Ketahuilah bahwa prasangka buruk itu hukumnya haram, seperti ghibah dengan perkataan. Maka sebagaimana haramnya kamu membicarakan kejelekan orang lain, haram pula kamu berbicara dengan dirimu sendiri dengan hal tersebut dan berprasangka buruk dengannya.

Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ

“…jauhilah kebanyakan dari prasangka…”. (Al-Hujurat: 12).

(1089) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ.

“Jauhilah prasangka buruk karena prasangka buruk adalah pembicaraan yang paling dusta.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab an-Nikah, Bab La Yakhthub ala Khithbah Akhihi, 9/198, no. 5143; dan Muslim, Kitab al-Birr, Bab Tahrim Zhulmi al-Muslim, 4/1987, no. 2563 dan 2564.)

Hadits-hadits yang semakna dengan yang telah saya sebutkan sangatlah banyak, dan maksudnya adalah (larangan) keyakinan hati dan menghukumi orang lain dengan keburukan. Sedangkan sesuatu yang terdetik dalam pikiran dan bisikan jiwa apabila tidak menetap dan terus menerus pada pemiliknya, maka ia dimaafkan berdasarkan kesepakatan ulama; karena ketika terjadinya, ia tidak mempunyai pilihan lain serta tidak ada jalan untuk melepaskan diri darinya.

(1090) Inilah maksud (dari ghibah dengan hati) berdasarkan hadits dalam ash-Shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda,

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَتَكَلَّمْ بِهِ أَوْ تَعْمَلْ.

“Sesungguhnya Allah Subhanahu waTa`ala mengampuni prasangka yang terbetik pada jiwa umatku selama tidak membicarakan atau melakukannya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, al-Itqu, Bab al-Khatha’ wa an-Nisyan, 5/160, no. 2528; dan Muslim, Kitab al-Iman, Bab Tajawuzillah an Hadits an-Nafsi, 1/116. No. 127: dari hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu.

Para ulama berkata, “Yang dimaksud adalah apa yang terlintas dan yang tidak menetap, baik yang terlintas itu berupa ghibah, kufur atau selainnya. Maka barangsiapa yang terlintas suatu kekufuran (dalam hatinya), sekedar terlintas tanpa disengaja terjadi kemudian dia mengalihkannya dengan seketika maka dia bukanlah kafir dan tidak ada akibat hukum yang terjadi padanya.”

(1091) Telah kami kemukakan dalam “Bab doa yang diucapkan oleh orang yang mengalami was-was,” dalam hadits shahih, bahwasanya mereka berkata,

يَا رَسُوْلَ اللهِ، يَجِدُ أَحَدُنَا مَا يَتَعَاظَمُ أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهِ؟ قَالَ: ذلِكَ صَرِيْحُ اْلإِيْمَانِ.

“Wahai Rasulullah, (bagaimana jika) salah seorang dari kami merasakan sesuatu (dalam hati) yang kami anggap dosa besar dalam membicarakannya?” Beliau menjawab, “Hal itu merupakan iman yang jelas.” (Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab al-Iman, Bab al-Waswasah fi al-Iman, 1/119, no. 132, dan belum dikemukakan sebelum ini)

Dan hadits-hadits lainnya yang telah kami sebutkan di sana, serta hadits yang semakna dengannya adalah banyak. Dan sebab dimaafkannya adalah apa yang telah kami sebutkan, yaitu kesulitan untuk menjauhinya. Dan yang mungkin untuk dijauhi adalah terus menerus terlintas dalam hati. Oleh karena itu, adanya yang terus menerus dan keyakinan hati padanya adalah haram.

Jika ghibah dan maksiat lainnya terlintas pada dirimu, maka wajib bagimu untuk menolak dan memalingkannya serta mengingat segala yang dapat memalingkanmu dari zahirnya.

Al-Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata dalam al-Ihya`, “Apabila di dalam hatimu terjadi prasangka buruk, maka ia berasal dari bisikan setan yang disampaikan kepadamu, maka seyogyanya kamu mengingkarinya, karena dia adalah pelaku fasik yang paling fasik. Allah Subhanahu waTa`ala telah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (6)

“…apabila telah datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs.Al-Hujurat: 6).

Maka janganlah membenarkan perkataan Iblis, meskipun terdapat konteks yang menunjukkan adanya kerusakan, dan dimungkinkan sebaliknya; berprasangka buruk tetap tidak dibolehkan. Dan di antara tanda berprasangka buruk adalah, hatimu berubah terhadapnya pada tindakan yang telah diperbuatnya, maka hatimu berlari darinya, merasakan berat, lalai dalam menjaga dan menghormatinya, dan menutupi keburukannya. Karena setan telah mendekatkan kepada hati ilusi yang paling kecil dari keburukan orang lain. Setan memasukkan prasangka buruk ke dalam hati (dan beranggapan) bahwa ini termasuk dari kecerdasan, kepandaian, dan ketanggapanmu. Sedangkan orang-orang yang beriman akan melihat (sesuatu) dengan cahaya Allah. Dan berdasarkan penelitiannya, dia memahami tipu daya setan dan kezhalimannya. Dan bila dia diberi kabar oleh seorang yang adil, maka janganlah dia membenarkan dan mendustakannya, agar tidak berprasangka buruk terhadap salah satunya. Walaupun terdetik dalam pikiranmu kejelekan pada seorang Muslim, maka tambahkanlah dalam memberi perhatian dan menghormatinya, karena hal tersebut akan membuat setan marah dan menolaknya darimu sehingga ia tidak menimpakan (fitnah) serupa terhadapmu karena takut terhadap kesibukanmu dalam mendoakan kebaikan untuk orang tersebut. Walaupun kamu mengetahui ketergelinciran seorang Muslim dengan bukti yang jelas, maka nasihatilah dia dengan cara sembunyi-sembunyi. Janganlah setan menipudayamu untuk melakukan ghibah terhadapnya. Apabila kamu menasihatinya, maka janganlah kamu menasihatinya, sedangkan kamu gembira mengetahui kekurangannya, lalu dia melihatmu dengan pandangan menghormati, sedangkan kamu melihatnya dengan pandangan meremehkan; akan tetapi maksudkanlah untuk menyelamatkannya dari dosa, sedangkan kamu dalam keadaan sedih sebagaimana kamu bersedih terhadap dirimu bila memiliki kekurangan. Hendaklah dia meninggalkan kekurangannya tanpa disebabkan oleh nasihatmu adalah lebih kamu sukai daripada dia meninggalkannya disebabkan nasihatmu.” Inilah perkataan al-Ghazali.

Saya berkata, Kami telah menyebutkan bahwa apabila terlintas prasangka buruk dalam dirinya, maka ia wajib menghentikannya. Dan ini adalah apabila tidak ada kepentingan syar’i yang mendorong kepada pemikiran tersebut. Namun apabila didorong oleh kepentingan syar’i, maka boleh memikirkan dan melihat kepada kekurangannya dan menyelidikinya, sebagaimana dalam melakukan jarh (kritik pencelaan) terhadap saksi dan para rawi hadits serta selainnya dari apa-apa yang telah kami sebutkan dalam “Bab Penjelasan tentang Ghibah yang Dibolehkan.”

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Rifki Solehan El-Hawary