Ketahuilah bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat, maka ia wajib segera bertaubat darinya. Dan taubat dari (melanggar) hak Allah Subhanahu waTa`ala disyaratkan di dalam-nya tiga perkara,

Pertama, melepaskan diri dari perbuatan maksiat saat itu juga.

Kedua, menyesali perbuatannya, dan

Ketiga, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi selamanya.

Sedangkan taubat dari (melanggar) hak anak Adam, disyaratkan di dalamnya ketiga perkara tadi, dan

Keempat, mengembalikan hak yang diambil secara zhalim kepada orang yang berhak, atau meminta maaf dan pembebasan dari haknya.

Maka wajib bagi orang yang berghibah untuk bertaubat dengan memenuhi empat perkara ini, karena ghibah adalah hak anak Adam, dan harus meminta penghalalan dari orang yang dighibahkannya. Maka apakah cukup mengatakan, “Saya telah mengghibah-mu, maka jadikanlah aku halal (dari dosa),” ataukah harus menjelaskan masalah yang dighibahkannya?

Ada dua pendapat dari para pengikut asy-Syafi’i rahimahullah,

Pertama, disyaratkan menjelaskannya (dengan rinci), apabila dia membebaskan diri tanpa disertai penjelasan, maka hal tersebut tidak sah, sebagaimana dia membebaskan diri dari harta yang tidak jelas.

Kedua, tidak disyaratkan menjelaskan ghibahnya, karena hal ini termasuk masalah yang diberi toleransi, maka tidak disyaratkan untuk mengetahui masalah yang dighibah-kannya, berbeda dengan harta. Pendapat pertama adalah yang lebih jelas, karena terkadang seseorang memaafkan orang lain dari suatu ghibah, tapi tidak ghibah yang lain. ( Inilah yang terkenal dalam madzhab Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i, dan terdapat dua pendapat dalam madzhab Ahmad pada masalah ini, salah satunya adalah pendapat ini, dan yang lainnya adalah bahwasanya tidak disyaratkan memberitahukan masalah yang dighibahinya dari kehormatan orang bersangkutan, akan tetapi cukup taubatnya antara dia dengan Allah, dan hendaklah dia menyebut orang yang dighibahi dan dituduh tersebut pada masalah yang dighibahi dan dituduhkannya, dengan kebalikan dari ghibah (yaitu, pujian). Inilah yang lebih utama dalam kebenaran. Sedangkan qiyas ghibah terhadap hak harta benda adalah qiyas yang (tidak tepat) karena adanya perbedaan (antara keduanya). Analogi antara satu dengan lainnya adalah analogi yang rusak. Wallahu A’lam. Untuk tambahan penjelasan, lihat Madarij as-Salikin, 1/290-291. )

Apabila orang yang dighibahi telah meninggal atau tidak diketahui keberadaannya, maka pencapaian kebebasan telah terhalang darinya. Akan tetapi para ulama mengatakan, “Dia harus memperbanyak istighfar untuknya dan doa serta memperbanyak berbuat kebaikan.”

Dan ketahuilah bahwa dianjurkan bagi orang yang dighibahi memaafkannya dari (dosa) ghibah tersebut, namun dia tidak wajib memaafkannya, karena hal tersebut merupakan pemberian sukarela dan pembebasan hak, maka dia bisa memilih. Akan tetapi dia disunnahkan untuk membebaskannya dengan sunnah mu’akkad, agar dia bisa menyelamatkan saudaranya sesama muslim dari bencana kemaksiatan ini, dan dia mendapatkan kemenangan berupa pahala Allah dalam ampunan dan kecintaan Allah Subhanahu waTa`ala. Allah Subhanahu waTa`ala telah berfirman,

الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 134).

(1092) Dan cara menumbuhkan perasaan yang baik pada dirinya saat memaafkan adalah dengan mengingatkan pada dirinya bahwa hal tersebut sudah terjadi. Tidak ada jalan untuk menghilangkannya. Maka tidak layak saya menghilangkan pahala untuk menyelamatkan saudara sesama Muslim. Dan Allah Subhanahu waTa`ala telah berfirman,

وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ اْلأُمُور (43)

“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Asy-Syura: 43).

Dan Dia berfirman,

خُذِ الْعَفْوَ

“Jadilah engkau pemaaf.” (Al-A’raf: 199).

Dan ayat-ayat semisal yang telah kami kemukakan sangatlah banyak. Dan dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ.

“Allah senantiasa membantu hamba selama hamba membantu saudaranya.” ( Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab adz-Dzikr, Bab Fadhl al-Ijtima’ ala at-Tilawah, 4/2074, no. 2699: dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu )

Asy-Syafi’i rahimahullah telah berkata, “Barangsiapa yang diminta keridhaannya, namun dia tidak memberi ridha, maka dia adalah setan.” Orang-orang terdahulu telah melantunkan syair,

Dikatakan kepadaku, fulan telah berbuat jelek kepadamu

Dan kedudukan seseorang dalam kehinaan merupakan aib

Aku berkata, dia telah datang kepada kami dan menyampaikan maaf

Diyat untuk suatu dosa bagi kami adalah ungkapan permintaan maaf

Apa yang kami kemukakan berupa anjuran memaafkan dari ghibah adalah benar. Sedangkan pendapat yang datang dari Sa’id bin al-Musayyib ( Al-Imam, al-Alam, Alim Ahli al-Madinah dan sayyid at-Tabi’in, dilahirkan dua tahun setelah kekhalifahan Umar, dan wafat pada tahun 93 H. Biografinya terdapat dalam Thabaqat Ibni Sa’ad 5/60 dan Siyar A’lam an-Nubala` 4/217. ) bahwa dia berkata, “Saya tidak menghalalkan orang yang menzhalimiku,” dan dari Ibnu Sirin, “Saya tidak mengharamkannya lalu (mengapa) saya (harus) menghalalkan untuknya! Karena Allah Subhanahu waTa`ala mengharamkan ghibah terhadapnya. Dan saya tidak akan pernah menghalalkan sesuatu yang telah Allah Subhanahu waTa`ala haramkan selamanya,” maka ucapan ini dhaif atau salah, karena orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain bukanlah (bermakna) menghalalkan perkara yang diharamkan (oleh Allah), akan tetapi menggugurkan hak yang menjadi miliknya. Nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah saling mendukung untuk menganjurkan memberi maaf dan pengguguran hak yang dikhususkan bagi orang yang berhak menggugurkan. Atau perkataan Ibnu Sirin ditafsirkan: bahwa aku tidak memperbolehkan orang mengghibah kepadaku selamanya. Dan ini merupakan perkataan yang benar, karena manusia apabila berkata, “Saya membolehkan kehormatanku untuk orang yang mengghibahku,” maka perkataan tersebut tidak diperbolehkan, bahkan diharamkan bagi setiap orang untuk (memperbolehkan) mengghibahinya sebagaimana dia diharamkan untuk mengghibah orang lain. ( Al-Imam, Syaikh al-Islam, bekas sahaya Anas bin Malik. Dilahirkan dua tahun sisa dari kekhilafahan Umar, dan wafat pada tahun 110 H. Biografinya terdapat dalam Tarikh Baghdad 5/331 dan Siyar A’lam an-Nubala` 4/606.)

(1093) Adapun hadits,

أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُوْنَ كَأَبِي ضَمْضَمْ؟ كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ، قَالَ: إِنِّيْ تَصَدَّقْتُ بِعِرْضِيْ عَلَى النَّاسِ

“Apakah salah seorang dari kalian lemah untuk menjadi seperti Abu Dhamdham? Apabila dia keluar dari rumahnya, maka dia berkata, ‘Sesungguhnya aku telah bersedekah (dengan memberikan toleransi) kepada orang yang mencela kehormatanku’.” (Munkar: Telah dikemukakan pada no. 252.)

Maknanya adalah, saya tidak menuntut kezhaliman yang ditujukan kepadaku dari orang yang telah menzhalimiku, tidak menuntut di dunia dan tidak pula di akhirat. Maka perkataannya ini bermanfaat untuk menggugurkan kezhaliman yang telah ada sebelum terjadinya pemaafan. Sedangkan kezhaliman yang terjadi setelahnya, maka harus terjadi pemaafan dengan akad baru sesudahnya. Wa billahi at-Taufik.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Rifki Solehan El-Hawary