Allah subhanahu wata’ala adalah Dzat yang Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik-baik. Manusia dengan fithrahnya juga demikian, senantiasa menghendaki dan menginginkan yang baik. Jika kita -misalnya- merupakan salah seorang yang kebetulan diberi karunia oleh Allah dengan harta yang banyak (kaya), maka janganlah kita berpikiran bahwa selain kita (orang miskin) hanya berhak mendapatkan sesuatu yang sudah usang atau sesuatu yang sudah tidak berguna lagi. Sekali-kali jangan! Karena manusia pada dasarnya mempunyai perasaan yang sama. Jika seseorang tidak mau disakiti, maka yang lain pun demikian, jika kita tidak mau diberi sesuatu yang buruk, maka orang lain juga demikian, jika kita ingin diperlakukan dengan baik, maka orang lain juga demikian dan seterusnya.

Di antara kita mungkin pernah mendengar tentang seseorang atau suatu perusahaan yang memberikan bantuan kepada orang lain, baik orang miskin atau orang yang sedang terkena musibah dengan memberikan makanan atau kue yang sudah kedaluarsa (habis masa berlakunya), memberikan beras yang sudah berbau busuk, pakaian yang sudah tidak layak pakai, dan lain sebagainya.

Dalam kaca mata syari’at, hal ini merupakan perbuatan tercela dan bertentangan dengan makna infak itu sendiri. Sebab infak akan memiliki makna jika harta yang diinfakkan adalah sesuatu yang masih atau sangat berguna dan bermanfaat bagi si penerima. Dan yang ke dua, infak akan memiliki makna, jika si penginfak sendiri sebenarnya masih menganggap apa yang dia infakkan itu sebagai sesuatu yang berharga bagi dirinya. Sebab infak merupakan sebuah pengorbanan, yakni mengorbankan sesuatu yang kita cintai atau kita butuhkan agar dimanfaatkan oleh pihak lain yang lebih membutuhkan, semata-mata karena mengharap keridhaan Allah.

Bahkan tingkatan “birr” atau kebaikan yang hakiki tidak dapat diraih, kecuali dengan menginfakkan sebagian dari sesuatu yang kita cintai. Sebagaimana firman Allah , artinya,
”Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Imran: 92)

Merupakan tabiat manusia adalah mencintai sesuatu yang baik, dan enggan dengan segala sesuatu yang buruk. Maka jika kita enggan dengan yang buruk, janganlah memberikan yang buruk tersebut kepada orang lain.

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Surat Al-Baqarah: 267)

Apakah layak jika ada saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, kekurangan makanan, rumahnya rusak, kehilangan sanak kerabat dan harta, bahkan dia sendiri sedang sakit, lalu kita berikan kepadanya sesuatu yang sudah tidak berharga? Mari kita jawab bersama dengan hati nurani.

Jangan Ikuti Bisikan Syetan

Syetan merupakan musuh yang nyata bagi manusia, dan permusuhan tersebut tidak akan pernah berhenti hingga hari Kiamat. Dengan segala cara syetan menggoda anak cucu Adam agar mau mengikuti bisikannya. Syetan menyuruh manusia agar tidak menaati apa yang diperintahkan Allah subhanahu wata’ala dan melakukan apa yang Dia dilarang. Dia selalu menyuruh kemungkaran dan keburukan serta menghalangi manusia dari jalan kebaikan. Cara yang paling biasa digunakan syetan adalah dengan talbis atau tazyin (kamuflase). Yaitu membuat tipuan dengan cara menghisai keburukan, sehingga kelihatan baik serta menjadikan kebaikan sebagai sesuatu yang terlihat buruk.

Di antara contohnya adalah dalam hal infak di jalan Allah. Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan kita untuk menginfakkan segala sesuatu yang baik dan berharga supaya memberikan mafaat bagi pihak lain. Tetapi dengan kelicikannya, syetan menggoda kita agar menginfakkan sesuatu yang buruk, yang tidak berharga yang kita sendiri sudah enggan terhadapnya. Syetan menakut-nakuti manusia bahwa jika mereka menginfakkan sesuatu yang masih berguna dan berharga, maka akan menjadikan mereka melarat dan berkurang kekayaannya. Dan jika yang diberikan adalah sesuatu yang sudah tidak berguna, maka kekayaannya akan tetap utuh, sehingga terhindar dari kemelaratan. Inilah sebuah logika syetan yang kelihatannya masuk akal.

Di sinilah kita dituntut untuk mengambil sikap, sehingga akan diketahui antara orang mukmin yang kuat imannya dengan yang lemah imannya. Seorang mukmin yang sesungguhnya tidak akan terpengaruh dengan bujukan syetan. Mereka lebih percaya dengan janji Allah daripada mengikuti bisikan syetan atau ajakan hawa nafsunya. Mereka sadar sepenuhnya bahwa apa saja yang dia miliki tidak lain adalah karunia dari Allah subhanahu wata’ala. Jika mereka mampu melakukan usaha yang banyak menghasilkan uang, atau dengan kepandaiannya bisa meraih berbagai prestasi dan kenikmatan hidup, maka ia sadar bahwa yang telah memberikan kemampuan tersebut adalah Allah, bahkan Allah-lah yang telah memberikan kehidupan kepadanya. Maka dia tidak akan segan-segan memberikan yang terbaik untuk Allah subhanahu wata’ala Dzat yang Maha Baik, dengan cara berinfak.

Apalagi jika kita menyadari bahwa dengan memberikan yang baik, maka Allah akan memberikan ampunan dan karunia-Nya. Maka cukuplah janji Allah ini menjadi pendorong bagi setiap muslim untuk memberikan yang terbaik kepada orang lain. Sebab memberikan barang yang sudah tidak berguna kepada orang lain, sama halnya dengan membuang sampah dengan mengatasnamakan kebaikan (infak), sebuah tindakan yang Allah subhanahu wata’ala tentu Maha mengetahuinya.

Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Surat Al-Baqarah: 268)

Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang berakal. (Surat Al-Baqarah: 269)

Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolong pun baginya. (Surat Al-Baqarah: 270) [Khalif Muttaqin]