Pasal: Tentang larangan berbisik-bisik di antara dua orang, sedangkan ada orang yang ketiga bersama mereka:

(1155) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا كُنْتُمْ ثَلاَثَةً فَلاَ يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُوْنَ اْلآخَرِ حَتَّى تَخْتَلِطُوْا بِالنَّاسِ، مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذلِكَ يُحْزِنُهُ.

‘Apabila kamu bertiga, maka janganlah dua orang di antara kamu saling berbisik-bisik tanpa mengajak yang lainnya, hingga mereka bercampur dengan orang-orang, karena hal tersebut akan menyakitinya’.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Isti`dzan, Bab Idza Kanu Aktsar Min Tsalatsah, 11/82, no. 6290; dan Muslim, Kitab as-Salam, Bab Tahrim Munajah al-Itsnaini Duna ats-Tsalits, 4/1718, no. 2184

(1156) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا كُنْتُمْ ثَلاَثَةً فَلاَ يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُوْنَ الثَّالِثِ.

“Apabila kalian bertiga, maka janganlah dua orang di antara kalian berbisik-bisik tanpa (mengajak) yang ketiga.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Isti`dzan, Bab La Yatanaja Itsnani Duna ats-Tsalits, 11/81, no. 6288; dan Muslim, , Kitab as-Salam, Bab Tahrim Munajah al-Itsnaini Duna ats-Tsalits, 4/1717, no. 2183.

(1157) Kami juga meriwayatkannya dalam Sunan Abu Dawud, dan dia menambahkan, Abu Shalih perawi hadits ini berkata dari Ibnu Umar, “Saya bertanya kepada Ibnu Umar, ‘Bagaimana apabila berempat?’ Dia menjawab, “Tidak membahayakanmu.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab at-Tanaji, 2/679, no. 4851 dan 4852, dengan isnad yang shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim.

Pasal: Tentang larangan wanita mengabarkan kepada suaminya atau kepada laki-laki lainnya tentang keindahan tubuh wanita lain, apabila tidak ada keperluan syar’i berupa tujuan untuk menikahinya dan semisalnya:

(1158) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Bahkan al-Bukhari meriwayatkannya sendirian dalam Kitab an-Nikah, Bab La Tubasyir al-Mar`ah al-Mar`ah, 9/338, no. 5240 dan 5241. dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تُبَاشِرِ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَصِفَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا.

“Janganlah seorang wanita berinteraksi dengan wanita lain, kemudian dia menggambarkan (bentuk tubuhnya) kepada suaminya, sehingga seakan-akan suaminya melihat kepadanya.

Pasal: Makruh dikatakan kepada orang yang menikah, “Bi ar-Rifa’ wa al-Banin” (Semoga bersatu dan memiliki banyak anak), akan tetapi (hendaklah) dikatakan kepadanya “Barakallah Laka wa Baraka ‘Alaika” (semoga Allah memberkahimu dalam kebahagiaan dan kesusahan), sebagaimana telah kami sebutkan dalam kitab nikah.

Pasal: An-Nahhas meriwayatkan dari Abu Bakar Muhammad bin Yahya -dia adalah salah seorang ulama, fuqaha dan sastrawan bahwasanya dia berkata, “Dimakruhkan bagi seseorang ketika marah untuk mengatakan, ‘Ingatlah Allah Subhanahu waTa`ala,’ karena khawatir kemarahannya akan membawanya kepada kekafiran. Dia berkata, “Dan tidak juga dikatakan kepadanya, ‘Bershalawatlah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,’ karena khawatir terhadap hal ini. Kalau begitu, kapan orang yang sedang marah besar tersebut diberi nasihat? Dan kapan dia disuruh kepada yang ma’ruf serta dicegah dari yang mungkar? Apakah setelah kemarahannya mereda dan membalas dendam untuk dirinya serta menimpakan musibah kepada orang lain? Ya, kalau saja dia mengatakan, “Hendaklah orang yang memberi nasihat berlaku bijaksana dan lemah lembut serta baik dalam memilih kata-kata dan kesempatan,” niscaya ini dapat diterima.

Pasal: Yang termasuk lafazh-lafazh tercela yang paling jelek adalah lafazh yang biasa diucapkan mayoritas manusia apabila hendak bersumpah terhadap sesuatu, lalu enggan untuk mengucapkan, “Demi Allah” karena tidak mau melanggar atau sebagai bentuk pengagungan kepada Allah dan menjaga diri dari sumpah, kemudian berkata, “Allah Maha Mengetahui sesuatu yang telah demikian, atau sesuatu telah begini… dan semisalnya!” Ungkapan-ungkapan ini mengandung bahaya. Namun apabila pengucapnya berkeyakinan bahwa perkaranya sebagaimana yang dia katakan, maka tidak mengapa. Akan tetapi apabila dia ragu-ragu dalam hal tersebut, maka ia termasuk ungkapan yang paling jelek, karena ia menyebutkan kebohongan kepada Allah, dimana dia mengabarkan bahwa Allah Subhanahu waTa`ala mengetahui sesuatu yang Dia sendiri tidak yakin akan hakikat sebenarnya! Dan di dalamnya mengandung permasalahan mendalam lainnya yang lebih jelek dari ini, yaitu bahwa ia menyebutkan sifat Allah bahwa Dia mengetahui perkara yang tidak sesuai dengan hakikatnya. Apabila dia merealisasikan hal tersebut, maka dia kafir. Maka seharusnya manusia menjauhi ungkapan ini.

Pasal: Dimakruhkan dalam doa mengucapkan, “Ya Allah ampunilah aku apabila Engkau kehendaki, atau apabila Engkau inginkan”, akan tetapi hendaklah dia meneguhkan permintaan.

(1159) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ: اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ إِنْ شِئْتَ، اللّهُمَّ ارْحَمْنِيْ إِنْ شِئْتَ، لِيَعْزِمِ الْمَسْأَلَةَ، فَإِنَّهُ لاَ مُكْرِهَ لَهُ.

“Janganlah seseorang di antara kamu mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki, ya Allah rahmatilah aku jika Engkau menghendaki’, namun hendaklah dia meneguhkan permintaan. Karena tidak ada sesuatu pun yang memaksaNya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab ad-Da’awat, Bab Liya’zim al-mas`alah, 11/139, no. 6339; dan Muslim, Kitab adz-Dzikr, Bab al-Azmu bi ad-Du’a`, 4/2063, no. 2679.

Dan dalam riwayat lain milik Muslim,

وَلكِنْ لِيَعْزِمِ (الْمَسْأَلَةَ) وَلْيُعَظِّمِ الرَّغْبَةَ، فَإِنَّ اللهَ لاَ يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ.

“Akan tetapi hendaklah dia meneguhkan permintaan, dan meminta sesuatu yang besar, karena tidak ada sesuatu pun yang memberatkan Allah.

(1160) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Anas radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَعْزِمِ الْمَسْأَلَةَ، وَلاَ يَقُوْلَنَّ: اللّهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِي، فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرِهَ لَهُ.

‘Apabila salah seorang dari kalian berdoa maka hendaklah dia meneguhkan permintaan, dan janganlah dia mengucapkan, ‘Ya Allah, jika kamu berkehendak maka berikanlah kepadaku’, karena tidak ada sesuatu pun yang memaksaNya’.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab ad-Da’awat, Bab Liya’zim al-mas`alah., 6338; dan Muslim, Kitab adz-Dzikr, Bab al-Azmu bi ad-Du’a`., 2678.

Pasal: Dimakruhkan bersumpah dengan selain nama-nama dan sifat-sifat Allah, baik dalam bersumpah itu dengan nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Ka’bah, malaikat, amanah, kehidupan, ruh, dan semisalnya. Dan yang paling keras kemakruhannya adalah bersumpah dengan amanah.

Yang dimaksud dengan makruh di sini adalah makruh tahrim (makruh yang menunjukkan hukum haram), bukan makruh tanzih. Dan dalil-dalilnya jelas sebagaimana akan disajikan nanti.

(1161) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,

إِنَّ اللهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوْا بِآبَائِكُمْ، فَمَنْ كَانَ حَالِفًا، فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أَوْ لِيَصْمُتْ.

“Sesungguhnya Allah telah melarang kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian, maka barangsiapa bersumpah, hendaklah bersumpah dengan Nama Allah atau diam.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Aiman, Bab La Tahlifu bi Aba`ikum, 11/530, no. 6646; dan Muslim, Kitab al-Aiman, Bab an-Nahyu an al-Halaf Bighairillah, 3/1267, no. 1646.

Dan pada satu riwayat dalam ash-Shahih,
فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلاَ يَحْلِفْ إِلاَّ بِاللهِ أَوْ لِيَسْكُتْ.

“Barangsiapa bersumpah, maka janganlah dia bersumpah melainkan dengan Nama Allah, atau hendaklah dia diam.”

Kami meriwayatkan tentang larangan bersumpah dengan amanah secara tegas dan banyak:

(1162) Di antaranya, hadits yang kami riwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dengan isnad yang shahih, dari Buraidah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ حَلَفَ بِاْلأَمَانَةِ فَلَيْسَ مِنَّا.

‘Barangsiapa yang bersumpah dengan amanah maka dia bukan termasuk golongan kami’.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad 5/352; Abu Dawud, Kitab al-Aiman, Bab Karahiyah al-Halaf bi al-Amanah, 2/243, no. 3253; al-Bazzar, no. 1500,Zawa`id; al-Hakim 4/298; dan al-Baihaqi 10/30: dari beberapa jalur, dari al-Walid bin Tsa’labah, dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya dengan hadits tersebut.

Dan sanad ini shahih, semua perawinya berderajat tsiqah, al-Hakim, an-Nawawi, adz-Dzahabi, al-Haitsami dan al-Albani telah menshahihkannya, dan al-Mundziri berkata, ” Dan diriwayatkan juga dari hadits Salman bin Buraidah.”

Pasal: Dimakruhkan memperbanyak sumpah dalam jual beli dan semisalnya walaupun hal tersebut benar.

(1163) Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, Kitab al-Musaqah, Bab an-Nahyu an al-Halaf, 3/1228, no. 1607. dari Abu Qatadah radiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَلِفِ فِي الْبَيْعِ، فَإِنَّهُ يُنَفِّقُ ثُمَّ يَمْحَقُ.

“Jauhilah oleh kalian perbuatan banyak bersumpah dalam berjual beli, karena dia akan melariskan, kemudian menghapus berkahnya.

Pasal: Dimakruhkan untuk mengatakan Qausu Quzah untuk sesuatu yang berada di langit.

(1164) Kami meriwayatkan dalam Hilyah al-Auliya` karya Abu Nu’aim, dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَقُوْلُوْا: قَوْسَ قُزَحَ، فَإِنَّ قُزَحَ شَيْطَانٌ، وَلكِنْ قُوْلُوْا: قَوْسَ اللهِ ، فَهُوَ أَمَانٌ لأَهْلِ اْلأَرْضِ.
“Janganlah kalian mengatakan, ‘Panah Quzah, karena Quzah adalah setan’, akan tetapi katakanlah, ‘Panah Allah, maka ia aman untuk penduduk bumi’.”

Maudhu’: Diriwayatkan oleh al-Uqaili dalam adh-Dhu’afa` 2/89; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 2/309; al-Khathib dalam at-Tarikh 8/452; dan ad-Dailami dalam al-Firdaus, 1297-Maqashid: dari jalur Zakariya` bin Hakim al-Habathi, dari Abu Raja’ al-‘Atharidi, dari Ibnu Abbas dengan hadits tersebut.
Sanad ini saqith, Zakariya ini adalah lemah sekali atau ditinggalkan (matruk), dia telah menjadi mudhtharib (goyah) di dalamnya. Al-Uqaili meriwayatkannya sekali dari Abu Raja’ dari Ibnu Abbas secara mauquf. Dan pendapat yang utama dalam hal ini adalah bahwa ia termasuk Isra`iliyat yang dinisbatkan secara sengaja atau karena lalai. Wallahu A’lam.

Saya berkata, “Kata ‘Quzah‘ dengan mendhammahkan qaf dan memfathahkan zay. Al-Jauhari dan lainnya berkata, ‘Kata tersebut tidak ditashrif‘. Sedangkan orang awam menyebutnya qudah dengan huruf dal. Itu merupakan kesalahan tulis.

Pasal: Dimakruhkan bagi manusia apabila diuji dengan suatu maksiat atau lainnya untuk mengabarkannya kepada orang lain. Akan tetapi, seharusnya dia bertaubat kepada Allah Subhanahu waTa`ala, lalu melepaskan diri dari perbuatan maksiat tersebut dengan segera, menyesali atas apa yang telah dilakukan, dan bertekad untuk tidak mengulangi yang semisalnya untuk selamanya. Tiga perkara ini merupakan rukun taubat, dimana taubat seseorang tidak sah kecuali dengan berkumpulnya tiga syarat ini.

Apabila dia memberitahukan perbuatan maksiatnya kepada syaikhnya, atau yang semisalnya dari kalangan orang-orang yang apabila mengabarkannya, dia akan memberinya cara keluar dari kemaksiatannya, atau mengajarkannya sesuatu yang membuatnya selamat dari terjerumus kepada kemaksiatan semisalnya, atau memberitahukannya tentang sebab yang menjerumuskannya ke dalamnya, atau mendoakan untuknya… atau semisalnya, maka tidak mengapa dia mengabarkan perbuatan maksiatnya tersebut, bahkan ini merupakan tindakan yang baik. Ia hanya dilarang bila di dalamnya tidak ada kemashlahatan.

(1165) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ. وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ، فَيَقُوْلُ يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَلَيْهِ.

‘Setiap umatku mendapatkan ampunan (dari Allah) kecuali orang yang berterus terang (melakukan kemaksiatan). Dan sesungguhnya di antara sikap terang terangan (berbuat maksiat) adalah seseorang melakukan kemaksiatan di malam hari kemudian ketika pagi hari padahal Allah telah menutup aibnya, dia berkata, ‘Wahai fulan, tadi malam saya telah berbuat maksiat demikian dan demikian’. Padahal tadi malam Rabbnya telah menutup aibnya. Namun ketika pagi hari dia membuka penutup Allah yang menutupi aibnya’.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Adab, Bab Satru al-Mukmin ala Nafsihi, 10/486, no. 6069; dan Muslim, Kitab az-Zuhd, Bab an-Nahyu an Hatki al-Insan Sitra Nafsihi, 4/2291, no. 2990.

Pasal: Haram hukumnya bagi mukallaf membicarakan budak atau istri atau anak atau pelayan milik orang lain, dan semisal mereka, dengan hal-hal yang akan merusak nama baik mereka apabila sesuatu yang dibicarakannya tersebut tidak mengandung amar ma’ruf dan nahi mungkar.

Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2).

Dan Firman Allah Subhanahu waTa`ala,

مَّايَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18).

(1166) Kami meriwayatkan dalam Kitab Abu Dawud dan an-Nasa`i, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ خَبَّبَ زَوْجَةَ امْرِئٍ أَوْ مَمْلُوْكَهُ، فَلَيْسَ مِنَّا.

‘Barangsiapa yang merusak istri orang lain atau budaknya, maka dia bukan golongan kami’.”

Hasan Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad 2/397; Abu Dawud, Kitab ath-Thalaq, Bab Man Khabbaba Imra`atan ala Zaujiha, 2/661, no. 2175 dan 5170; an-Nasa`i dalam al-Kubra, no. 14817-Tuhfah; Ibnu Hibban, no. 568 dan 5560; al-Hakim 2/196; dan al-Baihaqi 8/13: dari beberapa jalur, dari Ammar bin Ruzaiq, dari Abdullah bin Isa, dari Ikrimah, dari Yahya bin Ya’mar, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut.

Mereka semua adalah para perawi tsiqah dan termasuk para perawi asy-Syaikhain, kecuali Ammar bin Ruzaiq, haditsnya kuat dan termasuk perawi Muslim, maka sanadnya berdasarkan syarat Muslim. Dan dalam bab ini terdapat hadits yang diriwayatkan dari Buraidah pada Ahmad 5/352, dengan sanad yang shahih, dan dari Ibnu Amr pada al-Khara`ithi no. 497, dengan sanad yang hasan. Jika hadits ini tidak shahih lidzatihi, maka dia shahih, karena syahidnya. Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Mundziri, adz-Dzahabi dan al-Albani telah menshahihkannya.

Saya berkata, “Khabbaba bermakna, merusak dan mempermainkannya.

Pasal: Seyogyanya tentang harta yang dikeluarkan sebagai amal ketaatan kepada Allah Subhanahu waTa`ala hendaklah dikatakan, “Saya menginfakkan…” atau semisalnya, maka dikatakan, “Saya menginfakkan seribu untuk naik hajiku, dan saya menginfakkan dua ribu untuk perangku, saya menginfakkan perjamuan tamu-tamuku, saya menginfakkan untuk khitan putraku, untuk pernikahanku dan sebagainya.” Dan janganlah dia mengucapkan ucapan yang diungkapkan oleh mayoritas orang awam, “Saya merugi dalam perjamuanku, saya merugi dalam hajiku, saya kehilangan sesuatu dalam bepergianku!”

Kesimpulannya adalah, bahwa lafazh “Saya menafkahkan” dan sejenisnya hanya berlaku untuk amal ketaatan kepada Allah, sedangkan ungkapan, “Saya merugi dan kehilangan sesuatu” dan semisalnya adalah berlaku untuk amalan kemaksiatan dan kemakruhan, dan tidak digunakan untuk amalan ketaatan.

Pasal: Di antara lafazh yang dilarang adalah perkataan mayoritas manusia di dalam shalat, ketika imam mengucapkan,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan (al-Fatihah: 5),” kemudian makmum mengucapkan,

امين ياءارحم الراحمين

Ini merupakan tindakan yang seharusnya ditinggalkan dan dicegah. Penulis al-Bayan dari golongan sahabat kami berkata, “Sesungguhnya hal ini membatalkan shalat, kecuali dia bermaksud membaca!” Inilah yang diucapkannya, walaupun di dalamnya terdapat sesuatu yang perlu dianalisa. Dan yang zahir adalah, bahwa ia tidak tepat untuknya, dan seharusnya dihindari, karena walaupun tidak membatalkan shalat, namun ia makruh jika dilakukan di waktu tersebut.

Karena hal ini merupakan bid’ah yang tidak ada dasarnya, karena ia menghalanginya untuk melakukan kewajiban mendengarkan bacaan imam, dan karena ia mengganggu imam dan orang yang shalat. Namun apabila makmum termasuk kalangan yang berpendapat bahwa membaca al-Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyah (shalat yang bacaannya dikeraskan) adalah wajib, maka tidak masalah baginya untuk melakukan ini, akan tetapi dia harus membaca al-Fatihah secara sempurna.

Dan yang mengikuti perbuatan seperti ini -bahkan ia lebih parah, yaitu bacaan yang ditambahkan oleh kaum awam ketika membaca amin; mereka membaca amin ya arhamarrahimin (kabulkanlah wahai Dzat yang paling pemurah di antara para pemurah). Ini merupakan perbuatan bid’ah yang meluas dan banyak terjadi tanpa ada pengingkaran dari kebanyakan para ulama. Wallahu A’lam.

Pasal: Di antara yang telah ditegaskan larangannya dan peringatan darinya adalah apa yang diucapkan oleh kaum awam dan semisal mereka tentang bea cukai yang diambil dari orang atau membeli atau semisal keduanya. Mereka berkata, “Ini adalah hak penguasa atau kamu memiliki kewajiban memenuhi hak penguasa…dan selainnya, berupa ungkapan yang mencakup penamaannya secara hakiki atau pelazimannya atau semacamnya”

Ini merupakan kemungkaran yang parah dan pengada-adaan yang jelek, sehingga beberapa ulama berkata, “Siapa yang menamakan ini sebagai kebenaran, maka dia kafir yang telah keluar dari Islam”. Dan pendapat yang shahih adalah, bahwa dia tidak kafir kecuali bila dia berkeyakinan bahwa hal tersebut adalah benar, padahal dia mengetahui bahwa itu merupakan kezhaliman. Dan yang benar bahwa bea cukai adalah pajak dari penguasa atau ungkapan semisal itu. Wa billah at-Taufiq.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta.