Kami telah mengemukakan dalam bab terdahulu bahwa ghibah adalah, anda menyebutkan tentang seseorang yang di dalamnya mengandung perkataan yang dia benci, baik kamu menyebutnya dengan lafazhmu, tulisanmu, atau kamu mengisyaratkan, menunjuk kepadanya dengan matamu atau tanganmu, atau kepalamu. Dan patokannya adalah, setiap sesuatu dari diri kamu yang dapat dipahami orang lain sebagai sindiran bagi kekurangan orang Muslim lainnya, maka dia adalah ghibah yang diharamkan.

Yang termasuk dalam hal ini adalah meniru-niru dengan berjalan terpincang-pincang, atau menundukkan kepala atau gerakan-gerakan selain itu dengan maksud menirukan bentuk gerakan orang yang mempunyai kekurangan pada gerakan tersebut, semua itu haram dan tidak ada perbedaan pendapat tentangnya.

Dan yang termasuk di dalamnya adalah apabila seorang penulis buku menyebutkan pribadi seseorang dengan penyebutan namanya di dalam buku seraya berkata, “Seseorang berkata demikian” dengan tujuan untuk memperlihatkan kekurangan dan kejelekannya maka hal tersebut hukumnya haram. Apabila yang dimaksudkan adalah penjelasan ten-tang kesalahannya agar tidak ditiru, atau penjelasan kelemahannya dalam ilmu agar tidak tertipu dengannya, dan diterima pendapatnya, maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan ia merupakan nasihat yang wajib yang diberi pahala dalam pelaksanaannya apabila dimaksudkan demikian. Ini adalah ucapan yang lurus, tidak ada cacat di dalamnya, akan tetapi banyak yang dirancukan oleh Iblis terhadap para penulis, pengarang, dan ahlul ilmi, sehingga terus berkutat dalam menjelekkan sebagian dari mereka pada lembar-lembar buku dengan gambaran yang lebih dekat kepada balas dendam pribadi daripada untuk nasihat dan didorong oleh kepentingan syar’i. Di antara mereka ada yang hanya mencari kesalahan dan ketergelinciran ahlul ilmi dahulu dan sekarang, walaupun itu sedikit dan remeh, maka dia menyalakan di dalamnya dan mengobarkan apinya sebagai ungkapan riya`, sum’ah dan sebagai pengumuman kepada manusia serta mencari popularitas di hadapan orang-orang yang tidak mempunyai akal karena kejahilan, dan para penuntut ilmu yang setengah-setengah, yang mudah tertipu dengan (tipu daya) seperti ini. Selanjutnya pembicaraan tersebut memanjang pada hal ini dan kerusakan yang ada di dalamnya serta penyakit hati. Dan orang yang ma’shum adalah orang yang dijaga dan diselamatkan oleh Allah dari terjerumus bersama orang-orang yang terjerumus.” Begitu pula apabila seorang penulis atau yang lainnya berkata, “Suatu kaum atau jamaah berkata begini, dan hal ini adalah kekeliruan atau kesalahan atau ke-bodohan dan kelalaian serta semisalnya,” maka hal tersebut bukanlah ghibah. Karena ghibah adalah menyebutkan aib pada orang tertentu dengan hakikat yang ada pada dirinya atau menyebutkan aib jamaah tertentu”.

Yang termasuk ghibah yang diharamkan adalah perkataan anda, “Sebagian orang berbuat ini, atau sebagian fuqaha, atau sebagian orang yang menuntut ilmu, atau sebagian mufti, atau sebagian orang yang dikenal shalih, atau orang yang menganggap dirinya zuhud, atau sebagian orang yang melewati kita hari ini, atau sebagian orang yang kita lihat atau semisalnya; apabila orang yang diajak bicara memahami maksudnya.”

Dan yang termasuk di dalamnya adalah ghibah terhadap para ahli fikih dan ahli ibadah. Mereka disindir dengan ghibah dengan sindiran yang dapat dipahami dengan jelas, maka dikatakan bagi salah seorang di antara mereka, “Bagaimana keadaan si fulan?” Maka dia menjawab, “Semoga Allah memperbaiki kita, semoga Allah mengampuni kita, semoga Allah membaikkannya, kami memohon kesehatan kepada Allah, kami memuji Allah, kami berlindung kepada Allah dari keburukan, Allah mengampuni kita dari rasa malu, semoga Allah menerima taubat kita, atau yang semisalnya, yang dapat dipahami maksud pencelaannya”. Maka semua itu adalah ghibah yang diharamkan. Demikian pula apabila dia berkata, “Fulan diuji dengan sesuatu yang kita semua diuji dengannya, atau tidak mempunyai alasan dalam hal ini, masing-masing dari kita melakukan hal ini.”

Ini adalah beberapa contoh saja, apabila tidak demikian maka batasan ghibah adalah usahamu memahamkan orang yang diajak bicara tentang aib seseorang sebagaimana pem-bahasan terdahulu. Semua ini sudah maklum yang diambil dari kandungan hadits yang kami sebutkan pada bab sebelum ini dari Shahih Muslim dan selainnya tentang batasan ghibah. Wallahu a’lam.

Pasal: Ketahuilah bahwa ghibah sebagaimana diharamkan bagi orang yang mem-bicarakannya, maka haram juga bagi orang yang mendengarnya untuk menyimak dan menyetujuinya.

Orang yang mendengar orang lain mulai berghibah yang diharamkan, maka wajib baginya untuk melarangnya apabila tidak dikhawatirkan terjadi mudharat yang nyata. Dia menyebutkan “bahaya yang nyata” adalah untuk menjaga bahaya yang diduga lemah atau ringan yang tidak dianggap berbahaya pada hakikatnya, seperti ikut nimbrung dalam omongan famili dan teman yang ditakutkan akan berpaling jika dia memberi nasihat kepada mereka.” Apabila dia takut terjadinya mudharat, maka dia harus mengingkarinya dengan hatinya dan meninggalkan majelis tersebut jika memungkinkan. Dan apabila dia mampu menging-karinya dengan lisannya, atau menghentikan ghibah dengan pembicaraan yang lain, maka dia harus melakukannya. Apabila dia tidak melakukannya, maka dia telah melakukan maksiat. Apabila dia berkata dengan lisannya, “Diamlah,” namun di dalam hatinya ber-keinginan untuk melanjutkannya, maka Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Hal tersebut adalah nifak, yang tidak mengeluarkannya dari dosa, karena dia harus membencinya dengan hatinya”. Ketika dia terpaksa berada di dalam majelis tersebut yang di dalamnya terdapat ghibah, dan dia tidak mampu untuk mengingkarinya, atau dia mengingkari namun tidak diterima, dan tidak memungkinkan baginya untuk memisahkan diri, maka dia di-haramkan untuk mendengar dan menyimak ghibah tersebut, akan tetapi hendaklah dia berdzikir kepada Allah dengan lisan dan hatinya atau hatinya (saja), atau menebusnya dalam (mendengar) masalah lain yaitu dengan sibuk menyimaknya, sehingga aktifitas “mendengarnya” tidak membahayakannya, tanpa berusaha untuk mendengarkan atau menyimak pada kondisi yang disebutkan ini.

Apabila setelah itu memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis, sedangkan mereka meneruskan dalam berghibah dan lainnya, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis tersebut. Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ
غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68).

Kami meriwayatkan dari Ibrahim bin Adham rahimahullah, bahwasanya dia pernah diundang ke suatu acara resepsi pernikahan, maka dia datang lalu mereka membicarakan seseorang yang tidak mendatangi mereka seraya berkata, “Dia adalah orang yang (badannya) berat, sehingga tidak datang.” Maka Ibrahim berkata, “Saya mengerjakan perbuatan ini sendiri yang mana saya menghadiri tempat yang di dalamnya manusia dighibahkan.” Maka dia keluar dan tidak makan selama tiga hari.

Di antara syair yang mereka lantunkan dalam kaitan ini adalah,

Jagalah pendengaranmu dari mendengarkan yang buruk
Sebagaimana kamu menjaga lisan dari membicarakannya
Karena kamu ketika mendengarkan sesuatu yang buruk
Adalah teman bagi orang yang berbicara buruk itu, maka berhati-hatilah

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Rifki Solehan