Dalam pembahasan ini penulis akan menjelaskan tentang keharusan seseorang untuk takut terhadap kesyirikan, karena kadang kala manusia mengira bahwa dirinya telah merealisasikn Tauhid, padahal pada hakekatnya dia belum merealisasikan tauhid dengan sebenar-benarnya. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata:”Tidaklah aku bersungguh-sungguh dalam sesuatu melebihi kesungguhanku dalam merealisasikan tauhid”. Hal itu karena jiwa ini senantiasa terkait dengan dunia dan menginginkan kesenangannya, baik berupa harta, kehormatan maupun kedudukan. Bahkan kadang kala seseorang melakukann amalan akherat untuk mencari dunia, ini adalah kekurangan dalam tauhid dan keikhlasannya. Dan sedikit orang yang menjadikan akherat sebagai tujuan di dalam setiap amalannya. Penulis (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi) dalam pemabahasan inni membawakan dua ayat al-Quran dan tiga hadits.
Ayat yang pertama: firman Allah subhanahu wa ta’ala

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ {48}

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakinya.”(An-Nisa’:48 dan 116)

Maksudnya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni kalau disekutukan dengan sesuatu selain-Nya, maka kesyirikan, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mengampuninya, karena syirik adalah bentuk kejahatan terhadap Allah yang khusus yaitu tauhid. Adapun maksiat yang lain seperti zina, mencuri, maka kadang-kadang nafsu manusia mendapatkan kesenangan/keuntungan dari perbuatan itu, adapun syirik maka itu adalah bentuk kejahatan kepada haq Allah dan manusia tidak mendapatkan kesenangann darinya akan tetapi itu adalah bentuk kedzaliman. Allah berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ {13}

“Sesungguhnya syirik adalah kedzaliman yang paling besar.”(Luqman:13)

Dan apakah yang dimaksud di sini syirik besar atau syirik kecil, atau kesyirikan secara mutlak?. Maka sebagian ulama mengatakan:”sesungguhnya itu adalah mutlak mencakup seluruh syirik, walaupun syirik kecil sekalipun seperti bersumpah dengan nama selain Allah, maka tidak diampuni.. Adapun dosa besar seperti zina, mencuri, minum minuman keras,maka itu di bawah Masyiatillah/kehendak-Nya, mungkin Allah mengampuninya dan mungkin mengadzabnya.Dan ibnu memiliki dua penapat yang berbeda dalam masalah ini. Namun apapun jawabannya, wajib bagi kita untuk menjauhi kesyirikan besar maupun kecil, ayat di atas adalah umum (mencakup keduanya). Dan maksudوَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ adalah dosa di bawah syirik, bukan selain syirik.

Ayat yang kedua:

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ اْلأَصْنَامَ {35}

“…dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-hala (al-Ashnaam)”(Ibrahim:35)

Al-Ashnam adalah bentuk jamak dari shanam yaitu segala sesuatu yang dibentuk seperti bentuk manusia dan dijadikan sesembahan selain Allah. Adapun watsan adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah dalam bentuj apapun, maka watsan lebih umum dari. Shanam.

Ibrahim ‘alaihissalam takut terjatuh kedalam kesyirikan, padahal beliau adalah khalilullah/kekasih-Nya, maka bagaimana halnya dengan kita? Maka janganlah merasa aman dari syirik, dan kemunafikan, dan tidak ada yang merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Adapun orang yang beriman maka mereka takut kemunafikan, oleh sebab itu Ibnu Abi Mulaikah berkata:

أدركت ثلاثين من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم كلهم يخاف النفاق

“Aku menjumpai tiga puluh orang dari sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka semuanya takut kepada kesyirikan.”(HR.Bujhari kitab al-Iman)

Demikian juga Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada sahabat Hudzaifah radhiyallahu anhu apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan namanya dalam deretan nama-nama orang munafik. Maka lihatlah saudaraku bagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya demikian padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersaksi bahwa Umar termasuk salah satu penghuni surga.

Dan dari hadits
Hadits yang pertama adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

((أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر)) فسئل عنه؟ فقال:((الرياء))

“Sesuatu yang paling aku takuti dari kalian (umatku) adalah syirik kecil.” Ketika ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab:”Riya”.(HR.imam Ahmad dengan sanad hasan menurut Ibnu Hajar)

Riya adalah beribadah kepada Allah supaya dilihat manusia dan dipuji manusia karena ibadahnya, bukan beribadah untuk manusia karena apabila tujuannya hal itu (ibadah untuk manusia) maka itu adalah syirik besar. Dan penyebutan riya di sini adalah sebagai contoh saja. Adapun kalau sesorang beribadah dan tujuannya supaya manusia meniru dan mengikutinya maka itu bukan riya, bahkan itu adalah dakwah kepada jalan Allah, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata:

فعلت هذا لتأتموا بي وتعلمواصلاتي

“Aku melakukan demikaian, supaya kalian mengikutiku dan mengetahui shalatku”(HR.Bukhari dalam kitab al-Jum’ah, Muslim dalam kitab kitab al-Masajid)

Dan dalam hal pembatal ibadah riya terbagi menjadi dua:
1.Pertama:Riya terjadi dari awal ibadah, artinya dia beribadah dengan tujuan riya, maka amalannya adalah batal dan tertolak, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ Allah bersabda:

أنا أغنى الشركاء عن الشرك,من عمل عملا أشرك معي فيه غيري تركته وشركه

”Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutunya, barang siapa beramal, dan menyekutukan Aku dengan selain-Ku di dalam amalan tersebut maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya.” (HR. Muslim)

2.Kedua:Riya itu datang di tengah-tengah ibadah.
Maksudnya bahwa pada awalnya ibadahnya untuk Allah akan tetapi ditengah-tengah ibadah datang kepadanya riya, maka yang seperti ini ada dua bentuk:
a.Ia melawan dan menolak riya tersebut, maka yang seperti ini tidak membahayakannya. Contohnya: seseorang shalat, setelah satu rakaat datang orang-orang pada rakaat kedua, saat itulah muncul dalam hatinya sesuatau yang menjadikan dia memanjangkan ruku’ dan sujudnya atau pura-pura menangis dll, maka apabila dia melawan riya tersebut maka itu tidak membahayakannya.
b. Riya tersebut selalu mengiringinya/menyertainya, maka seluruh amal yang tumbuh dari riya adalah batil dan tidak diterima, seperti kalau dia memanjangkan berdiri, ruku’, sujud, atau pura-pura menangis, maka seluruh amalannya terhapus. Akan tetapi apakah batalnya ibadah tersebut berlaku untuk seluruh ibadahnya? Ini tidak lepas dari dua kondisi:
=Kondisi pertama: keabsahan akhir sebuah ibadah tergantung dengan awalanya, yang mana tidak sah awal ibadah seseorang apabila akhir ibadah itu tidak sah, maka yang ini batal seluruhnya. Contohnya shalat, maka tidak mungkin dikatakan shalat itu rusak di akhirnya tetapi tidak rusak di awalnya. Maka batalah seluruh shalatnya, ketika datang riya di tengah-tengah shalatnya dan dia tidak menolak/melawannya.
= kondisi kedua: Awal ibadah terpisah dari akhirnya, yang mana bisa jadi awal ibadah itu sah tetapi akhir ibadah batal. Maka ibadah sebelum datangnya riya sah, dan yang setelah datangnya riya tidak sah. Contohnya seseorang memiliki uang Rp.1.000.000 kemudian dia mensedekahkannya Rp.500.000 dengan niat ikhlas dan sisanya dia sedekahkan karena riya maka sedekah yang pertama sah dan yang kedua tidak sah.

Hadits yang kedua adalah hadits dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhubahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sabda:

من مات وهو يدعومندون الله ندا دخل النار

“Barang siapa mati dan dia berdo’a/meminta kepada selain Allah dengan menjadikannya sekutu bagi Allah, maka masuk neraka”(HR.Bukhari)

Hadits yang ketiga adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari sahabat Jabirradhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من لقي الله لايشرك به شيئا دخل الجنة و من لقيه لايشرك به دخل النار

“Barang siapa berjumpa dengan Allah (di akherat) dalam kondisi tidak berbuat syirik maka akan masuk surga, dan barang siapa berjumpa dengan-Nya dalam kondisi berbuat syirik maka masuk neraka”(HR.Muslim kitabul Iman)

(Diringkas dari al-Qoul al-Mufid syarah Kitab Tauhid, syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin bab: al-Khouf min asy-Syirki, Abu Yusuf Sujono)