Nash-nash dari al-Kitab dan as-Sunnah saling mendukung pengharaman berbohong secara global, dan ia termasuk seburuk-buruknya dosa dan sekeji-kejinya aib. Ijma‘ umat telah terjadi atas keharamannya bersamaan dengan nash-nash yang saling mendukung. Maka tidak ada kepentingan untuk menukil secara terperinci satu persatu. Yang paling penting adalah penjelasan sesuatu yang dikecualikannya, dan peringatan terhadap pembahasan kedetailannya.

Dan cukuplah dalil-dalil untuk menjauhkan darinya, di antaranya:

(1195) Hadits yang disepakati keshahihannya, yaitu hadits yang kami riwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.

‘Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, apabila berkata dia dusta, apabila berjanji dia mengingkari, dan apabila diberi amanat dia khianat’.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Alamah al-Munafiq, 1/89, no. 33; dan Muslim, Kitab al-Iman, Bab Bayan Khishal al-Munafiq, 1/78, no. 59.

(1196) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Alamah al-Munafiq, 1/89, no. 34 dan Shahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab Bayan Khishal al-Munafiq, 1/78, no. 58. dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَرْبَعٌ، مَنْ كُنَّ فِيْهِ، كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ، كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا، إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ.

“Ada empat sifat, barangsiapa yang empat sifat tersebut berada padanya, maka dia adalah seorang munafik murni (maksudnya nifak amali). Barangsiapa yang salah satu dari empat perkara tersebut berada pada dirinya maka dalam dirinya terdapat karakter kemunafikan hingga dia meninggalkannya. Empat perkara tersebut adalah apabila diberi amanat berkhianat, apabila berbicara berdusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila bertikai, dia berlaku aniaya.”

Dan dalam riwayat Muslim, “Kalimat ‘Apabila berjanji ingkar’ menggantikan kalimat ‘apabila diberi amanat berkhianat‘.

Kana Munafiqan Khalishan bermakna nifak amali bukan nifak i’tiqadi yang mengeluarkan pelakunya dari agama. Dan hal tersebut karena sangat parahnya kemiripan perbuatannya dengan perbuatan kaum munafik. Kata “fajara” bermakna berbohong, berbuat aniaya dan berpaling dari kebenaran.”

(1197) Sedangkan pengecualian darinya, telah kami riwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ummu Kultsum radiyallahu ‘anha, bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِيْ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِيْ خَيْرًا أَوْ يَقُوْلُ خَيْرًا.

“Tidaklah dikatakan pendusta orang yang memperbaiki (pertikaian yang terjadi) di antara manusia sehingga timbullah kebaikan, atau mengucapkan perkataan yang baik.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab ash-Shulh, Bab Laisa al-Kadzib al-Ladzi Yushlihu Baina an-Nas, 5/299, no. 2692, dan Muslim, Kitab al-Bir, Bab Tahrim al-Kadzib, 4/2011, no. 2605.

Takaran hadits ini terdapat dalam ash-Shahihain, dan Muslim menambahkan pada riwayatnya,

قَالَتْ أُمُّ كُلْثُوْمٍ: وَلَمْ أَسْمَعْهُ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُوْلُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ، يَعْنِي: اَلْحَرْبُ، وَاْلإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَدِيْثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيْثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.

“Ummu Kultsum berkata, ‘Saya tidak pernah mendengar beliau memberikan keringanan pada sesuatu yang dikatakan oleh manusia sebagai kedustaan kecuali pada tiga perkara: kebohongan (maksudnya siasat) dalam perang, kebohongan untuk memperbaiki (pertikaian yang terjadi) di antara dua orang, dan kebohongan suami untuk (menyenangkan) istrinya, serta kebohongan istri untuk (menyenangkan) suaminya’.”

Ini adalah hadits yang jelas (sharih) dalam menjelaskan tentang kebolehan sebagian kebohongan dengan tujuan untuk kemaslahatan.

Para ulama telah menertibkan macam-macam kebohongan yang dibolehkan tersebut, dan sesuatu yang paling baik yang saya lihat dalam keakuratannya adalah apa yang disebutkan oleh al-Imam Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah seraya berkata, “Perkataan itu merupakan perantara menuju berbagai maksud, maka setiap maksud yang terpuji mungkin untuk dicapai dengan kejujuran dan kebohongan. Kebohongan di dalam perkataan tersebut adalah haram karena tidak adanya kebutuhan kepadanya. Dan apabila memungkinkan untuk menyampaikan perkataan tersebut dengan berbohong, serta tidak memungkinkan dengan kebenaran, maka kebohongan di dalamnya adalah mubah (diperbolehkan) apabila hasil dari maksud tersebut adalah mubah, dan hukumnya menjadi wajib apabila maksud tersebut adalah wajib.

Apabila seorang Muslim bersembunyi dari orang kafir, lalu dia menanyakannya, maka dia wajib berbohong untuk menyembunyikannya. Demikian pula kalau di sisinya atau di sisi selainnya ada titipan, lalu seorang yang zhalim menanyakannya dengan maksud mengambilnya, maka dia wajib berbohong untuk menyembunyikannya, hingga walaupun seseorang mengabarkan kepada orang zhalim tentang barang titipan di sisinya, lalu seorang yang zhalim mengambilnya secara paksa, maka dia wajib menjaminnya atas barang yang dititipkan dan dikabarkan tersebut. Apabila si zhalim memintanya untuk bersumpah atas barang tersebut, maka dia harus bersumpah dan bertauriyah (yakni: menyatakan sesuatu di luar dari yang dimaksudkan) dalam sumpahnya. Apabila dia bersumpah, namun tidak bertauriyah, maka dia telah membatalkan janjinya menurut pendapat yang shahih. Dalam riwayat lain dikatakan, “Dia tidak membatalkan”. Demikian pula apabila tujuannya adalah perang atau mendamaikan antara dua pihak yang bertikai, atau membuat condong hati salah satu pihak agar memaafkan tindakan kriminal yang hanya bisa dilakukan dengan berbohong, maka tindakan berbohong di sini tidaklah haram. Ini apabila tujuannya tidak bisa dicapai kecuali dengan berbohong.

Dan sikap berhati-hati dalam masalah ini adalah dengan bertauriyah. Dan makna tauriyah adalah dia memaksudkan sesuatu dalam ungkapannya secara shahih, dan dia bukan disebut pembohong dilihat dari penisbatannya kepadanya, walaupun secara zahir lafazhnya dia berbohong. Namun kalau dia tidak memaksudkan hal ini, akan tetapi memutlakkan ungkapan bohong, maka pada objek ini ia tidak haram.

Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Demikian pula segala sesuatu yang berkaitan dengan tujuan tertentu yang shahih untuknya atau untuk selainnya. Maka contoh yang shahih untuknya adalah apabila seorang yang zhalim akan menghukumnya atau menanyakannya tentang hartanya dengan tujuan untuk mengambilnya, maka dia berhak mengingkarinya. Atau seorang penguasa menanyakannya tentang perbuatan keji yang dilakukannya dalam hubungan antara dia dan Allah, maka dia berhak mengingkarinya, seraya berkata, ‘Saya tidak berzina, atau saya tidak minum khamar.’ Dan telah masyhur hadits-hadits tentang instruksi dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang yang mengaku suatu perbuatan melanggar syariat yang menyebabkan adanya hukuman had untuk mencabut kembali pengakuan mereka.

Adapun yang berkaitan dengan tujuan tertentu untuk orang lain, adalah seperti dia ditanya tentang rahasia saudaranya, lalu dia mengingkarinya, atau semisalnya. Dia harus menimbang antara kerusakan berbohong dengan kerusakan yang diakibatkan oleh kejujurannya. Apabila kerusakan dalam kejujuran adalah lebih berbahaya, maka dia boleh berbohong. Apabila sebaliknya, atau ragu-ragu, maka dia diharamkan berbohong. Ketika berbohong diperbolehkan, dan faktor yang membolehkannya adalah tujuan yang berkaitan dengan dirinya, maka dianjurkan untuk tidak berbohong. Namun apabila berkaitan dengan orang lain, maka tidak boleh untuk bertoleransi dengan hak orang lain. Maka yang perlu ditegaskan adalah meninggalkan tindakan dusta dalam setiap objek yang diperbolehkan, kecuali pada objek tertentu di mana dia wajib berbohong.

Dan ketahuilah bahwa madzhab Ahlus Sunnah menyatakan bahwa kebohongan itu adalah mengabarkan tentang sesuatu yang berseberangan dengan hakikatnya, sama saja apakah kamu menyengajanya atau kamu tidak mengetahuinya, hanya saja dalam ketidaktahuanmu, kamu tidaklah berdosa, akan tetapi yang berdosa adalah dalam kesengajaanmu.

(1198) Dalil para sahabat kami adalah ketetapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

“Barangsiapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.

Ini adalah salah satu hadits mutawatir yang diriwayatkan sejumlah besar kalangan sahabat radiyallahu ‘anhum. Lihatlah Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ilm, Bab Itsm Man Kadzaba ala an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, 1/199, no. 106-110, dan Shahih Muslim dalam al-Muqaddimah, Bab Taghlizh al-Kadzib ala ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam , 1/9, no. 1-4.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta.