1. Pertanyaan: Kami memohon penjelasan Syaikh tentang sikap para Salaf terhadap pelaku bid’ah, semoga Allah subhanahu wata’ala membalas kebaikan anda!

Jawab: Kaum Salaf tidak membid’ahkan sembarangan orang, dan mereka tidak gampang menggunakan kalimat bid’ah untuk menghukumi seseorang yang melakukan suatu penyimpangan. Mereka pada umumnya menyebut bid’ah terhadap pelaku suatu amalan yang tidak ada dalilnya dengan tujuan untuk bertaqarrub kepada Allah subhanahu wata’ala berupa ibadah yang tidak pernah disyari’atkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengambil sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barang siapa melakukan suatu amalan (dalam agama) yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim No. 1718,18)

Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Barangsiapa yang mengada-adakan hal baru dalam urusan kami ini (agama) padahal bukan dari bagiannya maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari No. 2697 dan Muslim No. 1718)

Jadi bid’ah adalah mengada-adakan suatu yang baru di dalam agama yang tidak ada dalilnya dari Kitabullah dan dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang dimaksud bid’ah, maka jika ada sese-orang melakukan suatu kebid’ahan dalam agama dan enggan untuk kembali bertaubat, maka manhaj salaf adalah bahwa dia dihajr (dikucilkan) dan dijauhi serta tidak bergaul atau duduk-duduk dengannya.

Inilah manhaj mereka, namun sebagaimana saya sebutkan yakni setelah orang tersebut terbukti benar-benar melakukan bid’ah, dan setelah dia diberi nasehat dan tidak mau meninggalkan kebid’ahan itu. Ketika itu dia boleh dihajr (dikucilkan) dengan tujuan agar bahayanya tidak menyebar kepada orang lain yang bergaul dengannya dan orang yang ada hubungan dengannya. Dan juga dengan tujuan agar manusia berhati-hati dari pelaku bid’ah dan dari perbuatan bid’ah.

Adapun sikap ekstrim di dalam melemparkan tuduhan bid’ah kepada setiap orang yang dipandang menyelesihi pendapat kita, dengan mengucapkan, “Ini mubtadi’ (si fulan ahli bid’ah)”. Dan masing-masing menjuluki yang lainnya dengan mubtadi’, padahal dia tidak pernah membuat perkara baru dalam agama Islam ini, kecuali hanya sekedar perbedaan pendapat antara dirinya dengan seseorang, atau sebuah kelompok tertentu, maka orang ter-sebut tidak disebut sebagai ahli bid’ah.

Sedang siapa saja yang melakukan keharaman atau maksiat, maka ia di sebut orang yang bermaksiat (‘ashi), dan tidak setiap orang yang bermaksiat adalah mubtadi’, tidak setiap orang yang bersalah adalah mubtadi’. Karena mubtadi’ adalah orang yang mengada-kan perkara baru dalam agama yang bukan merupakan bagiannya.

Adapun berlebihan di dalam menyebut ahli bid’ah dan menggunakannya secara serampangan kepada seseorang yang berbeda pendapat dengan orang tertentu, maka itu tidaklah benar. Karena boleh jadi orang yang berbeda pendapatnya itu berada di pihak yang benar. Demikianlah manhaj salaf. (Dzahiratu at-Tabdi’ wat Tafsiq wat Takfir wa Dlawabithuha, hal 51, Syaikh Ibn Fauzan)

2. Pertanyaan: Bagaimanakah sikap kita terhadap ahli bid’ah seperti rafidhah? Apakah kita perlu mengajak mereka ke sunnah, dan bagaimana kita bermuamalah dengan mereka karena ada seorang rafidah yang satu pekerjaan dengan saya?

Jawab: Berdakwah ke jalan Allah subhanahu wata’ala adalah hal yang diperintahkan, siapa tahu itu akan bermanfaat bagi mereka lalu dia bertaubat. Dan minimalnya kita telah menyampaikan hujjah atas mereka. Dakwah ke jalan Allah subhanahu wata’ala adalah diperintahkan baik terhadap mereka (rafidhah) atau selain mereka. Adapun dalam hal pekerjaan, jika anda tidak menjadi bawahan (yang harus menaati) ahli bid’ah dan dia tidak dalam pihak yang mengendalikan anda, namun hanya sekedar urusan administrasi kerja yang benar atau dia teman sejawat (selevel) dan bekerja seperti anda, maka tidak diragukan lagi bahwa bekerja dengan teman yang sesama ahlussunnah atau ahlul khair adalah lebih baik. Sedangkan jika anda berada dalam pekerjaan, atau lingkungan atau kantor, namun dia tidak mempunyai hak kendali atas anda dan tidak pula hak kepemimpinan serta kebijakan administrasi sama sekali, maka itu tidak ada masalah. Dengan suatu syarat anda harus berpegang teguh dengan sunnah dan menjaga shalat serta di sisi lain berusaha menjauhinya, tidak bergaul akrab dan dekat-dekat dengannya, dan anggap saja bahwa dia itu tidak ada. (Dzahiratu at Tabdi’ wat Tafsiq wat Takfir wa Dlawabithuha hal 41, Syaikh Ibn Fauzan)

3. Pertanyaan: Bagaimanakah seseorang yang multazim bergaul dengan teman yang berbuat bid’ah? Apakah harus mengucilkannya?

Jawab: Bid’ah itu terbagi menjadi dua bagian, bid’ah yang menyebabkan kafir dan bid’ah yang tidak menyebabkan kafir. Dan terhadap dua macam bid’ah ini wajib bagi kita untuk menyeru mereka yang telah menisbatkan diri terhadap agama Islam, namun masih melakukan bid’ah, baik yang mukaffirah atau yang tidak menyebabkan kafir agar kembali kepada kebenaran. Yaitu dengan cara menjelaskan yang haq dengan tanpa menghujat mereka dan apa yang mereka perbuat, kecuali setelah kita ketahui bahwa mereka bersikap sombong terhadap kebenaran, karena Allah subhanahu wata’ala telah berfirman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108)

Maka pertama-tama kita ajak mereka kepada kebenaran, dengan menjelaskan mana yang benar itu, disertai penjelasan dalil. Kebenaran pasti akan diterima oleh siapa saja yang masih memiliki fithrah yang selamat. Jika didapati penentangan dan sikap sombong, maka kita jelaskan kebatilan mereka, karena menjelaskan kebatilan mereka yang bukan sekedar dalam rangka perdebatan merupakan sesuatu yang wajib.

Adapun untuk mengucilkan mereka, maka harus dilihat tingkatan bid’ah yang dia kerjakan. Jika bid’ahnya adalah bid’ah yang menyebabkan kafir, maka wajib mengucilkan dan menjauhinya. Jika kebid’ahan itu tidak menyebabkan kafir, maka kami tawaqquf (tidak berkomentar) apakah harus dikucilkan. Jika dengan mengucilkannya mendatangkan maslahat, maka kita lakukan dan jika tidak, maka kita tidak melakukaknnya. Hal ini dikarenakan bahwa pada dasarnya seorang mukmin itu haram untuk dikucilkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tidak halal bagi seorang mukmin untuk menjauhi (mengucilkan) saudaranya melebihi tiga hari.” (HR. Al-Bukhari No.6077, 6237 dan Muslim No.2560)

Maka seluruh mukmin meskipun seorang yang fasiq, maka tidak boleh untuk mengucilkannya jika di dalam pengucilan itu tidak terdapat maslahat. Namun jika dengan mengucilkan terdapat maslahat, maka boleh kita mengucilkannya karena bisa jadi hal itu akan menjadi obat atau terapi baginya. Sedangkan jika dengan mengucilkan-nya tidak membawa maslahat atau malah justru menambah kemaksiatan dan pembangkangan, maka merupakan maslahat juga meninggalkan sesuatu yang tidak ada maslahatnya.

Apabila seseorang bertanya untuk menyanggah ini, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengucilkan Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan dua orang sahabatnya yang mana mereka ketinggalan tidak mengikuti perang Tabuk?”

Maka jawabannya adalah bahwa itu merupakan suatu perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau memerintahkan para sahabat untuk mengucilkan mereka karena dengan mengucilkan terdapat faidah yang sangat besar. Di mana hal itu menambah kuatnya keimanan me-reka daripada sebelumnya. Sehingga tatkala datang surat kepada Ka’ab bin Malik dari raja Ghassan yang menyebutkan, “Kami mendengar bahwa teman anda (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) telah mengucilkan anda, sedangkan anda tidaklah berada di negeri yang hina dan rendah, maka bergabunglah dengan kami, kami akan memuliakan anda.”

Lalu Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berdiri, meskipun dengan dada yang terhimpit dan dalam tekanan yang dahsyat, dia mengambil surat itu lalu dibawanya ke tungku dapur lalu dia bakar. Maka para sahabat telah mendapatkan maslahat yang sangat besar di dalam pengucilan Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu ini. Dan hasilnya adalah sesuatu yang tidak dapat ditandingi, yakni Allah subhanahu wata’ala menurunkan untuk mereka ayat Al-Qur’an yang terus dibaca hingga hari Kiamat. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) kepada mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 117-118). (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin No. 347)