawa ini, “Berhati-hatilah kamu terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita.” (HR. Muslim).

Dalam Kitab al-Adzkiya` diceritakan bahwa sebagian saudagar keliling bercerita, kami para saudagar dari berbagai negeri sedang berkumpul berbincang-bincang di masjid Amru bin al-Ash Mesir. Suatu hari manakala kami sedang duduk berbincang, kami melihat seorang wanita di dekat kami, dia bersandar di salah satu tiang masjid. Salah seorang saudagar dari Baghdad mendekat dan bertanya kepadanya, “Ada apa denganmu?”

Wanita itu bercerita, “Aku wanita sebatang kara, suamiku pergi sepuluh tahun yang lalu tanpa berita, aku telah pergi kepada bapak hakim agar memfasakh pernikahkanku, sehingga aku bisa menikah dengan orang lain, akan tetapi dia menolak padahal suamiku tidak sedikit pun menafkahiku. Aku berharap ada seorang laki-laki yang bersedia menjadi saksi, dia dan teman-temannya bahwa suamiku telah mati atau telah mentalakku agar aku bisa menikah atau dia berkata, ‘Aku suaminya’ lalu dia mentalakku di depan hakim. Setelah itu aku bisa menghadapi masa iddah dengan sabar dan setelah itu aku menikah.”

Saudagar itu berkata kepadanya, “Bagaimana kalau kamu memberiku satu dinar lalu aku akan menghadap bapak hakim bersamamu dan aku katakan kepadanya bahwa aku adalah suamimu dan aku mentalakmu?”

Wanita itu menangis dan berkata, “Demi Allah aku hanya mempunyai ini.” Sambil tangannya menyerahkan empat keping ruba’iyat. Saudagar itu mengambilnya dan pergi bersamanya kepada hakim.

Lanjut sohibul hikayat, lama kami menunggunya, dia tidak kunjung kembali. Esok harinya kami bertemu dengannya. Kami bertanya, “Ada apa denganmu? Kami menantimu” Dia berkata, “Biarkan aku, aku mengalami masalah yang memalukan.” Kami berkata, “Ceritakanlah.”

Dia berkata, “Aku pergi bersama wanita itu kepada bapak hakim, wanita itu mengklaim diriku adalah suaminya yang meninggalkannya selama sepuluh tahun. Dia memohon di hadapan hakim agar aku mentalaknya. Aku mengiyakan ucapannya.”

Hakim bertanya kepada wanita itu, “Apakah kamu membebaskannya dari kewajiban yang selama ini tidak dia tunaikan?” Wanita itu menjawab, “Demi Allah tidak, dia wajib membayar mahar, nafkah sepuluh tahun karena itu hakku.” Hakim berkata kepadaku, “Kamu harus membayar haknya, setelah itu terserah kamu, mentalaknya atau tetap bersamanya.”

Saudagar itu melanjutkan, “Sesuatu yang tidak pernah aku duga. Aku terjebak dalam kebingungan. Aku tidak berani menceritakan hal sebenarnya, takut tidak dipercaya. Maka hakim menyerahkanku ke kantor polisi. Akhirnya wanita itu mengambil dariku sepuluh dinar, sementara empat keping ruba’iyat yang aku ambil darinya aku bayarkan, juga dari uangku dan hasil patungan para pembantu hakim dan pegawainya.”

Kami semua tertawa, dia sendiri malu dan pergi dari Mesir. Setelah itu kami tidak mengetahui beritanya. Selesai

Syaikh Abul Wafa’ bin Aqil, salah seorang tokoh Hanabilah pada masanya, berkisah, sebagian teman bercerita kepadaku bahwa ada seorang wanita duduk di pintu toko seorang saudagar kain yang bujangan sampai sore. Ketika pemilik toko hendak menutup tokonya, wanita itu melihat-lihat kepadanya. Saudagar itu bertanya, “Sore apa ini?” Wanita itu menjawab, “Demi Allah aku tidak memiliki tempat untuk menginap.” Saudagar itu berkata, “Pulanglah ke rumahku.” Wanita itu menjawab, “Baik.”

Lalu saudagar itu membawanya pulang dan mengajaknya menikah, dia menerima dan keduanya menikah. Selang beberapa hari yakni di hari keempat datanglah seorang laki-laki bersama beberapa wanita kepada saudagar itu, mereka mencari wanita tersebut. Dia menerima mereka dengan baik. Dia bertanya, “Apa hubungan kalian dengannya?”

Mereka menjawab, “Kerabatnya, sepupu-sepupunya. Kami senang kamu telah memperistrinya, hanya saja tolong izinkan kami membawanya pulang karena sebagian kerabat kami ada yang menikah.”

Lalu saudagar itu menemui istrinya. Istrinya berkata, “Jangan turuti permintaan mereka. Bersumpahlah untuk mentalakku jika aku keluar rumah dalam jangka sebulan supaya waktu pernikahan itu berlalu. Itu lebih baik bagiku dan bagimu. Jika tidak mereka pasti membawaku dan merusak hatiku kepadamu. Dulu aku marah dan menikah denganmu tanpa musyawarah dengan mereka. Aku tidak tahu siapa yang menunjukkan mereka kepadamu?”

Maka saudagar itu menemui mereka dan bersumpah seperti yang dikatakan oleh istrinya. Para tamu pulang dengan tanpa harapan. Saudagar itu menutup pintu rumahnya dan pergi ke tokonya. Sementara hatinya masih berkait dengan wanita itu. Sepeninggal suaminya yang pergi ke toko, wanita itu langsung keluar tanpa membawa apa pun dari rumah. Saudagar itu pulang dan sudah tidak mendapatinya. Seseorang berkata kepadanya, “Apa kamu tahu apa tujuan wanita itu?”

Abu Wafa’ berkata, “Bisa jadi wanita itu hanya memanfaatkan saudagar itu untuk menghalalkan dirinya agar dia bisa kembali kepada suaminya yang telah mentalaknya tiga. Maka hendaknya seseorang berhati-hati dari hal seperti ini, waspada terhadap akal bulus sebagian orang.”

Ya, waspada dan berhati-hati terhadap akal bulus terutama wanita, seperti Hakim Syuraih yang cerdik pada saat seorang istri datang ke majlisnya sambil berurai air mata, salah seorang pendamping Syuraih berbisik kepadanya, “Menurutku dia dianiaya oleh suaminya.” Syuraih menjawab, “Nanti dulu, ingat saudara-saudara Yusuf pulang kepada bapak mereka sambil menangis, padahal merekalah yang berbuat aniaya.” (Izzudin Karimi).