Dan Larangan Membicarakan Semua Yang Didengar
Apabila Belum Tentu Kebenarannya

Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungja-wabannya.” (al-Isra: 36).

Dan Dia Subhanahu waTa`ala berfirman,

مَّايَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18).

Dan Dia Subhanahu waTa`ala berfirman,

إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ

“Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi.” (Al-Fajr: 14).

(1199) Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, Al-Muqaddimah Bab an-Nahyu an al-Hadits Bikulli Ma Sami’a, 1/10, no. 5: dari beberapa jalur, dari Syu’bah, dari Khubaib bin Abdurrahman, dari Hafsh bin Ashim, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut. Dan hadits ini sanadnya shahih berdasarkan syarat imam yang enam. Dari Hafsh bin Ashim seorang tabi’in yang agung, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ.

“Cukuplah kebohongan bagi seseorang yaitu dengan membicarakan segala kabar yang dia dengar.”

(1200) Diriwayatkan oleh Muslim dari dua jalur sanad, pertama, yang ini, dan Kedua, dari Hafsh bin Ashim, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam secara mursal, tidak menyebutkan Abu Hurairah.( Saya tidak menemukannya secara mursal dalam ash-Shahih, akan tetapi dia datang secara mursal pada riwayat Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, Bab at-Tasydid fi al-Kadzib, 2/716, no. 4992.) Maka yang utama adalah riwayat yang menetapkan Abu Hurairah, karena tambahan dari orang yang berderajat tsiqah dapat diterima. Dan ini adalah madzhab yang shahih, yang terpilih, yang dijadikan pedoman oleh Ahli fikih, Ushul, peneliti dari kalangan muhaddits; bahwa suatu hadits apabila diriwayatkan dari dua jalur, yang satu diriwayatkan secara mursal sedangkan yang satunya lagi diriwayatkan secara muttashil, maka yang diutamakan adalah yang muttashil, dan ia dihukumi dengan keshahihan hadits,( Maksudnya, ia adalah hadits shahih apabila sambungannya adalah ziyadah tsiqah (tambahan dari perawi tsiqah) sebagaimana yang dikatakannya.) dan boleh berhujjah dengannya dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum-hukum dan lainnya. Wallahu A’lam.

(1201) Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, Ibid., 1/11, Yahya bin Yahya telah menceritakan kepada kami, Husyaim telah mengabarkan kepada kami, dari Sulaiman at-Taimi, dari Abu Utsman an-Nahdi, Umar berkata dengan hadits tersebut. Dan Husyaim adalah perawi yang banyak mentadlis dan dia telah meriwayatkan hadits dengan cara an’anah, akan tetapi dia dimutaba’ah oleh Yazid bin Harun, dia seorang yang tsiqah mutqin dari kalangan perawi Kutub as-Sittah dari at-Taimi dengan hadits tersebut pada Ibnu Abi Syaibah, no. 25609. Maka atsarnya shahih.
dari Umar bin al-Khaththab radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

بِحَسْبِ الْمَرْءِ مِنَ الْكَذِبِ أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ.

“Cukuplah kebohongan bagi seseorang yaitu dengan membicarakan segala kabar yang dia dengar.”

(1202) Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu, hadits semisal ini. (Diriwayatkan oleh Muslim, Ibid., Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami, Abdurrahman telah menceritakan kepada kami, Sufyan telah menceritakan kepada kami, dari Abu Ishaq, dari Abu al-Ahwash, dari Ibnu Mas’ud dengan yang semisalnya.

Sanad ini shahih, dan riwayat Sufyan dari Abu Ishaq adalah kuat, selamat dari ikhtilath dan tadlis.

Dan atsar dalam bab ini banyak sekali.

(1203) Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dengan isnad yang shahih, dari Ibnu Mas’ud atau Hudzaifah bin al-Yaman, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بِئْسَ مَطِيَّةُ الرَّجُلِ زَعَمُوْا.

‘Sejelek-jelek kendaraan seseorang adalah menjadikan lafazh ‘mereka berpraduga’ (sebagai kendaraan menuju maksudnya)’.

Dhaif: Dan para ulama berselisih pendapat atas tiga jalur sanad:

Adapun jalur sanad pertama, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd, no. 377; Ibnu Abi Syaibah, no. 25782; Ahmad 4/119 dan 5/401; al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 762; Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab Qaulu ar-Rajul: Za’amu, 2/712, no. 4972; ath-Thahawi dalam al-Musykil 1/68, al-Qudha`i, no. 1334 dan 1336, dan al-Baghawi, no. 8892: dari beberapa jalur, dari al-Auza’i, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Qilabah al-Jarmi, dia berkata, “Abu Mas’ud berkata kepada Abu Abdullah atau Abu Abdullah berkata kepada Abu Mas’ud, maka dia menyebutkan haditsnya.” Para perawi sanad ini tsiqah, termasuk para perawi asy-Syaikhain, akan tetapi secara zahirnya terputus, terutama bahwa Abu Qilabah terkenal dengan banyak memursalkan kemudian dia mentadlis. Dan Abu Abdillah ini adalah Hudzaifah bin al-Yaman, sebagaimana secara jelas, hadits ini datang dalam riwayat Ahmad. Abu Dawud dan al-Qudha`i memastikannya. Ibnu Asakir al-Mundziri, al-Mizzi, dan adz-Dzahabi menyetujui keduanya. Al-Asqalani mengomentarinya dalam an-Nukat azh-Zhiraf, no. 3364-Tuhfah. As-Sakhawi memutaba’ahnya dalam al-Maqashid, no. 308 bahwasanya ia adalah selain Hudzaifah bin al-Yaman. Akan tetapi keduanya tidak menjelaskan siapa dia. Maka permasalahan hadits kembali kepada kedhaifan disebabkan kemajhulan Abu Abdullah ini.

Sedangkan jalur sanad kedua, yaitu yang diriwayatkan oleh al-Hasan bin sufyan dalam Musnadnya, no. 3364-an-Nukat azh-Zhiraf; ath-Thahawi dalam al-Musykil 1/68; Ibnu Mandah dalam al-Ma’rifah, no. 866-Shahihah, dan al-Qudha’i no. 1335: dari jalur al-Walid bin Muslim, al-Auza’i telah mengabarkan kepada kami, Yahya bin Abi Katsir telah menga-barkan kepada kami, Abu Qilabah telah mengabarkan kepada kami, Abu Abdillah telah mengabarkan kepada kami dengan hadits tersebut secara marfu’. As-Sakhawi dalam al-Maqashid, no. 308 berkata, “Dan sanadnya shahih bersambung dan selamat dari pentadlisan al-Walid dan tindakan tadlis taswiyahnya.

Al-Albani mengikutinya seraya berkata, “Ini adalah sanad shahih yang bersambung dengan penyampaian tahdits (kami menceritakan)!”

Saya berkata, Dan yang saya duga bahwa ia adalah kesalahan dari al-Walid, disebabkan oleh dua perkara:

Pertama, dia telah menyelisihi sejumlah perawi yang lebih tsiqah daripadanya, seperti Waki’ dan Ibnu al-Mubarak dan selainnya- dari sejumlah perawi yang meriwayatkan darinya dengan an’anah. Walaupun al-Walid tsiqah ketika menegaskan hadits dengan tahdits, namun mereka membicarakannya, hingga imam Ahmad berkata, “Ia mengalami ikhtilath (percampuran) tentang hadits yang dia dengar dan belum dia dengar.” Dia memiliki beberapa hadits munkar,

Kedua, bahwa periwayatan hadits dengan tahdits (periwayatan dengan lafazh menceritakan) di sini memastikan bahwa Abu Qilabah telah mendengar dari Hudzaifah! Akan tetapi para ulama seperti Ibnu Asakir, al-Mundziri, adz-Dzahabi, al-Asqalani, dan as-Sakhawi bersepakat menyelisihinya. Bahkan ilmu sejarah menyatakannya mustahil, karena jarak antara waktu wafat keduanya kurang lebih tujuh puluh tahun, kalau dia menjumpai Hudzaifah, niscaya dia mendengarkan selain hadits ini darinya, dan dia akan mendengarkan dari mayoritas sahabat. Faktanya, dia tidak menyatakan dengan jelas bahwa dia pernah mendengar darinya keculai dalam hadits ini, dan dia tidak mendengar kecuali dari sejumlah orang dari sahabat yang terakhir. Oleh karena itu adz-Dzahabi berkata dalam as-Siyar 4/468, “Dia tidak berjumpa dengannya”. Benar, apabila kita mengatakan bahwa Abu Abdullah ini bukan Hudzaifah, maka permasalahan yang sulit ini akan hilang. Akan tetapi kita akan kembali menyimpulkan kelemahan hadits ini disebabkan jahalah.

Sedangkan jalur sanad yang ketiga, yaitu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 763; al-Kha-ra`ithi dalam al-Masawi`, no. 679: dari jalur Yahya bin Abdul Azis al-Azdi, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Qilabah, dari Abu al-Muhallab, bahwa Abdullah bin Amir berkata, “Wahai Abu Mas’ud…dst. Dan Yahya bin Abdul Aziz ini adalah seorang yang zuhud, memiliki keutamaan, serta jamaah meriwayatkan darinya. Dan Abu Hatim berkata, “Haditsnya la ba’sa bihi “, maka orang semisalnya harus disifati dengan kejujuran, walaupun Ibnu Ma’in tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, as-Sakhawi berkata, “Para perawinya adalah tsiqah”. Maka sanadnya adalah hasan, la ba’sa bihi. Kalau bukan karena dia menyelisihi al-Auza’i dari dua jalur: lalu dia menambahkan dalam sanad, lalu menyambungnya. Dan dia menjadikan Abdullah bin Amir pada posisi Abu Abdullah, maka yang seperti ini tidak mengandung kemungkinan dari semisalnya. Bahkan ia lebih dekat kepada munkar.

Wa ba’du. Maka kemungkinan-kemungkinan dalam hadits ini adalah banyak yang sampai pada derajat mudhtharib, dan yang paling kuat adalah jalur pertama dengan memastikan bahwa Abu Abdullah adalah Hudzaifah, namun ia munqathi’ sebagaimana yang telah lewat. Ibnu Asakir, al-Mundziri, dan adz-Dzahabi menyatakan hadits tersebut berillat dengan inqitha’. Al-Asqalani menyatakannya sesekali berillat dengan inqitha’, dan sesekali dengan adanya perselisihan padanya. As-Sakhawi menguatkannya. An-Nawawi dan al-Albani menshahihkannya.

Al-Imam Abu Sulaiman al-Khaththabi dalam hadits yang kami riwayatkan darinya dalam Ma’alim as-Sunan berkata, “Asal hadits ini adalah,

أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا أَرَادَ الظَّعْنَ فِي حَاجَةٍ وَالسَّيْرَ إِلَى بَلَدٍ، رَكِبَ مَطِيَّةً وَسَارَ حَتَّى يَبْلُغَ حَاجَتَهُ، فَشَبَّهَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مَا يُقَدِّمُ الرَّجُلُ أَمَامَ كَلاَمِهِ وَيَتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى حَاجَتِهِ مِنْ قَوْلِهِمْ زَعَمُوْا بِاْلمَطِيَّةِ.

‘Bahwasanya seorang laki-laki apabila ingin berangkat pergi untuk suatu keperluan dan ingin bepergian ke suatu negara, maka dia mengendarai kendaraan dan berjalan hingga mencapai tujuan yang diinginkannya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyerupakan lafazh ‘mereka berpraduga’ yang diungkapkan seorang laki-laki dan membuatnya sampai pada tujuan yang diinginkannya dengan permisalan ‘kendaraan’.”

Dan sesungguhnya dikatakan Za’amu dalam suatu perkataan yang tidak memiliki sanad dan tidak shahih, hanyalah sesuatu yang diceritakan melalui cara penyampaian. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencela hadits tersebut yang penyampaiannya melalui cara ini. Nabi memerintahkan untuk memberikan keakuratan dalam menceritakan dan memastikannya. Maka janganlah dia meriwayatkan hingga ia dapat dinisbatkan kepada sesuatu yang tetap (tsabit). Ini adalah perkataan al-Khaththabi. Wallahu A’lam.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta.