Pasal: Dimakruhkan bagi orang yang shalat Isya akhir untuk berbincang-bincang dengan pembicaraan yang mubah pada selain waktu ini, maksud mubah adalah sesuatu yang mana dalam melakukan dan meninggalkannya, hukumnya sama.

Adapun pembicaraan yang diharamkan atau dimakruhkan pada selain waktu ini, maka ia pada waktu ini adalah lebih haram dan lebih dibenci. Sedangkan pembicaraan dalam kebaikan seperti mengulang kembali ilmu, cerita orang-orang shalih dan akhlak yang mulia, serta pembicaraan dengan tamu, maka tidak ada kemakruhan di dalamnya, bahkan ia mustahab (dianjurkan). Dan hadits-hadits shahih telah saling mendukung dengannya.

Demikian pula dengan pembicaraan karena suatu udzur dan perkara yang muncul tiba-tiba, maka tidak mengapa untuk membahasnya. Dan hadits-hadits tentang perkara yang saya sebutkan adalah telah masyhur, dan saya akan mengisyaratkan sebagiannya dengan ringkas, dan memberikan petunjuk kepada banyak hadits, di antaranya adalah,

(1174) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Barzah radiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا.

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membenci tidur sebelum Isya’ dan bercakap-cakap setelahnya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab Mawaqit ash-Shalah, Bab Waqt al-Ashr, 2/26, no. 547; dan Muslim, Kitab al-Masajid, Bab Istihbab at-Takbir bi ash-Shubhi, 1/447, no. 647.

Sedangkan hadits-hadits yang memberikan kelonggaran dalam pembicaraan berdasarkan perkara-perkara yang telah saya sebutkan adalah banyak, di antaranya:

(1175) Di antaranya hadits Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu dalam ash-Shahihain,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلَّى الْعِشَاءَ فِي آخِرِ حَيَاتِهِ، فَلَمَّا سَلَّمَ، قَامَ فَقَالَ: أَرَأَيْتَكُمْ لَيْلَتَكُمْ هذِهِ، فَإِنَّ عَلَى رَأْسِ مِائَةِ سَنَةٍ لاَ يَبْقَى مِمَّنْ هُوَ عَلَى ظَهْرِ اْلأَرْضِ اْليَوْمَ أَحَدٌ.
[/r

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Isya pada akhir hayatnya, ketika beliau salam maka beliau berdiri seraya bersabda, ‘Tidakkah kalian lihat pada malam kalian ini, sesungguhnya di akhir abad ini tidak ada seorang pun yang tersisa di muka bumi pada hari ini’.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Ilm , Bab as-Samr fi al-Ilm, 1/211, no. 116; dan Muslim, Kitab Fadha`il ash-Shahabah, Bab Qauluhu Shallallahu ‘alaihi wasallam : La Ta`i Mi`ah Sanah, 4/1965, no. 2537.

(1176) Dan di antaranya hadits Abu Musa al-Asy’ari radiyallahu ‘anhu dalam ash-Shahihain, Al-Bukhari, Kitab Mawaqit ash-Shalah, Bab Fadhlu al-Isya, 2/47, no. 567; dan Muslim, Kitab al-Masajid, Bab Waqt al-Isya, 1/443, no. 631.

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَعْتَمَ بِالصَّلاَةِ حَتَّى ابْهَارَّ اللَّيْلُ، ثُمَّ خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَصَلَّى بِهِمْ، فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ، قَالَ لِمَنْ حَضَرَهُ: عَلَى رِسْلِكُمْ أُعْلِمُكُمْ. وَأَبْشِرُوْا أَنَّ مِنْ نِعْمَةِ اللهِ عَلَيْكُمْ أَنَّهُ لَيْسَ مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ يُصَلِّي هذِهِ السَّاعَةَ غَيْرُكُمْ (أَوْ: قَالَ مَا صَلَّى أَحَدٌ هذِهِ السَّاعَةَ غَيْرُكُمْ).

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan shalat Isya hingga pertengahan malam, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar (ke masjid) lalu shalat bersama mereka. Setelah beliau menyelesaikan shalatnya, beliau bersabda kepada orang yang menghadirinya, ‘Pelan-pelanlah, saya akan memberitahukan kepada kalian, bergembiralah bahwa di antara nikmat Allah terhadap kalian adalah, bahwa tidak ada seorang manusia pun yang shalat pada waktu ini selain kalian.’ (atau beliau bersabda, ‘Tidak ada seorang pun yang shalat pada waktu ini selain kalian)’.” اِبْهَارَّ اللَّيْلُ bermakna, telah berlalu setengah malam atau dekat darinya. عَلَى رِسْلِكُمْ maksudnya, tunggulah dan tetaplah di tempat kalian.

(1177) Dan di antaranya, hadits Anas dalam Shahih al-Bukhari, Al-Bukhari tidak sendirian dalam meriwayatkan hadits ini, bahkan dia meriwayatkannya dalam Kitab Mawaqit ash-Shalah, Bab Waqt al-Isya Ila an-Nishfi al-Lail, 2/51, no. 572; dan Muslim, Kitab al-Masajid, Bab Waqt al-Isya, 1/443, no. 640.

أَنَّهُمُ انْتَظَرُوا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ، فَجَاءَ هُمْ قَرِيْبًا مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ، فَصَلَّى بِهِمْ (يَعْنِي اْلِعشَاءَ). قَالَ: ثُمَّ خَطَبَنَا، فَقَالَ: أَلاَ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا ثُمَّ رَقَدُوْا، وَإِنَّكُمْ لَنْ تَزَالُوْا فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُ الصَّلاَةَ.

“Bahwasanya mereka menunggu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau mendatangi mereka ketika dekat pertengahan malam, lalu beliau shalat bersama mereka (maksudnya shalat Isya’).” Perawi berkata, “Kemudian beliau berkhuthbah di hadapan kami, ‘Ketahuilah bahwa manusia telah shalat kemudian tidur, dan kalian senantiasa berada dalam shalat selama kalian menunggu waktu shalat tersebut’.”

(1178) Dan di antaranya hadits Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu, ketika dia menginap di rumah bibinya, Maimunah binti al-Harits, dia berkata,

إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم صَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ دَخَلَ فَحَدَّثَ أَهْلَهُ. وَقَوْلُهُ: نَامَ الْغُلَيِّمُ؟

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Isya’ kemudian masuk (rumah) lalu berbincang-bincang dengan keluarganya, dan bertanya, ‘Apakah anak kecil tersebut (maksudnya Ibnu Abbas pent.) sudah tidur?'” Hadits ini telah dikemukakan secara berulang-ulang, lihat no. 81.

(1179) Dan di antaranya hadits Abdurrahman bin Abu Bakar radiyallahu ‘anhu dalam kisah para tamunya dan tertahannya dia dari mereka, sampai dia shalat Isya, kemudian datang, dan berbicara kepada mereka, berbicara kepada istri dan anaknya, dan perkataan mereka berulang-ulang. Hadits ini telah dikemukakan secara berulang-ulang, lihat no. 886.

Kedua hadits ini terdapat dalam ash-Shahihain, dan hadits yang semisalnya banyak sekali, tidak terbatas, namun yang telah kami kemukakan sudahlah cukup. Dan milik Allahlah segala puji.

Pasal: Dimakruhkan menamakan akhir waktu Isya dengan “al-Atamah”, berdasarkan hadits-hadits shahih tentangnya.

Penulis rahimahullah tidak mengeluarkan suatu dalil pun, dan saya sebutkan di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab al-Masajid, Bab Waqt al-Isya’, 1/445, no. 644, dari Ibnu Umar, saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَغْلِبَنَّكُمُ اْلأَعْرَابُ عَلَى اسْمِ صَلاَتِكُمْ، أَلاَ إِنَّهَا الْعِشَاءُ وَهُمْ يُعْتِمُوْنَ بِاْلإِبِلِ.

“Janganlah orang-orang Badui mengalahkanmu dalam memberikan nama shalatmu. Ketahuilah, ia adalah shalat Isya, sedangkan mereka sedang menerjang malam untuk memerah susu unta.

Dan dimakruhkan juga menamakan waktu Maghrib dengan Isya.

(1180) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, Kitab Mawaqit ash-Shalah, Bab Man Karaha An Yuqala Li al-Maghrib al-Isya, 2/43, no. 563. dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzani radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَغْلِبَنَّكُمُ اْلأَعْرَابُ عَلَى اسْمِ صَلاَتِكُمُ الْمَغْرِبِ. قَالَ: وَيَقُوْلُ اْلأَعْرَابُ: اَلْعِشَاءُ.

‘Janganlah kaum Badui mengalahkanmu untuk menamakan shalat Maghribmu. Perawi berkata, ‘Kaum Badui menyebutnya sebagai shalat Isya’.”

(1181) Adapun hadits yang datang tentang penamaan waktu Isya dengan “al-Atamah“, adalah sebagaimana hadits,

لَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصُّبْحِ وَالْعَتَمَةِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا.

“Sekiranya mereka mengetahui pahala shalat Shubuh dan Atamah (Isya), niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Adzan, Bab at-Tahjir Ila azh-Zhuhri, 2/139, no. 654; dan Muslim, Kitab ash-Shalah, Bab Taswiyah ash-Shufuf, 1/325, no. 437.

Maka jawaban tentang hal itu ada dua: pertama, bahwasanya dia berkedudukan sebagai penjelas, karena larangan tersebut bukan untuk pengharaman, namun untuk hukum makruh. Kedua, bahwa yang diberi berita dengannya adalah orang yang takut rancu dalam memahami maksudnya, kalau ia dinamakan Isya.

Sedangkan penamaan waktu Shubuh dengan Ghadah, maka tidak ada kemakruhan padanya menurut madzhab yang shahih, dan telah banyak hadits-hadits shahih tentang pemakaian kata Ghadah. Sekelompok sahabat kami menyebutkan kemakruhannya dalam hal tersebut, namun itu bukanlah apa-apa.

Dan tidak mengapa menyebut waktu Maghrib dan Isya dengan sebutan Isya`ain (dua Isya).

(1182) Tidaklah mengapa mengatakan “Isya akhir”, dan apa yang dinukilkan oleh al-Ashma’i bahwasanya dia berkata, “Janganlah mengatakan ‘Isya akhir’.” Hal itu merupakan kekeliruan yang nyata, karena telah ditetapkan dalam Shahih Muslim, Kitab ash-Shalah, Bab Khuruj an-Nisa` Ila al-Masajid, 1/328, no. 444.
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا، فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ اْلآخِرَةَ.

“Wanita mana pun yang memakai parfum, maka janganlah dia menghadiri shalat Isya akhir bersama kami.

Dalam hal ini, telah tsabit juga perkataan banyak orang dari kalangan sahabat dalam ash-Shahihain dan selain keduanya. Dan saya telah menjelaskan semuanya dengan syawahidnya dalam Tahdzib al-Asma` wa al-Lughat. Hanya kepada Allahlah kita memohon taufik.

Pasal: Di antara lafazh yang dilarang adalah membeberkan rahasia. Hadits-hadits tentangnya sangat banyak, dan hukumnya haram apabila di dalamnya terdapat bahaya dan kerusakan.

(1183) Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi, dari Jabir radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ بِالْحَدِيْثِ، ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ.

‘Apabila seorang laki-laki menceritakan suatu cerita, kemudian dia menoleh (kanan kiri karena berhati-hati agar orang lain tidak mendengar) maka pembicaraan tersebut merupakan amanah‘.”

La ba`sa bihi: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, no. 25589; Ahmad 3/ 324, 352, 379, dan 394; Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab Naql al-Hadits, 2/683, no. 4868; at-Tirmidzi, Kitab al-Bir, Bab al-Majalis Amanah, 4/341, no. 1959; Abu Ya’la, no. 2212; ath-Thahawi dalam al-Musykil 4/335; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 2479: dari dua jalur sanad yang kuat, dari Abdurrahman bin Atha`, dari Abdul Malik bin Jabir bin Atik, dari Jabir dengan hadits tersebut.

At-Tirmidzi berkata, “Hasan, dan kami hanya mengetahuinya dari hadits Abu Dzi’b.” Al-Mundziri menukilnya dan berkata, “Dalam isnadnya terdapat Abdurrahman bin Atha` al-Madani, al-Bukhari mengatakan, ‘Dia mempunyai riwayat-riwayat yang munkar’, dan Abu Hatim ar-Razi mengatakan, ‘Dia adalah syaikh (perawi yang memiliki kelemahan)’.” Dalam suatu riwayat dikatakan kepadanya, ‘Apakah al-Bukhari memasukkannya ke dalam Kitab adh-Dhu’afa?” Dia menjawab, “Dia dipindahkan dari sana.” Dan al-Maushili berkata, ‘Riwayat Abdurrahman bin Atha` dari Abdul Malik bin Jabir tidak shahih’.” Saya berkata, Maka dari hal ini dapat disimpulkan menjadi dua perkara:

Pertama, Ibnu Abi Dzi’b sendirian dalam meriwayatkan hadits ini, akan tetapi pernyataan ini tidaklah diterima, karena ada mutaba’ah dari Sulaiman bin Bilal pada riwayat Ahmad, kemudian Ibnu Abi Dzi’b tidak memerlukan mutaba’ah, karena dia adalah perawi yang tsiqah tsabat dan termasuk para perawi al-Bukhari dan Muslim.

Kedua, menyatakan hadits ini berillat karena Abdurrahman bin Atha`, padahal dia tidaklah bercacat, namun perawi ini diperselisihkan, dan haditsnya adalah la ba`sa bihi. Maka pernyataan hasan yang dilakukan oleh at-Tirmidzi untuk hadits ini adalah benar, dan diikuti oleh Al-Uqaili, al-Iraqi serta al-Albani. Kemudian saya mendapatkan jalur sanad yang lain bagi hadits ini pada riwayat ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 8339, akan tetapi ia adalah riwayat rusak yang berada di bawah tingkatan riwayat yang dianggap dan sanadnya penuh dengan para perawi yang dhaif dan matruk. Maka yang bisa dirujuk adalah jalur pertama semata.

At-Tirmidzi berkata,“Hadits hasan.”

Pasal: Dimakruhkan bertanya kepada seorang suami tentang sebab dia memukul istrinya tanpa keperluan apa pun.

(1184) Telah kami riwayatkan pada awal kitab ini, hadits-hadits shahih tentang sikap diam terhadap sesuatu yang tidak jelas maslahatnya dalam kitab menjaga lisan, Kami telah menyebutkan hadits shahih,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ.

“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah perbuatannya meninggalkan perkara yang tidak penting baginya.” Shahih: Telah dikemukakan takhrijnya secara terperinci pada no. 1067.

(1185) Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa`i dan Sunan Ibnu Majah, dari Umar bin al-Khaththab radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

لاَ يُسْأَلُ الرَّجُلُ فِيْمَ ضَرَبَ امْرَأَتَهُ.

“Janganlah seorang laki-laki ditanya tentang perbuatannya memukul istrinya (jika dia menjaga syarat dan batasannya, pent.).”

Dhaif: Diriwayatkan oleh ath-Thayalisi, hal. 10; Ahmad 1/20; Abd bin Humaid, no. 37 Muntakhab; Ibnu Majah, Kitab an-Nikah, Bab Dharb an-Nisa` 1/639, no. 1986; Abu Dawud, Kitab an-Nikah, Bab Dharb an-Nisa` 1/652, no. 2147; an-Nasa`i dalam al-Kubra, no. 10407 Tuhfah; al-Hakim 4/175; dan al-Baihaqi 7/305: dari Jalur Dawud bin Abdullah al-Audi, dari Abdurrahman al-Maslami, dari al-Asy’ats bin Qais, dari Umar dengan hadits tersebut.

Al-Hakim menshahihkannya serta Adz-Dzahabi menyetujuinya! Namun yang sebenarnya tidaklah demikian, karena Abdurrahman adalah majhul. Adz-Dzahabi berkata sendiri tentangnya, “Dia tidak dikenal kecuali dengan hadits ini.” Dan sebagai tambahan untuk hal tersebut adalah bahwa dia telah didhaifkan oleh al-Azdi, lalu bagaimana mungkin hadits semisalnya dishahihkan? Adapun al-Asqalani, maka dia berkata, “Hadits ini diterima (maqbul)”, maksudnya, diterima dalam kapasitas mutaba’ah. Apabila tidak demikian, maka ia adalah layyin, dan inilah kondisi yang sebenarnya. Tentang kedhaifannya telah ditegaskan oleh Ahmad Syakir dan al-Albani.

Pasal:

(1186) Adapun tentang syair, maka kami telah meriwayatkan dalam Musnad Abi Ya’la al-Maushili dengan isnad yang hasan, dari Aisyah radiyallahu ‘anha, dia berkata,

سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الشِّعْرِ، فَقَالَ: هُوَ كَلاَمٌ حَسَنُهُ حَسَنٌ وَقَبِيْحُهُ قَبِيْحٌ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang syair, maka beliau menjawab, ‘Ia merupakan perkataan yang baiknya merupakan kebaikan, dan jeleknya merupakan kejelekan’.”

Hasan shahih: diriwayatkan oleh Abu Ya’la no. 4760, Abbad bin Musa al-Khuttali telah menceritakan kepada kami, Abdurrahman bin Tsabit telah menceritakan kepada kami: dari Hisyam, dari Ayahnya, dari Aisyah dengan hadits tersebut.

Mereka telah mengisyaratkan dalam sanad ini kepada dua illat :

Pertama, perkataan al-Haitsami 8/125, “Di dalam sanadnya terdapat Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban. Duhaim dan sejumlah jamaah menyatakannya tsiqah, sedangkan Ibnu Ma’in dan selainnya mendhaifkannya. Adapun perawi lainnya adalah perawi ash-Shahih.

Kedua, Bahwa al-Bukhari meriwayatkannya dalam al-Adab al-Mufrad, hal. 866: Sa’id bin Talid menceritakan kepada kami, Ibnu Wahab menceritakan kepada kami, Jabir bin Ismail dan selainnya menceritakan kepadaku, dari Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisyah dengan hadits tersebut secara mauquf. Ini adalah sanad hasan disebabkan adanya Jabir, dia memiliki jahalah. Al-Asqalani menerimanya dalam kapasitas mutaba’at, dan ia telah dimutaba’ah sebagaimana yang kamu lihat. Wa ba’du; Maka tidak ada sesuatu pun dari dua illat ini yang membuatnya tercela. Adapun Ibnu Tsauban, maka pendapat yang terpilih adalah bahwa haditsnya tidak turun dari derajat hasan. Sedangkan Khalaf di dalam hukum marfu’ dan mauquf, maka telah berlalu beberapa kali bahwa hukum di dalamnya adalah marfu’ selama ia adalah tambahan dari perawi tsiqah, dan ini merupakan tambahan darinya. Kemudian hadits tersebut telah diriwayatkan oleh ad-Daruquthni 4/155-156: suatu kali dari jalur Abdul Azhim bin Habib bin Raghban, dan dari jalur Abdurrahman bin Abdullah bin Umar pada kali yang lain, keduanya dari jalur Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah dengan hadits tersebut secara marfu’ Akan tetapi Abdul Azhim ini adalah dhaif di dalam kondisinya yang paling baik, sedangkan Abdurrahman adalah matruk muttaham (ditinggalkan riwayatnya dan tertuduh). Dan ia memiliki syahid dhaif dari hadits Ibnu Amr pada riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 865; Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath 7692; ad-Daruquthni 4/156. Dan syahid dhaif lainnya dari Abu Hurairah pada riwayat ad-Daruquthni 4/156. kesimpulannya bahwa hadits ini adalah shahih dengan terkumpulnya semua jalur dan syawahid tersebut. Al-Mundziri, an-Nawawi, dan al-Asqalani menghasankannya, sedangkan Al-Albani menshahihkannya.

Para ulama berkata, “Maknanya bahwa syair itu seperti prosa, akan tetapi berkonsentrasi kepadanya dan membatasi diri dengan aktivitasnya adalah merupakan perbuatan tercela.”

(1187) Dan hadits-hadits shahih telah menetapkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendengarkan syair.
Muslim meriwayatkan dalam Kitab asy-Syi’ru, 4/1767, no. 2255, dari hadits asy-Syarid bin Suwaid, dia berkata,

رَدِفْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمًا، فَقَالَ: هَلْ مَعَكَ مِنْ شِعْرِ أُمَيَّةَ بْنِ أَبِي الصَّلْتِ شَيْئًا؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: هِيهْ. فَأَنْشَدْتُهُ بَيْتًا. فَقَالَ: هِيهْ. ثُمَّ أَنْشَدْتُهُ بَيْتًا. فَقَالَ: هِيهْ. حَتَّى أَنْشَدْتُهُ مِائَةَ بَيْتٍ.

“Pada suatu hari saya berada dalam boncengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau bertanya, ‘Apakah kamu menghafal bait dari syair Umayyah bin Abi ash-Shalt?’ Saya menjawab, ‘Ya’ Beliau bersabda, ‘Lantunkanlah untukku satu bait,’ maka saya melantunkan satu bait. Beliau bersabda, ‘Tambahkanlah’. Kemudian saya menambahkannya satu bait. Beliau bersabda, ‘Tambahkanlah’. Sehingga saya melantunkan seratus bait untuknya.

(1188) Dan Rasulullah memerintahkan Hassan bin Tsabit untuk mencela orang-orang kafir (dengan syair). Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab Bad`u al-Khalqi, Bab Dzikr al-Malaikah, 6/304, no. 3213, dan Muslim, Kitab ash-Shahabah, Bab Fadha`il Hassan, 4/1933, no. 2486: dari hadits al-Bara` bin Azib.

(1189) Dan telah tetap (tsabit) bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ مِنَ الشِّعْرِ حِكْمَةً.

“Sesungguhnya di antara syair itu terdapat hikmah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Adab, Bab Ma Yajuzu Min asy-Syi’ri, 10/537, no. 6145: dari Ubay bin Ka’ab.

(1190) Dan telah tsabit juga bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا.

“Sungguh, perut salah seorang dari kalian penuh dengan nanah adalah lebih baik daripada penuh dengan syair.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Adab, Bab Ma Yukrah an Yakuna al-Ghalib ala al-Insan asy-Syi’r, 10/548, no. 6155, dan Muslim, Kitab asy-Syi’ru, 4/1769, no. 2257: dari hadits Abu Hurairah. Dan diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ibid., no. 6154, dari Hadits Abdullah bin Umar, dan diriwayatkan oleh Muslim, Ibid., no. 2258 dan 2259: dari hadits Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abu Sa’id al-Khudri secara tertib.

Dan semua itu sesuai dengan apa yang telah kami sebutkan.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta.