Meletakkan hukum syariat yang berlaku bagi semua manusia dalam bidang ibadah, muamalah dan segenap urusan mereka, memutuskan persengketaan dan perseteruan di antara mereka adalah hak mutlak Allah Ta’ala sebagai pencipta manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (Al-A’raf: 59).

Sebagai pencipta, secara otomatis Allah mengetahui ciptaanNya, Allah mengetahui manusia sebagai hambaNya, apa yang baik dan apa yang buruk bagi mereka, sehingga Dia meletakkan tatanan dan aturan sebagai konsekuensi dari rububiyahNya dan manusia patut menerima tatanan dan aturan tersebut sebagai tuntutan dari penghambaan dan demi kemaslahatan mereka sendiri.

Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. Itulah Allah Tuhanku, kepadaNya lah aku bertawakkal dan kepadaNyalah aku kembali.” (Asy-Syura: 10).

Karena hak menetapkan syariat hanya di tangan Allah, maka tidak pantas bagi siapa pun untuk mengakui hak tersebut, baik dengan perkataannya atau dengan perbuatannya melalui peletakan undang-undang yang bertentangan dengan syariat Allah. Siapa yang melakukan hal itu maka dia telah mensejajarkan diri dengan Allah di bidang peletakan hukum syariat dan hal ini berarti penentangan yang nyata kepada Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala telah mengingkari hamba-hambaNya yang menjadikan selainNya sebagai peletak syariat, Dia berfirman, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (As-Syura: 21).

Dari sini maka tidak patut bagi seorang muslim menerima tatatan kehidupan selain apa yang telah ditetapkan oleh Allah, barangsiapa melakukan itu berarti dia telah menjadikan peletaknya sama dengan Allah di bidang tersebut.

Tatanan apa pun yang dianut dan undang-undang mana pun yang diterapkan, jika ia bukan tatanan dan undang-undang dari Allah maka ia adalah tatanan thaghut dan undang-undang jahiliyah. “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50).

Termasuk dalam pengakuan memiliki hak membuat syariat dan hukum adalah menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Ini adalah hak Allah secara mutlak juga dan tidak seorang pun berserikat dengan Allah di dalamnya. Maka barangsiapa berani menyatakan ini halal dan itu haram tanpa mempunyai ilmu dari Allah, berarti dia telah mengaku berserikat dengan Allah dalam hal tersebut.

Orang-orang Nasrani telah diingkari oleh Allah manakala mereka menaati ahli agama dan ahli ibadah mereka yang menghalalkan dan mengharamkan tanpa ilmu dari Allah, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selainNya. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31).

Rasulullah saw menafsirkan ayat di atas kepada Adi bin Hatim, “Bukankah mereka itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah lalu kalian mengikuti mereka?” Manakala Adi mengakui hal itu, Nabi saw bersabda, “Itulah ibadah kalian kepada mereka.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.

Menaati dalam menghalalkan atau mengharamkan sesuatu selain Allah merupakan sebuah bentuk ibadah yang hanya patut diberikan kepada Allah semata, manakala ia diberikan kepada selainNya berarti ia disekutukan dengan Allah, salah satu hak Allah telah dirampas dariNya dan diberikan kepada selainNya.

Tunduk kepada hukum Allah, menerima syariatNya dan kembali kepada kitabNya dan sunnah RasulNya manakala terjadi perselisihan dan persengketaan adalah salah satu konsekuensi beriman kepadaNya. Allah adalah Hakim dan hanya kepadanyalah hukum itu diserahkan dan dikembalikan. Dari sini maka pemimpin sebagai pelaksana hukum harus memutuskan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah, sementara rakyat sebagai obyek hukum berkewajiban meminta agar segala persoalan ditetapkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah.

Tentang hak pemimpin, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (An-Nisa`: 58). Menetapkan hukum dengan adil adalah menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah, karena ia merupakan keadilan, adapun selainnya maka ia adalah kezhaliman.

Tentang hak rakyat, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59).

Allah Ta’ala telah menetapkan kafir, zhalim dan fasik kepada siapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah. “Barangsiapa tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan oleh Allah maka dia adalah orang kafir.” (Al-Maidah: 44) “…Maka dia adalah orang yang zhalim.” (Al-Maidah: 45) “…Maka dia adalah orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47).

Menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah mencakup masalah-masalah ijtihadiyah yang diperselisihkan oleh para ulama, kita menerima pendapat mereka setelah memastikan kesesuaiannya dengan al-Qur`an dan sunnah tanpa fanatik buta kepada madzhab tertentu atau imam tertentu. Hal ini juga berlaku bagi kaum muslimin yang mengaku mengikuti madzhab tertentu atau imam tertentu, hendaknya mereka mengembalikan ijtihad madzhab atau imam kepada al-Qur`an dan sunnah, lalu apa yang sesuai atau dekat kepada keduanya diambil, sedangkan yang tidak sesuai atau jauh dari kedua ditolak. Hal ini semata-mata sebagai bentuk kesiapan untuk kembali kepada hukum Allah dan hukum Rasulullah saw, yang pertama merupakan tuntutan la ilaha illallah dan yang kedua adalah tuntutan risalah Muhammad saw.

Dari Kitab Tauhid karya Dr. Shalih al-Fauzan Juz 3.