Tanya :

Kami ingin mengetahui apa itu thaghut dan asal muasalnya?

Jawab :

Thaghut berasal dari kalimat thughyan, yang berarti melampaui batas, contohnya, seperti dalam firman Allah:
“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik/melampaui batas (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu, ke dalam bahtera.” (Al-Haqqah: 11)
Maksudnya adalah; ketika air itu telah melampaui batas maksimal maka Kami bawa (nenek moyang)mu ke dalam bahtera. Ibnul Qayyim t menyebutkan pengertian thaghut dengan sangat bagus sekali, yaitu; thaghut adalah “setiap sesuatu yang dengannya hamba melampaui batasnya, baik sesuatu itu berupa sesembahan atau yang diikuti atau yang ditaati.”
Maka, berhala-berhala yang disembah di samping Allah disebut thaghut. Juga para ulama -ulama su’- yang mengajak kepada kesesatan disebut para thaghut, yaitu mereka yang mengajak kepada perbuatan-perbuatan bid’ah, atau yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah, atau yang mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, atau yang membenarkan para penguasa yang keluar dari syari’at Islam dan memberlakukan atau mengadopsi aturan-aturan yang dibuat manusia yang bertentangan dengan ataran-aturan agama Islam. Para ulama su’ itu disebut para thaghut karena mereka melampaui batas-batas mereka. Batas seorang alim adalah mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, karena hakekat ulama adalah pewaris para nabi, mereka mewarisi para nabi di antara umat mereka, dalam hal ilmu, amal, akhlak, dakwah dan pengajaran. Jika mereka malampaui batas ini dan membenarkan para penguasa untuk keluar dari syari’at Islam dengan membiarkan mereka memberlakukan aturan-aturan yang menyelisihi Islam, berarti para ulama su’ itu adalah thaghut, karena mereka telah melampaui apa yang seharusnya ada pada mereka, yaitu mengikuti syari’at.
Adapun yang dimaksud dengan “yang ditaati” dalam ucapan Ibnul Qayyim tadi, yang dimaksudnya adalah para penguasa yang ditaati secara syar’i atau secara taqdir (karena posisi dan kedudukannya). Secara syar’i, para penguasa itu harus ditaati jika mereka memerintah dengan apa yang tidak menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, dalam hal ini secara syar’i mereka harus ditaati, sebagaimana mereka juga ditaati karena kedudukannya. Kewajiban rakyat bila penguasa memberi-kan perintah yang tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya adalah mematuhi dan mentaati. Mentaati para penguasa dalam hal ini dan dengan kaidah ini berarti mentaati Allah U. Karena itu, kita harus memperhatikan ketika melaksanakan apa yang diperintahkan negara untuk ditaati, kita harus memperhatikan bahwa dengan itu berarti kita menghamba kepada Allah I dan mendekatkan diri kepada-nya, sehingga kita melaksanakan perintah itu dalam rangka mendekat-kan diri kepada Allah U. Kita harus memperhatikan itu dengan seksama, karena Allah telah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’: 59).
Dalam hal mentaati penguasa karena kekuasaannya apabila kekuasaan mereka sangat kuat maka manusia yang mentaati mereka karena kekuatan mereka. Bisa juga karena kekuatan iman, ada kalanya mentaati penguasa karena kekuatan iman, ini merupakan bentuk ketaatan yang bermanfaat bagi para penguasa juga bagi rakyat, dan ada kalanya ketaatan kepada penguasa disebabkan oleh pengaruh penguasa, yang mana sang penguasa sangat kuat sehingga orang-orang takut dan khawatir padanya, karena ia bisa menghukum siapa pun yang menen-tang perintahnya. Karena itu kami katakan, bahwa manusia dengan para penguasanya dalam hal ini terbagi menjadi beberapa bagian.
Adakalanya, kekuatan iman dan pengaruh kekuasaan sama-sama kuat, ini tingkat yang paling sempurna dan paling tinggi. Adakala-nya, kekuatan imannya lemah dan pengaruh kekuasaan pun lemah, ini tingkat yang paling rendah dan paling berbahaya terhadap masyarakat, baik terhadap penguasa itu sendiri maupun terhadap rakyat, karena lemahnya kekuatan iman dan pengaruh kekuasaan akan menimbulkan banyak kekacauan pemikiran, moral dan perilaku. Adakalanya pula kekuatan imannya kuat namun pengaruh kekuasaannya lemah, ini tingkat menengah, atau sebaliknya, yaitu pengaruh kekuasaannya kuat namun kekuatan imannya lemah. Pada kenyataannya, jika pengaruh kekuasaan lebih kuat, biasanya lebih maslahat bagi umat, namun jika kekuatan iman melemah, jangan tanya kondisi masyarakatnya dan bu-ruknya perilaku mereka, itu karena pengaruh imannya lemah. Jika kekuatan imannya kuat sementara pengaruh kekuasaannya lemah, ter-kadang kondisinya lebih buruk dari tingkat yang tadi, tapi tidak demikian dalam hal hubungan manusia dengan Rabbnya, jadi terkadang lemah-nya pengaruh kekuasaan lebih maslahat.
Ringkasnya, keempat tingkatan ini adalah; kuatnya keimanan dan kekuasaan, lemahnya iman dan kekuasaan, kuatnya iman dan le-mahnya kekuasaan, kuatnya kekuasaan dan lemahnya iman.
Yang penting, ketika kita melaksanakan perintah penguasa harus berkeyakinan bahwa dengan begitu kita mendekatkan diri kepada Allah U, bahkan Ibnul Qayyim mengatakan: Thaghut adalah setiap sesuatu yang dengannya hamba melampaui batasnya, baik sesuatu itu berupa sesembahan atau yang diikuti atau yang ditaati. Karena raja atau penguasa yang ditaati terkadang memerintahkan sesuatu yang berten-tangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Jika ia memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dipatuhi dan ditaati, kita tidak boleh mentaati dalam ber-maksiat terhadap Allah I, karena Allah I telah menjadikan “ketaatan terhadap penguasa” penyerta ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang difahami dari makna ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’: 59).
Allah tidak menyebutkan “dan taatilah ulil amri”, ini berarti bahwa ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri tapi mengikut pada ke-taatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Telah disebutkan dalam riwayat dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa ketaatan itu hanya dibenarkan pada yang ma’ruf atau dalam hal yang ma’ruf atau dalam hal yang dibenarkan syari’at. Adapun dalam hal yang dipungkirinya maka tidak boleh ditaati, bahkan sekali pun terhadap ayah atau ibu (orang tua), jika mereka meme-rintahkan untuk bermaksiat terhadap Allah maka tidak dibenarkan kita mentaati mereka, karena taat kepada Allah harus didahulukan dari ketaatan lainnya. Jika seseorang mentaati pemimpinnya atau penguasa-nya dalam bermaksiat terhadap Allah, berarti ia telah melampaui batas.
(Fatwa Syaikh Ibn ‘Utsaimin, Fiqhul ‘Ibadat)