Pasal tentang larangan menghina angin: dan telah dikemukakan dua hadits tentang larangan tentang pencelaannya, dan penjelasannya dalam bab doa yang diucapkan ketika angin berhembus kencang.

Pasal dimakruhkannya mencela demam:

(1149) Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, Kitab al-Bir, Bab Tsawab al-Mukmin fima Yushibuhu, 4/1993, no. 2575 dari Jabir radiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ عَلَى أُمِّ السَّائِبِ (أَوْ: أُمِّ الْمُسَيَّبِ)، فَقَالَ: مَا لَكِ يَا أُمَّ السَّائِبِ (أَوْ: يَا أُمَّ الْمُسَيَّبِ) تُزَفْزِفِيْنَ؟ قَالَتْ: اَلْحُمَّى، لاَ بَارَكَ اللهُ فِيْهَا. فَقَالَ: لاَ تَسُبِّي الْحُمَّى، فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِيْ آدَمَ كَمَا يُذْهِبُ الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ.

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk Ummu as-Saib (atau Ummu al-Musayyib), kemudian beliau bertanya, ‘Apa yang terjadi denganmu wahai Ummu al-Sa’ib (atau wahai Ummu al-Musayyib), kenapa kamu bergetar?’ Dia menjawab, ‘Sakit demam yang tidak ada keberkahan Allah padanya.’ Maka beliau bersabda, ‘Janganlah kamu mencela demam, karena ia menghilangkan dosa anak Adam, sebagaimana alat pemanas besi mampu menghilangkan karat’.”

Al-Kir bermakna alat pemanas besi. Sedangkan kata khabats bermakna kotoran dan karat besi.

Saya berkata, “Tuzafzifin yaitu bergerak-gerak dengan gerakan yang cepat (menggigil), dan maknanya adalah kamu bergetar.” Tuzafzifin dengan mendhammahkan ta‘ dan zay yang berulang dua kali, dan diriwayatkan pula dengan ra` yang berulang dua kali, namun dengan huruf zay lebih masyhur, dan di antara yang meriwayatkan keduanya adalah Ibnu al-Atsir, sedangkan pengarang kitab al-Mathali‘ meriwayatkannya dengan zay dan meriwayatkan ra` dengan qaf. Dan yang masyhur adalah dengan fa, baik dengan huruf zay ataupun ra`.

Pasal tentang larangan mencela ayam jantan:

(1150) Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dengan isnad yang shahih, dari Zaid bin Khalid al-Juhani radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَسُبُّوا الدِّيْكَ، فَإِنَّهُ يُوْقِظُ لِلصَّلاَةِ.

‘Janganlah kalian mencela ayam jantan, karena ia membangunkan orang untuk shalat’.

Shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thayalisi, no. 957; Abdurrazaq, no. 20498; al-Humaidi, no. 814; Ahmad 4/115, 5/192; Abd bin Humaid, no. 278 Muntakhab; Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab ad-Dik wa al-Baha’im, 2/748, no. 5101; an-Nasa`i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 951 dan 952; Ibnu Hibban, no. 5731; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 5/240, no. 5208-5212 dan dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 3645; serta dalam ad-Du’a`, no. 2054 dan 2055; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 5171-5174; dan al-Baghawi, no. 3269 dan 3270: dari beberapa jalur, dari Shalih bin Kaisan dan Abdul Azis bin Rufai’, keduanya meriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah, dari Zaid bin Khalid dengan hadits tersebut.

Sanad ini shahih, para perawinya adalah para perawi tsiqah, termasuk para perawi asy-Syaikhain. Al-Mundziri berkata, “An-Nasa`i telah meriwayatkannya secara musnad dan mursal.”

Saya berkata, Dia telah memursalkan satu saja di antara sekelompok jama’ah tsiqah yang mana mereka meriwayatkannya dari Shalih secara musnad. Adapun Abdul Aziz, maka riwayat darinya adalah secara musnad tanpa ada perselisihan. Sehingga hukumnya untuk sanad, tanpa ada keraguan. Benar, di sana terdapat berbagai jalur yang di dalamnya terdapat perselisihan terhadap Shalih, akan tetapi ia tidak membuat cacat, apalagi riwayat Abdul Aziz selamat darinya. Oleh karena itu, Ibnu Hibban menshahihkannya dan disetujui oleh An-Nawawi, al-Asqalani, serta al-Albani.

Pasal tentang larangan berdoa dengan doa jahiliyah dan celaan penggunaan lafazh mereka:

(1151) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, Kitab al-Janaiz, Bab Laisa Minna Man Syaqqa al-Juyub, 3/163, no. 1294 dan Shahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab Tahrim Dharb al-Khudud, 1/99, no. 103.
dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُوْدَ وَشَقَّ الْجُيُوْبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.

“Bukanlah termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul pipi dan menyobek-nyobek kerah baju, serta berdoa dengan doa jahiliyah.”

Al-Jaib Min al-Qamish bermakna kerah baju, yaitu kain yang melingkar di leher. Yaitu sesuatu yang sekarang dikenal dengan qubbah. Kata Da’a bi Da’wa al-Jahiliyyah bermakna meratapi kematian mayyit, menyerukan kecelakaan dan kebinasaan

Dalam suatu riwayat (( أَوْ شَقَّ )), (( أَوْ دَعَا )) dengan menggunakan kata Auw (atau).

Pasal: Dimakruhkan untuk menamakan bulan Muharram dengan safar, karena hal tersebut merupakan kebiasaan orang jahiliyah.

Pasal: Haram mendoakan orang yang meninggal secara kafir dengan permohon-an ampunan dan semisalnya.

Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

مَاكَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُوْلِى قُرْبَى مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tidaklah patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahanam.” (At-Taubah: 113).

Dan telah datang hadits yang semakna dengannya. Dan kaum Muslimin berijma’ atasnya.

Pasal: Haram mencela seorang Muslim tanpa adanya sebab syar’i yang mem-bolehkannya.

(1152) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ.

“Mencela orang Muslim adalah kefasikan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Khauf al-Mukmin, 1/110, no. 48; dan Muslim, Kitab al-Iman, Bab Qauluhu Shallallahu ‘alaihi wasallam : Sibab al-Muslim, 1/81, no. 64.

(1153) Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اَلْمُسْتَبَّانِ، مَا قَالاَ، فَعَلَى الْبَادِئِ مِنْهُمَا، مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُوْمُ.

“Dua orang yang saling mencaci, dosa yang mereka ucapkan dilimpahkan kepada pihak yang memulai dari keduanya, selama orang yang dizhalimi tidak melampaui batas (dalam membalasnya).” Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab al-Bir, Bab an-Nahyu an as-Sibab, 4/2000, no. 2587

At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”

Pasal: Di antara lafazh-lafazh tercela yang sering digunakan yaitu, perkataan seseorang untuk orang yang memusuhinya, “Hai keledai! Hai kambing bandot! Hai anjing!” dan semisalnya, hal ini sangat jelek dilihat dari dua segi, pertama, bahwa hal ini bohong. Kedua, bahwa hal ini menyakiti (hati) orang lain, berbeda dengan perkataan, “Wahai orang zhalim” dan semisalnya, karena hal tersebut diperbolehkan karena daruratnya pertikaian dan bahwasanya hal tersebut secara umum adalah benar, karena mayoritas manusia zhalim kepada diri sendiri ataupun orang lain.

Pasal: An-Nahhas berkata, “Sebagian ulama memakruhkan ucapan, ‘Tidak ada makhluk bersamaku kecuali Allah’.”

Saya berkata, “Sebab makruhnya ucapan ini adalah kejelekan lafazhnya, di mana al-Ashlu (asal) bersambung dalam al-Istisna` (pengecualian). Dan dalam lafazh tersebut mustahil (untuk dikatakan bersambung), karena yang dimaksudkan di sini adalah al-istisna` al-munqathi’ (pengecualian yang terputus). Dan kalimat yang tersirat darinya adalah, ‘akan tetapi Allah bersamaku’. Hal ini terambil dari Firman Allah Subhanahu waTa`ala,

هُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ

“Dia bersama kalian di mana pun kalian berada.” (al-Hadid: 4).

Yang layak diucapkan sebagai pengganti ini adalah, “Tidak ada satu pun yang bersamaku melainkan Allah.”

Dia berkata, “Dan dimakruhkan mengatakan, ‘Duduklah atas Nama Allah,’ dan hendaklah dia katakan, ‘Duduklah dengan Nama Allah’.”

Pasal: An-Nahhas menceritakan dari sebagian salaf, bahwa mereka memakruhkan orang yang berpuasa mengatakan, “Demi hak penutup yang ada di mulutku ini”. Mereka berdalil bahwa yang ditutup mulutnya hanyalah orang-orang kafir. Namun dalam berhujjah seperti ini terdapat sesuatu yang harus dianalisa, karena hujjah yang benar hanyalah karena dia bersumpah dengan selain Allah, dan akan ada larangan tentang hal tersebut, insya Allah. Ini merupakan perbuatan yang dimakruhkan, karena dapat dipahami dari lafazh tersebut bahwa ia menampakkan puasanya tanpa ada kebutuhan. Wallahu A’lam. Yang dimaksudkan dengan makruh di sini adalah makruh tahrim.

Pasal:

(1154) Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, dari Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Qatadah, atau yang lainnya, dari Imran bin al-Hushain radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

كُنَّا نَقُوْلُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ: أَنْعَمَ اللهُ بِكَ عَيْنًا، وَأَنْعَمَ صَبَاحًا، فَلَمَّا كَانَ اْلإِسْلاَمُ، نُهِيْنَا عَنْ ذلِكَ. قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: قَالَ مَعْمَرٌ: يُكْرَهُ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ: أَنْعَمَ اللهُ بِكَ عَيْنًا، وَلاَ بَأْسَ أَنْ يَقُوْلَ: أَنْعَمَ اللهُ عَيْنَكَ.

“Pada masa Jahiliyah, kami mengatakan, ‘Semoga Allah menyenangkanmu dengan mata seseorang yang kamu sukai’, dan ‘Semoga hidupmu baik ketika pagi hari’. Dan di masa Islam, kami dilarang untuk mengucapkan penghormatan tersebut. Abdurrazzaq berkata, ‘Ma’mar berkata, ‘ Seseorang dimakruhkan berkata, ‘Semoga Allah menyenangkanmu dengan mata seseorang yang kamu sukai’. Dan tidak masalah untuk mengucapkan, ‘Semoga Allah memberi nikmat kepada matamu’.”

Dhaif: Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, no. 19437; Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, Bab Ar-Rajulu Yaqulu: An’amallah Bika Ainan 2/778, no. 5227; al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman, no. 8893: dari jalur Ma’mar, dari Qatadah (atau yang lainnya), dari Imran dengan hadits tersebut.
Sanad ini dhaif, ia mempunyai dua illat,

Pertama, perselisihan mereka terhadap syaikh Ma’mar, Abdurrazzaq memastikannya dalam al-Mushannaf bahwa dia adalah Qatadah, namun dia ragu-ragu dalam as-Sunan.

Kedua, sesuatu yang diisyaratkan oleh al-Mundziri dengan perkataannya, “Ini hadits munqathi’, karena Qatadah tidak mendengar dari Imran”.

Saya berkata, “Dan dia tidak menjumpainya, bahkan dia lahir dua tahun setelah kematiannya. Inilah illat yang mem-buatnya cacat, sehingga hadits tersebut dhaif pada semua kondisinya. Al-Mundziri dan al-Albani mendhaifkannya.”

Saya berkata, “Inilah riwayat Abu Dawud dari Qatadah atau yang lainnya. Dan hadits seperti ini dikatakan oleh para ulama, “Tidak dihukumi shahih, karena meskipun Qatadah adalah tsiqah, namun yang lainnya adalah majhul, dan hadits ini mengandung kemungkinan berasal dari perawi yang majhul, maka hukum syar’i tidak tetap (tsabit) dengannya. Akan tetapi sebagai kehati-hatian bagi manusia adalah menjauhi lafazh ini, karena mengandung kemungkinan keshahihannya, dan karena sebagian ulama ada yang berhujjah dengan perawi yang majhul.

Tidak ada sesuatu pun dari perkataan ini yang dapat diterima berdasarkan beberapa hal:

Pertama, bahwa menyatakan hadits ini cacat karena ada kemungkinan tidak jelasnya seorang tabi’in, merupakan alasan yang kurang memadai sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Karena ternyata ia memiliki illat lain, yaitu terputus (inqitha’).

Kedua, bahwasanya tidak ada alasan untuk berhati-hati dengan hadits dhaif. Oleh karena itu al-Haitsami mengomen-tari an-Nawawi dengan perkataannya, “Menyatakan hukum makruh pada permasalahan yang tersebut dalam hadits ini adalah suatu keanehan, meskipun salah seorang dari perawinya yang bernama Ma’mar mengatakan hal itu”.

Ketiga, bahwa pendapat bolehnya berhujjah dengan riwayat para perawi majhul yang tidak memiliki riwayat yang menguatkannya adalah pendapat yang terbuang dan tidak dipandang sama sekali oleh para peneliti dan pentahqiq hadits.

Keempat, bahwa perawi di sini bukan hanya majhul, tetapi dia berada pada derajat jahalah yang paling parah, yaitu mubham. Saya tidak mengetahui ada seorang pun yang berhujjah dengan hadits yang kondisinya seperti ini.Wallahu A’lam.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta.