Pasal: Dimakruhkan meminta sesuatu dengan Wajah Allah kecuali surga.

(1167) Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, dari Jabir radiyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يُسْأَلُ بِوَجْهِ اللهِ إِلاَّ الْجَنَّةُ.

‘Tidaklah sesuatu diminta dengan Wajah Allah melainkan surga’.”

Dhaif: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitab az-Zakah, Bab Karahiyah al-Mas`alah bi Wajhillah, 1/524, no. 1671; Ibnu Adi 3/1107; al-Baihaqi 4/199 dan dalam al-Asma` wa ash-Shifat hal. 388: dari jalur Abu al-Abbas al-Qillauri, Ya’qub bin Ishaq telah menceritakan kepada kami, dari Sulaiman bin Qarm bin Mu’adz, Ibnu al-Munkadir telah menceritakan kepada kami, dari Jabir dengan hadits tersebut.

Ibnu Adi berkata, “Saya tidak mengetahuinya dari Muhammad bin al-Munkadir, kecuali dari riwayat Sulaiman bin Qarm, dan dari Sulaiman Ya’qub bin Ishaq al-Khadhrami, serta dari Ya’qub Ahmad bin Amr al-Ushfuri.” Al-Mundziri menyetujuinya, dan berkata, “Ada lebih dari satu orang yang membicarakan Sulaiman bin Qarm.”

Saya berkata, Yang benar adalah bahwa haditsnya dhaif, al-Asqalani berkata, “Dia penghafal yang buruk.” Maka orang semisalnya tidak memiliki kemungkinan bersendirian dengan riwayatnya. Hadits ini dinyatakan berillat oleh Ibnu Adi dan al-Mundziri sebagaimana kamu lihat, dan telah didhaifkan oleh al-Albani.

Pasal: Dimakruhkan melarang orang yang meminta dengan Nama Allah Subhanahu waTa`ala dan meminta syafaat denganNya.

(1168) Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan an-Nasa`i dengan sanad-sanad Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنِ اسْتَعَاذَ بِاللهِ، فَأَعِيْذُوْهُ، وَمَنْ سَأَلَ بِاللهِ فَأَعْطُوْهُ، وَمَنْ دَعَاكُمْ، فَأَجِيْبُوْهُ، وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفًا، فَكَافِئُوْهُ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا مَا تُكَافِئُوْنَهُ، فَادْعُوْا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوْهُ.
‘Barangsiapa yang meminta perlindungan kepadamu dengan Nama Allah, maka lindungi-lah dia, barangsiapa meminta kepada kalian dengan Nama Allah, maka berilah dia, barangsiapa yang memanggil kalian, maka penuhilah panggilannya, barangsiapa yang berbuat kebaikan untuk kalian, maka balaslah kebaikannya (dengan semisalnya), jika kamu tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas kebaikannya, maka doakanlah dia sehingga kamu mengira bahwa kamu telah membalas kebaikannya’.”

Shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thayalisi, no. 1895; Ibnu Abi Syaibah, no. 21981; Ahmad 2/68, no. 95, 99 dan 127; Abd bin Humaid, no. 806; al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 216; Abu Dawud, Kitab az-Zakah, Bab Athiyyah Man Sa`ala Billah, 1/524, no. 1672 dan no. 5109; an-Nasa`i, Kitab az-Zakah, Bab Man Sa`ala Billah, 5/82, no. 2566; Ibnu Hibban, no. 3408; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 4043; al-Hakim 1/412, 2/63; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 9/56; al-Qudha`i 421; dan al-Baihaqi 4/199: dari beberapa jalur, dari Mujahid, dari Ibnu Umar dengan hadits tersebut. Al-Hakim menshahihkannya berdasarkan syarat asy-Syaikhain. Al-Mundziri, an-Nawawi, adz-Dzahabi dan al-Albani menyepakatinya.

Pasal: Yang paling masyhur adalah bahwa dimakruhkan mengatakan, “Semoga Allah memanjangkan keberadaanmu (di dunia).”

Abu Ja’far an-Nahhas berkata dalam kitabnya, Shina’ah al-Kitab, “Sebagian ulama memakruhkan perkataan mereka, ‘Semoga Allah memanjangkan keberadaanmu,’ dan sebagian mereka memberikan keringanan padanya. Ismail bin Ishaq berkata, ‘Kelompok yang pertama kali mengucapkan, ‘Semoga Allah memanjangkan keberadaanmu adalah kelompok Zindik’.” Diriwayatkan dari Hammad bin Salamah radiyallahu ‘anhu bahwa surat menyurat kaum Muslimin dahulu adalah,

مِنْ فُلاَنٍ إِلَى فُلاَنٍ، أَمَّا بَعْدُ: سَلاَمٌ عَلَيْكَ، فَإِنِّيْ أَحْمَدُ إِلَيْكَ اللهَ الَّذِيْ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ، وَأَسْأَلُهُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ.

‘Dari fulan kepada fulan, amma ba’du, sesungguhnya saya memuji Allah yang tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selainNya kepadamu, dan saya meminta kepadaNya agar Dia memberikan shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarganya.’ Kemudian kaum Zindik memperbaharui surat menyurat ini yang pada awalnya tertulis,

أَطَالَ اللهُ بَقَاءَ كَ.

‘Semoga Allah memanjangkan keberadaanmu’.”

catatan: Yang haq adalah bahwa menyelisihi metode generasi pertama dalam hal surat menyurat tidaklah menunjukkan kezindikan, dan tidak masalah seseorang mengucapkan, ‘Semoga Allah memanjangkan keberadaanmu, semoga Allah memanjangkan umurmu’ dan semisalnya. Dan tidak ada dalil atas kemakruhannya apalagi pengharamannya. Apabila dikatakan, ‘Pena telah diangkat, lembaran telah kering, maka mereka tidak akan mampu mengakhirkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.’ Saya berkata, Pena telah diangkat, dan lembaran telah kering, dengan segala yang telah terjadi dan yang sedang terjadi, berupa kematian, sakit, keimanan, kekufuran, hidayah, dan kesesatan. Maka klaim kalian tidak shahih untuk mengucapkan bagi orang yang sakit dengan doa kesembuhan, dan orang yang sesat dengan doa hidayah. Ini bertentangan dengan dalil-dalil yang banyak dan mutawatir, dan disepakati oleh umat.

Pasal: Madzhab yang benar dan terpilih adalah bahwasanya tidak dimakruhkan perkataan seseorang kepada selainnya, “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, atau Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”. Hadits-hadits yang masyhur saling mendukung untuk membolehkan hal tersebut yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain dan selain keduanya, baik kedua orang tua tersebut adalah Muslim atau kafir. Sebagian ulama ada yang memakruhkan hal tersebut apabila kedua orang tuanya adalah Muslim.

An-Nahhas berkata, “Malik bin Anas memakruhkan ungkapan, ‘Allah menjadikan-ku sebagai tebusan untukmu’. Sedangkan ulama memperbolehkannya. Al-Qadhi Iyadh berkata, ‘Jumhur ulama memperbolehkan hal tersebut, baik yang ditebuskan adalah Muslim ataupun kafir’.”

Saya berkata, Pembolehan tersebut berasal dari hadits-hadits shahih yang tidak terhitung, dan saya telah memberitahukan beberapa bagian darinya dalam Syarh Shahih Muslim.

Pasal: Di antara lafazh-lafazh yang dicela adalah al-Mira`, al-Jidal, dan al-Khushu-mah (pertentangan, perdebatan dan permusuhan).

Al-Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Al-mira` adalah celaanmu terhadap perkataan orang lain untuk menunjukkan kekurangannya tanpa tujuan lain, kecuali untuk menghina pengucapnya atau menampakkan kelebihanmu atasnya. Sedangkan al-Jidal adalah ungkapan tentang suatu perkara yang berkaitan dengan menampakkan mazhab dan menetapkannya. Sedangkan al-Khushumah adalah penentangan dalam pembicaraan agar maksudnya tercapai, berupa harta atau selainnya, terkadang dia yang memulai, dan terkadang berbentuk sanggahan. Sedangkan al-Mira` hanya berbentuk sanggahan.” Inilah perkataan al-Ghazali.

Dan ketahuilah bahwa perdebatan kadang benar dan kadang menjadi batil. Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

وَلاَتُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik.” (Al-Ankabut: 46).

Dan FirmanNya,

وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ

“Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (An-Nahl: 125).

Dan FirmanNya,

مَايُجَادِلُ فِي ءَايَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِينَ كَفَرُوا

“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir.” (Al-Mukmin: 4).

Apabila jidal ini bertujuan untuk berpegang teguh pada kebenaran dan menetapkannya, maka ia terpuji. Dan apabila jidal ini bertujuan untuk menolak kebenaran atau tanpa didasari ilmu, maka ia tercela. Berdasarkan perincian ini turunlah nash yang muncul untuk membolehkan dan mencelanya.

Kata al-Mujadalah dan al-Jidal bermakna satu. Dan saya telah menjelaskannya secara panjang lebar dalam Tahdzib al-Asma` wa al-Lughat.

Sebagian mereka berkata, “Saya tidak melihat sesuatu yang lebih menghilangkan agama, mengurangi reputasi, menghilangkan kenikmatan dan menyibukkan hati daripada al-Khushumah.”

Apabila kamu mengatakan bahwa seseorang harus melakukan al-Khushumah untuk memenuhi haknya, maka jawabannya adalah apa yang pernah digunakan oleh imam al-Ghazali untuk menjawabnya, bahwa celaan yang telah terpastikan adalah untuk orang yang melakukan al-Khushumah dengan batil atau tanpa ilmu, seperti wakil qadhi, Pada zaman kita ini, dua wakil tersebut telah menjadi: pertama, wakil umum atau wakil pengganti. Kedua, pengacara pembela. Pada umumnya, sesuatu yang membiasakan keduanya, peranan dan fungsinya adalah kejelekan analisa terhadap bentuk kebenaran dan kebatilan. Kita memohon kepada Allah agar menyelamatkan kita dari keduanya. karena dia mewakili dalam al-Khushumah sebelum mengetahui bahwa yang haq berada di sisi mana, lalu dia memusuhinya tanpa ilmu.

Dan masuk dalam kategori celaan juga adalah orang yang menuntut haknya, akan tetapi dia tidak sebatas pada kadar kebutuhan, namun dia menampakkan kebengisan dan kebohongan untuk menyakiti dan menguasai musuhnya. Demikian pula orang yang mencampurkan perkataan yang menyakitkan dalam al-Khushumah, padahal dia tidak memerlukannya untuk mendapatkan haknya. Demikian pula orang yang terdorong oleh kekeras kepalaan untuk menundukkan dan menghancurkan musuh untuk melakukan al-Khushumah. Maka ia adalah al-Khushumah yang tercela.

Adapun orang yang terzhalimi, yang membela hujjahnya dengan jalan syar’i tanpa disertai dengan pertengkaran, sikap berlebih-lebihan, dan tidak memberikan tekanan yang lebih dari kebutuhan serta tidak bermaksud melakukan perlawanan ataupun menyakiti, maka perbuatan seperti ini tidaklah diharamkan, akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya selama dia mampu, karena menjaga lisan pada saat pertikaian dalam batas keadilan adalah sulit, dan pertengkaran juga dapat mengobarkan apa yang ada di dalam dada dan membangkitkan kemarahan. Apabila kemarahannya telah berkobar, maka terjadilah sikap dengki antara keduanya, hingga setiap dari keduanya senang dengan musibah yang dialami pihak lain, dan bersedih dengan kebahagiaannya, kemudian lisan akan mengeluarkan celaan untuknya. Oleh karena itu, barangsiapa melakukan pertengkaran, maka dia telah menghadapkan dirinya kepada kerusakan ini, minimal sesuatu yang di alaminya adalah kesibukan hati, hingga kondisi tersebut terbawa ke dalam shalatnya, dan pikirannya selalu terkait dengan adanya perdebatan dan pertikaian, sehingga dia tidak mengalami ketenangan.

Al-Khushumah adalah sumber kejelekan, demikian pula jidal dan mira’, maka seharusnya dia tidak membuka pintu al-Khushumah, kecuali untuk keadaan darurat yang mesti dibuka, sehingga dengan demikian dia dapat menjaga lisan dan hatinya dari kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh al-Khushumah.

(1169) Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَفَى بِكَ إِثْمًا أَنْ لاَ تَزَالَ مُخَاصِمًا.

“Cukuplah bagi kamu berdosa dengan terus menerus bermusuhan.

(1170) Dan datang riwayat dari Ali radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

إِنَّ لِلْخُصُوْمَاتِ قُحَمًا.

“Sesungguhnya pertikaian itu memiliki dampak yang berbahaya.” Asy-Syafi’i meriwayatkannya secara mu’allaq dalam al-Um 3/233.

Saya berkata, “Al-Quham bermakna kebinasaan.”

Pasal: Dimakruhkan mengeluarkan suara dari kerongkongannya dengan rahang, dan memberatkan diri dalam membuat sajak dan kefasihan serta menciptakan mukadimah yang dibuat-buat yang biasa dilantunkan oleh orang-orang yang memaksakan diri untuk bisa fasih dan indah dalam perkataannya. Semua hal tersebut termasuk pembebanan diri yang tercela. Demikian pula pembebanan diri dalam melantunkan sajak, dan mencari kedetailan i’rab serta bahasa yang tidak lazim ketika mengajak bicara orang awam. Namun hendaklah memaksudkan dalam percakapannya dengan lafazh yang mudah dipahami oleh temannya dengan pemahaman yang zahir dan tidak memberatkannya.

(1171) Kami meriwayatkan dalam Kitab Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ الْبَلِيْغَ مِنَ الرِّجَالِ، الَّذِيْ يَتَخَلَّلُ بِلِسَانِهِ كَمَا تَتَخَلَّلُ الْبَقَرَةُ.

“Sesungguhnya Allah membenci laki-laki yang berbicara berlebih-lebihan yang memutar-mutar lisannya (untuk menampakkan kefasihannya) sebagaimana sapi yang memutar-mutar lisannya.

Hasan Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, no. 26288; Ahmad 2/165 dan 187; Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab al-Mutasyaddiq, 2/270, no. 5005; at-Tirmidzi, Kitab al-Adab, Bab al-Fashahah, 5/141, no. 2853; al-Khara`ithi dalam al-Masawi`, no. 61; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 9026; dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 4971 dan 4972: dari beberapa jalur, dari Nafi’ bin Umar, dari Bisyr bin Ashim bin Sufyan, dari ayahnya, dari Ibnu Amr dengan hadits tersebut. Dan sanad ini hasan, semua perawinya berderajat tsiqah, kecuali Ashim Abu Bisyr, Ibnu Hibban telah mentsiqahkannya dan jamaah telah meriwayatkan darinya. Akan tetapi dia mempunyai syahid shahih dari hadits Watsilah pada ath-Thabrani 22/70, no. 170; dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 4973, dengab lafazhnya. Maka hadits ini shahih dengan adanya syahid ini, at-Tirmidzi telah menghasankannya, al-Mundziri dan an-Nawawi telah menyepa-katinya, dan al-Albani telah menshahihkannya.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”

(1172) Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, Kitab al-Ilm, Bab Halaka al-Mutanaththi’un, 4/2055, no. 2670. dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ، قَالَهَا ثَلاَثًا.

“Celakalah orang yang berlebih-lebihan.” Beliau mengucapkannya tiga kali.

Para ulama berkata, “Al-Mutanaththi’un bermakna, memberatkan diri lagi berlebih-lebihan dalam segala perkara.”

(1173) Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, dari Jabir radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّيْ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا، وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُوْنَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ وَالْمُتَفَيْهِقُوْنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُوْنَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ، فَمَا الْمُتَفَيْهِقُوْنَ؟ قَالَ: اَلْمُتَكَبِّرُوْنَ.

“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat denganku tempat duduknya denganku pada Hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada Hari Kiamat adalah orang yang paling banyak berbicara omong kosong (ats-Tsartsarun), yang berbicara penuh menampakkan kefasihan tanpa hati-hati (al-Mutasyaddiqun), yang berbicara melebarkan pembicaraan dengan membuka mulutnya (al-Mutafaihiqun).” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kami telah memahami maksud ats-Tsartsarun dan al-Mutasyaddiqun, lalu apa makna al-Mutafaihiqun?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang sombong.”

Hasan Shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Kitab al-Bir, Bab Ma’ali al-Akhlaq, 4/370, no. 2018; al-Kharaithi dalam al-Masawi`, no. 63; dan al-Khathib dalam at-Tarikh 4/63: dari jalur Hibban bin Hilal, Mubarak bin Fadhalah telah menceritakan kepada kami, Abdu Rabih bin Sa’id telah menceritakan kepadaku, dari Muhammad bin al-Munkadir, dari Jabir dengan hadits tersebut.

Sanad ini hasan disebabkan Mubarak bin Fadhalah, dia adalah shaduq, melakukan tadlis (syuyukh) dan tadlis taswiyah, akan tetapi dia menegaskan dengan sighat tahdits (fulan telah menceritakan kepadaku), kemudian jika memang dia memaksudkan tadlis, maka dia akan menggugurkan syaikhnya, dan dia melakukan ‘an’anah dari Ibnu al-Munkadir, dan dia termasuk salah satu syaikhnya. Kemudian sisa sanadnya adalah para perawi tsiqah termasuk para perawi al-Bukhari dan Muslim yang periwayatan sebagian dari mereka masyhur terhadap sebagian lainnya. Oleh karena itu, at-Tirmidzi menyatakannya hasan. Al-Mundziri, an-Nawawi, dan al-Albani menyetujuinya. Dia memiliki beberapa syahid dari hadits Abu Hurairah pada Ahmad dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam ash-Shaghir, dan lainnya dari hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani pada Ahmad dan Ibnu Hibban. Ketiga dari hadits Ibnu Mas’ud pada al-Bazzar dan ath-Thabrani. Keempat dari hadits Ibnu Amru pada Ahmad dan Ibnu Hibban. Sebagian besar tidak terlepas dari kelemahan, akan tetapi tidak diragukan bahwa hadits tersebut menjadi shahih dengan syawahid tersebut.

At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits hasan.

Dia berkata, “ats-Tsartsar” bermakna banyak bicara, dan al-Mutasyaddiq bermakna orang yang memanjangkan perkataan kepada manusia dan tidak sopan terhadap mereka.

Ketahuilah, bahwasanya memperindah perkataan dalam khutbah dan nasihat tidak termasuk hal yang tercela apabila di dalamnya tidak ada perkataan yang melampaui batas dan aneh, karena tujuannya adalah mengobarkan semangat dalam dada menuju kepada ketaatan kepada Allah Tabaroka Wa ta’ala, dan karena lafazh yang baik dalam hal ini memiliki pengaruh yang kuat.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta.