Sekilas tentang Shalat Ghaib

Shalat Ghaib, adalah shalat yang diperuntukkan terhadap seseorang yang telah wafat dan jasadnya tidak berada di tempat di mana dia dapat dishalatkan, semisal seseorang telah wafat atau meninggal di suatu tempat tertentu, dan penduduk daerah lain ingin menshalatkannya, namun pada saat akan dishalatkan jasadnya tidak ada di hadapan mereka.

Para ulama’ sejak dahulu hingga sekarang berselisih pendapat dalam masalah ini, dan ada empat pendapat yang berbeda di kalangan mereka.

Pendapat Pertama:
Shalat ghaib terhadap janazah tidak disyari’atkan. Dengan demikian seseorang yang telah wafat tidak boleh dishalatkan kecuali janazahnya ada, atau dishalatkan di atas kuburnya –secara rinci dibahas dalam permasalahan hukum shalat di atas kubur-.

Golongan ini mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Rasulullah manakala menyolatkan an-Najasyiy adalah merupakan kekhususan beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Di antara madzhab yang berpendapat demikian adalah Abu Hanifah, Malik, dan sebuah riwayat yang disandarkan kepada Imam Ahmad.

Pendapat Kedua:
Shalat ghaib terhadap janazah disyari’atkan secara muthlak, baik janazah tersebut telah dishalatkan di negerinya di mana dia meninggal atau tidak. Di antara madzhab yang berpendapat demikian adalah Imam asy-Syafi’i, dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad. Mereka beralasan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah manakala menyolati an-Najasyiy.

Pendapat Ketiga:
Shalat ghaib terhadap janazah tidak disyari’atkan kecuali terhadap seseorang yang telah wafat dan belum dishalatkan, sehingga harus dishalatkan shalat ghaib terhadapnya. Dan ini adalah pendapat Imam Ahmad (Zaadul Ma’ad, 1/521 dan al-Inshaf, 2/533, al-Mawardi dan dia berkata: “Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Taqiyuddin, Ibnu Abdul Qawiy. Dan pendapai ini pula yang dipilih oleh Ibnu al-Qayyim sebagaimana yang termaktub di dalam kitabnya Zaadul Ma’ad” )

Pendapat Keempat:
Shalat ghaib tidak disyari’atkan terhadap setiap orang, melainkan hanya disyari’atkan terhadap seseorang yang shalih atau memiliki kedudukan dan semisalnya.
Dan pendapat ini bersumber dari Imam Ahmad juga, dia berkata: “Jika telah wafat seseorang yang shalih, maka dishalatkan ghaib terhadapnya” (al-Ikhtiyaraat, Abu al-Abbas Ibnu Taimiyah, hal. 130)

Sebagian ulama sekarang ada yang memilih pendapat ini, di antara mereka adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz, beliau berkata di dalam Majmu’ al-Fatawanya 13/159: “Jika yang wafat adalah seorang pemimpin yang bijaksana dan baik, maka penguasa pada saat itu boleh menyolatkan shalat ghaib terhadapnya dan dia diperintahkan untuk menyolatkannya…..demikian juga terhadap ulama’ yang menegakkan kebenaran dan para da’i yang mengajak kebada kebaikan/petunjuk maka mereka disholatkan shalat ghaib. Maka yang demikian merupakan perkara yang baik sebagaiman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menyolatkan an-Najasyiy. Adapun orang per orang di antara manusia, maka tidak disyari’atkan shalat ghaib terhadap mereka. Hal ini dikarenakan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyolatkan setiap orang yang wafat dengan shalat ghaib melainkan beliau hanya menyolatkan seorang yaitu an-Najasyiy; karena dia baru masuk Islam, melindungi orang-orang yang hijrah ke al-Habasyah dari kalangan Sahabat. Dia telah melindungi, menolong, memberikan perlindungan dan berlaku baik terhadap mereka. Dan pada saat itu mempunyai peran yang mulia dalam Islam. Oleh karenanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyolatkan shalat ghaib manakala dia wafat, demikian juga para Sahabat menyolatkannya bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa memiliki keutamaan seperti an-Najasyiy dan dia telah masuk Islam, maka dia shalatkan shalat ghaib.”

Adapun pendapat yang paling kuat di antara pendapat di atas adalah pendapat golongan yang ketiga berdasarkan dalil bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyolatkan shalat ghaib terhadap seseorang kecuali an-Najasyiy; dan tidak ada seorangpun yang menyolatkan shalat ghaib terhadapnya, padahal di telah meninggal di kalangan orang-orang kafir padahal shalat ghaib hukumnya fardhu kifayah. Maka dengan demikian shalat ghaib terhadanya merupakan keharusan.

Namun terhadap seseorang yang telah dishalatkan, maka tidak disyari’atkan shalat ghaib terhadapnya. Dan yang menguatkan hal ini bahwa para pembesar Sahabat, dan di antaranya empat imam Khulafa’ ar-Rasyidin –semoga Allah Ta’ala meridhai mereka- tidak ada yang dishalatkan shalat ghaib di dunia Islam manakala mereka wafat. Wallahu a’lam.