Di antara hal yang sering diperbincangkan di masyarakat adalah masalah khitan bagi wanita, apa hukumnya? Berikut penjelasan yang mudah-mudahan bermanfa’at bagi kita semua.

Definisi Khitan

Di dalam kamus bahasa Arab terkenal ‘Lisan al-‘Arab’ (materi: Khatana) dinyatakan, kata Khitan berasal dari kata kerja Khatana al-ghulama wa al-jariyata, yakhtinuhuma, khitnan. Bentuk Ism (Kata benda)-nya adalah Khitan dan Khitanah. Seorang yang dikhitan (disunat) disebut makhtun. Ada yang mengatakan, al-khatnu untuk laki-laki sedangkan untuk wanita disebut al-khafdhu. Sedangkan kata khatiin artinya orang yang dikhitan, baik laki-laki mau pun wanita. Abu Manshur mengatakan, “Khitan adalah letak pemotongan dari kelamin laki-laki maupun wanita.” Dalam hal ini, terdapat hadits masyhur yang berbunyi, (artinya) “Bila dua khitan (alat kelamin laki-laki dan wanita) telah bertemu, maka telah wajiblah mandi.”

Imam An-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim (I: 543) berkata, “Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutup ujung dzakar hingga terbuka semua ujungnya tersebut. Sedangkan bagi wanita adalah memotong sedikit bagian dari kulit yang di atas farji.”

Al-Hafizh Ibn Hajar di dalam kitabnya Fath Al-Bari (X: 340) berkata, “Al-Khitan adalah bentuk mashdar dari kata kerja Khatana, yaitu Qatha’a (memotong). Sedangkan Al-Khatnu adalah memotong sebagian tertentu dari anggota tertentu.”

Al-Hafizh Ibn Hajar juga ber-kata, “Imam an-Nawawi berkata, “Khitan bagi laki-laki dinamakan I’dzar sedangkan bagi wanita dinamakan Khafdh.” Abu Syammah berkata, “Menurut ahli bahasa, untuk sebutan semua (bagi laki-laki dan wanita) digunakan I’dzar sedangkan Khafdh khusus bagi wanita.”

Hadits-Hadits tentang Khitan Wanita

1. Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Aku mendengar Nabi bersabda, ‘Fitrah itu ada lima; khitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.” (HR.Imam Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibn Majah)

Hadits ini sering dimuat dalam penjelasan mengenai khitan bagi wanita namun untuk dijadikan sebagai dalil khusus bagi khitan wanita tidak menyatakan secara terang-terangan dan gamblang, kecuali dari sisi makna umum yang dikandungnya bilamana diga-bungkan dengan hadits lainnya, “Sesungguhnya kaum wanita adalah sekandung kaum laki-laki.”

Sedangkan hadits-hadits yang khusus menyinggung tentang khitan wanita, semuanya tidak terlepas dari sorotan dan cacat. Di antaranya:

2. Hadits yang dikeluarkan Abu Daud dari Ummu ‘Athiyyah, bahwasanya seorang wanita berkhitan di Madinah, lantas Nabi berkata kepadanya, “Janganlah engkau bebani dirimu sebab hal itu lebih menguntungkan wanita dan lebih dicintai suami.” Namun pada isnad hadits ini terdapat Muhammad bin Hassan. Abu Daud berkata, “Seorang Majhul (tidak dikenal identitasnya).” Ia juga berkata, “Ia meriwayatkan hadits Mursal.” Beliau kemudian melemahkan hadits ini.

3. Terdapat pendukung lain untuk hadits Ummu ‘Athiyyah di atas yang dimuat oleh al-Khatib al-Baghdadi (V: 327) dari jalur Muhammad bin Sallam al-Jumahi, dari Ummu ‘Athiyyah tetapi di dalam isnadnya terdapat Za’idah bin Abi ar-Raqqad, seorang periwayat hadits Munkar sebagaimana dikata-kan al-Hafizh Ibn Hajar di dalam kitabnya Taqrib at-Tahdzib.

4. Mengomentari ucapan Abu Daud terhadap hadits Ummu ‘Athiyyah, “Ia meriwayatkan hadits Mursal”; pengarang buku ‘Aun al-Ma’bud, syarah Sunan Abi Daud berkata, “Demikian juga diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak, ath-Thabarani, Abu Nu’aim dan al-Baihaqi dari Abdul Malik bin Umair, dari adh-Dhahhak bin Qais, “Di Madinah terdapat seorang wanita yang dikenal dengan Ummu ‘Athiyyah, lalu Rasulullah berkata kepadanya,…” (lalu menyebutkan teks hadits Ummu ‘Athiyyah di atas).” Kemudian Syaikh al-Mubarakfuri, pengarang ‘Aun al-Ma’bud menyebutkan bahwa hadits tersebut memiliki dua jalur lainnya, salah satunya diriwayatkan Ibn ‘Adiy, dari hadits Salim bin Abdullah bin Umar secara Marfu’. Jalur lainnya diriwayatkan al-Bazzar, dari hadits Nafi’ bin Abdullah bin Umar secara Marfu’ akan tetapi di dalam isnadnya (yaitu lafazh al-Bazzar) terdapat Mandal bin Ali, seorang periwayat lemah. Sedangkan dalam isnad Ibn ‘Adiy terdapat Khalid bin Amr al-Qurasyi, seorang periwayat yang lebih lemah dari Mandal.

5. Kemudian pengarang kitab ‘Aun al-Ma’bud mengomentari, “Dan hadits tentang khitan wanita diriwayatkan dari banyak jalur yang semuanya adalah Dha’if (lemah) dan cacat, tidak boleh berhujjah dengannya.!”

6. Seperti yang dinukil dari Ibn ‘Abd al-Barr, ia berkata, “Tidak terdapat Khabar (hadits) yang dapat dijadi-kan acuan dalam masalah khitan (wanita) dan tidak pula terdapat sunnah yang layak diikuti.”

7. Hadits lainnya adalah hadits Usamah al-Hadzali, ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Khitan itu adalah sunnah bagi kaum laki-laki dan kehormatan bagi kaum wanita,’ namun ini adalah hadits lemah sebab ia dimuat di dalam Musnad Ahmad (V:75) di mana berasal dari jalur Hajjaj bin Artha’ah yang merupakan periwayat lemah dan seorang yang dikenal sebagai Mudallis.

8. Ibn Hajar di dalam Fath al-Bari (X: 341) menyebutkan beberapa Syawahid (hadits-hadits pen-dukung), di antaranya hadits Sa’id bin Bisyr, dari Qatadah, dari Jabir, dari Ibn ‘Abbas. Namun tentang periwayat bernama Sa’id masih diperselisihkan. Abu asy-Syaikh juga meriwayatkan hadits Ibn ‘Abbas itu dari jalur lain. Demikian pula, al-Baihaqi mengeluarkannya juga dari hadits Abu Ayyub al-Anshari.

Menurut Syaikh Musthafa al-‘Adawi, setiap jalur periwayatan hadits-hadits tersebut tidak terlepas dari sorotan dan cacat.

9. Di dalam Musnad Ahmad (IV: 217) terdapat hadits dari jalur al-Hasan yang ketika ditanya mengenai sebab tidak datang ke acara khitanan, ia berkata, “Pada masa Rasulullah, kami tidak mendatangi acara khitanan.” Mengenai hadits ini, Ibn Hajar membantahnya dengan menyatakan bahwa ia berkenaan dengan khitan seorang budak wanita, sebagaimana juga terdapat dalam sebagian jalur yang diriwayat-kan Abu asy-Syaikh. Akan tetapi hadits ‘Utsman tersebut tidak valid karena di dalam isnadnya terdapat Muhammad bin Ishaq dan al-Hasan yang keduanya dikenal sebagai Mudallis. Dalam teks hadits terse-but, keduanya meriwayatkannya secara ‘An-‘anah (menggunakan lafazh:’An). Juga terdapat Abdullah bin Abi Thalhah bin Kuraiz yang menurut Ibn Hajar, “Maqbul.”

Pendapat Para Ulama Mengenai Masalah Khitan Wanita

Di antara pendapat-pendapat tersebut:

1. Imam an-Nawawi (Syarah Muslim, I: 543) berkata, “Khitan hukum-nya wajib menurut Imam asy-Syafi’i dan kebanyakan para ulama, sedangkan menurut Imam Malik dan para ulama yang lain adalah sunnah. Menurut Imam asy-Syafi’i, ia wajib bagi kaum laki-laki dan wanita juga.”

2. Ibn Qudamah berkata di dalam al-Mughni (I:85), “Ada pun khitan, maka ia wajib bagi kaum laki-laki dan kehormatan bagi kaum wanita. Ini merupakan pendapat banyak ulama…” Imam Ahmad berkata, “Bagi laki-laki lebih berat (ditekan-kan).” Kemudian beliau menyebut-kan alasannya sedangkan bagi wanita menurutnya lebih ringan. (al-Mughni, I: 85)

3. Ibn Taimiyah (Majmu’ al-Fatawa, XXI: 114) ketika ditanya tentang khitan wanita, beliau menjawab, “Alhamdulillah; Ya.! Wanita dikhitan dan caranya adalah dengan memotong bagian paling atas kulit yang dikenal dengan sebutan ‘Arf ad-Dik (jengger ayam jantan).” Kemudian beliau menyebutkan hadits mengenai hal itu (Hadits Usamah al-Hadzali di atas) akan tetapi hadis tersebut adalah lemah.

3. Ibn Hajar juga menukil pendapat Syaikh Abu Abdillah bin al-Hajj di dalam kitab al-Madkhal yang menyatakan adanya perbedaan terhadap khitan wanita di mana tidak dapat ditekankan secara umum, tetapi harus dibedakan antara wanita timur dan Arab. Lalu beliau menyebutkan alasan-alasannya.

Mengenai pendapat-pendapat di atas, Syaikh Musthafa al-‘Adawi mengatakan, “Alhasil, apa yang dipaparkan mengenai masalah khitan tersebut tidak terdapat dalil yang shahih dan Sharih (secara terang-terangan) yang mewajibkan wanita berkhitan. Karena itu, siapa di antara mereka yang melakukannya, maka itu adalah haknya dan bila tidak juga tidak ada masalah, Wallahu Ta’ala a’lam.”(Hafid M Chofie)

(SUMBER: Jami’ Ahkam an-Nisa’ karya Syaikh Mushthafa al-‘Adawi, juz I, hal.17-23)