Definisi Ibadah

Sebagian kaum Muslimin masih ada yang beranggapan bahwa ibadah hanya merupakan salah satu bagian dari sisi kehidupan. Mereka mengira bahwa ibadah tidak ada kaitannya dengan masalah ekonomi, sosial, politik dan sebagainya, tetapi hanya suatu jenis aktivitas tertentu yang bersifat ritual belaka.

Kesalahan dalam pemahaman ini akan mengakibatkan hilangnya nilai-nilai Islam dalam banyak sisi kehi-dupan. Acuan dalam urusan bisnis dan perdagangan bukan lagi kepada hukum syar’i, tidak mau mencari tuntunan dari berbagai masalah kemasyarakatan me-lalui petunjuk nabawi, berpolitik secara membabi buta dan lain sebagainya.

Padahal yang benar adalah bahwa kehidupan ini sendiri merupakan ibadah, sebab Allah subhanahu wata’ala tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah. Orang yang ingin memisahkan Islam dari seluruh bidang kehidupan serta membatasi Islam hanya di masjid dan dalam peribadatan keagamaan saja, maka dia telah tersesat dan terjerumus ke dalam pemikiran ilmaniyun (sekuler).

Ibadah, secara bahasa artinya adalah at-tadzallul wal khudlu’ (menghinakan diri serta tunduk).

Sedangkan pengertian secara istilah, di antaranya yaitu:

1. Taat dan merendahkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para rasul-Nya.

2. Merendahkan diri hanya kepada Allah subhanahu wata’ala dengan tingkatan ketun-dukan yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3. Sebutan untuk segala sesuatu yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wata’ala baik berupa ucapan atau perbuatan yang lahir maupun yang batin (pengertian yang lengkap).

Dengan memahami pengertian ini maka jelaslah bagi kita bahwa kehidupan ini adalah ibadah, sehingga segala kegiatan dan perbuatan positif yang kita kerjakan adalah merupakan ibadah, jika kita meniatkannya untuk itu. Apa yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maka kita jadikan sebagai dasar acuan, baik dalam hal keyakinan, hukum halal-haram, dalam berakhlak, bermuamalah, dan lain sebagainya.

Maka tidak boleh seorang Muslim mempersempit makna ibadah, yakni dengan beranggapan bahwa ibadah itu hanya jenis amal-amal tertentu saja, seperti: shalat, haji, puasa, zakat dan semisalnya. Ibadah itu hanya sesuatu yang terkait dengan masjid saja. Tidak ada ibadah di rumah, di kantor, di pasar, di jalan, dalam politik, hukum dan lain-lain.

Namun sebaliknya, juga tidak boleh ekstrim dalam beribadah, yaitu dengan mengangkat sesuatu yang hukumnya sunnah menjadi wajib, mengharamkan sesuatu yang boleh (mubah), atau menganggap sesat siapa saja yang berbeda pendapat dengannya tanpa melihat jenis perbedaan pendapat yang terjadi.

Pembagian Ibadah

Ibadah terbagi menjadi tiga:

1. Ibadah Hati (qalbiyah), contohnya adalah takut (khauf), berharap (raja’) , cinta (mahabbah), tawakkal, shabar dan lain-lain.

2. Ibadah Lisan (lisaniyah), contohnya seperti tahlil, takbir, tasbih, tahmid, dzikir dan lain-lain.

3. Ibadah Anggota Badan (badaniyah), di antara contohnya adalah shalat, haji, jihad, zakat dan lain-lain.

Yang dimaksud ibadah badaniyah (dalam shalat misalnya) adalah gerak-an-gerakan yang dilakukan dalam shalat seperti mengangkat tangan ketika takbir, rukuk, sujud berdiri dan lain-lain. Adapun shalat itu sendiri maka ia mencakup ibadah hati, lisan dan anggota badan, demikian juga haji.

Cakupan Ibadah

Ibadah mencakup semua ketaatan yang tampak pada lisan dan anggota badan dan mencakup semua tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan untuk qurbah (mendekatkan diri kepada Allah), atau segala sesuatu yang membantu pendekatan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Bahkan suatu kebiasaan pun jika diniatkan untuk ketakwaan dan ketaatan maka dia dinilai ibadah yang mendapatkan pahala.

Ibadah dalam makna sempit adalah merupakan perkara tauqifiyah yakni sebatas mengikuti petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wassallam. Dalam arti bahwa sesuatu tidak boleh diang-gap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah.

Melakukan bentuk peribadatan dengan sesuatu yang tidak disyariatkan maka ia disebut bid’ah yang tertolak, amalannya tidak diterima bahkan berdosa karena itu adalah kemaksiatan bukan ketaatan.

Tiga Pilar Utama Ibadah

Ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala memiliki tiga pilar utama yang tidak dapat ditinggalkan, yaitu; Cinta (hubb), Takut (khauf) , dan Harapan (raja’). Beribadah atau menghamba kepada Allah subhanahu wata’ala harus dilandasi dengan tiga pilar utama ini.

Berkata sebagian salaf,

  • Siapa yang beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala hanya dengan cinta (hubb) saja maka dia zindiq.
  • Siapa yang beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala hanya dengan pengharapan (raja’) maka dia murji’.
  • Siapa yang beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala hanya dengan rasa takut (khauf) saja maka dia haruri.
  • Siapa yang beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan hubb, raja’ dan khauf maka dia mukmin muwahhid.

Seseorang dikatakan beribadah apabila dia menghinakan dan merendahkan diri dengan disertai rasa cinta yang paling tinggi terhadap yang dia ibadahi itu. Maka hendaknya yang paling dicintai, paling ditunduki, dan paling diagungkan hanyalah Allah subhanahu wata’ala semata.

Sedangkan merendahkan diri atau menghinakan diri di hadapan manusia namun disertai rasa benci, atau tanpa diikuti rasa cinta maka tidak termasuk ibadah. Hal ini sebagaimana orang yang dipaksa untuk merendah (rukuk atau sujud) kepada raja atau penguasa pada-hal hatinya membenci hal tersebut.

Demikian pula mencintai manusia atau takut kepada selain Allah subhanahu wata’ala namun tidak dibarengi dengan menghinakan dan merendahkan diri maka tidak termasuk ibadah. Sebagaimana kita cinta kepada orang tua, anak, hormat kepada guru dan sebagainya. Atau seseorang yang takut terhadap singa, ular dan hal-hal lain yang membahayakan, maka ini tidak termasuk ibadah, karena tidak disertai dengan penghinaan dan penghambaan diri.

Syarat Diterimanya Ibadah

Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala hendaknya memenuhi dua syarat utama, yaitu:

1. Ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala semata, bebas dari syirik besar dan kecil, (konsekuensi la ilaha illallah).

2. Mutaba’ah, yaitu sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alihi wassallam, (konsekuensi syahadat Muhammad Rasulullah)

Di antara dalil yang mendasari hal ini adalah Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“(Tidak demikian) dan bahkan barang-siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran ter-hadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)

Menyerahkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala merupakan bentuk keikhlasan, dan berbuat kebajikan merupakan cermin-an dari berteladan atau ittiba’ kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alihi wassallam. Di dalam ayat yang lain juga disebutkan, artinya,
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabb-nya”. (QS. Al-Kahfi:110).

Amal yang shaleh adalah segala amal yang mengikuti petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alihi wassallam, baik yang tercantum dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Kemudian larangan menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala adalah merupakan bentuk keikhlasan. Dengan terkumpulnya dua syarat inilah maka ibadah menjadi sempurna dan akan diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala.

Sumber: Kitab Tauhid I, Syaikh. Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, dan berbagai sumber lain.