Ketahuilah bahwa bab ini merupakan bab yang paling penting, karena hal ini termasuk perbuatan yang banyak dilakukan dan menyebar di kalangan masyarakat. Maka seyogyanya kita memperhatikan pelaksanaannya, dan orang yang berpedoman di atasnya hendaklah memperhatikan dan mengamalkannya. Kita telah melewati pembahasan yang berhubungan dengan kebohongan berupa pengharaman yang sangat keras, dan bahaya membiarkan lisan berbicara seenaknya. Ini adalah bab cara menyelamatkan darinya.

Ketahuilah bahwa makna tauriyah dan ta’ridh adalah, anda mengucapkan lafazh yang zahir dalam suatu makna, namun dimaksudkan untuk makna lain yang dicakup oleh lafazh tersebut. Akan tetapi ia berseberangan dengan zahirnya. Ini merupakan bentuk penipudayaan dan muslihat.

Para ulama berkata, “Apabila kemashlahatan yang syar’i menuntut kepada hal tersebut untuk menipu daya pihak yang diajak bicara, atau suatu keperluan yang tidak ada alternatif lain darinya kecuali dengan cara berbohong, maka tidak mengapa melakukan ta’ridh. Namun apabila tidak ada mashlahat sedikit pun, maka hukumnya makruh tapi tidak haram, kecuali bila dengan hal tersebut akan mengakibatkan kebatilan atau menolak kebenaran, maka pada waktu itu ia menjadi haram. Inilah prinsip bab ini.

Sedangkan berbagai atsar yang datang tentangnya, maka beberapa atsar membolehkannya dan ada pula yang tidak membolehkannya, dan ia dibawa pada pengertian perincian yang telah kami sebutkan.

Dan di antara hadits yang melarang adalah:

(1204) Hadits yang telah kami riwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dengan isnad yang memiliki kelemahan, akan tetapi Abu Dawud tidak mendhaifkannya, maka ia menjadi hasan menurutnya sebagaimana penjelasannya yang telah lalu,( Lihat pembahasan ini dan komentar saya tentangnya pada mukadimah) dari Sufyan bin Asid radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَبُرَتْ خِيَانَةً أَنْ تُحَدِّثَ أَخَاكَ حَدِيْثًا هُوَ لَكَ بِهِ مُصَدِّقٌ وَأَنْتَ لَهُ بِهِ كَاذِبٌ.

‘Suatu pengkhianatan besar ketika kamu menceritakan sesuatu kepada saudaramu, dia mempercayai ceritamu, akan tetapi kamu berbuat dusta kepadanya dengan cerita tersebut’.”

Dhaif sekali: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 393; Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab al-Ma’aridh, 1/711, no. 4971; al-Khara`ithi dalam al-Masawi’`, no. 113; ath-Thabrani 7/71, no. 6402; Ibnu Adi 1/50; al-Qudha’i 611-613; al-Baihaqi 10/199: dari beberapa jalur, dari Baqiyyah bin al-Walid, Abu Syuraih Dhubarah bin Malik telah menceritakan kepadaku, saya mendengar ayahku meriwayatkan hadits dari Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, dari ayahnya, dari Sufyan dengan hadits tersebut.

Sanad ini lemah, di dalamnya terdapat beberapa illat:

Pertama, sesuatu yang diisyaratkan oleh al-Mundziri dengan perkataannya, “Di dalam sanadnya terdapat Baqiyyah bin al-Walid, padanya ada perbincangan”. Saya berkata, Yang dikhawatirkan padanya hanyalah pentadlisan, sedangkan dia telah menegaskan dengan tahdits pada lebih dari satu jalur dan di dalam semua tingkatan sanad, sehingga kita aman dari pentadlisannya. Kemudian Muhammad bin Dhubarah telah memutaba’ahnya pada Ibnu Adi.

Kedua dan ketiga, Dhubarah dan ayahnya adalah dua orang yang majhul.

Keempat, sesuatu yang diisyaratkan oleh Abu al-Qasim al-Baghawi dengan perkataannya dari Sufyan bin Asid, “Saya tidak mengetahui dia meriwayatkan selain hadits ini”. Saya berkata, Bagaimana mungkin predikatnya sebagai sahabat bisa terbukti dengan sanad ini?

Kelima, bahwa mereka berbeda pendapat tentang Baqiyah, di antara mereka ada yang menggugurkan Malik Abu Dhubarah, dan di antara mereka ada yang menggugurkan Abdurrahman bin Jubair dan ayahnya.

Keenam, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/183; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 6/99: dari jalur Umar bin Harun, dari Tsaur (bin Yazid), dari Yazid bin Syuraih, dari Jubair bin Nufair, dia berkata, “Dari an-Nawwas bin Sam’an!” Walaupun ini sangat lemah sekali karena keadaan Umar bin Harun, namun kelemahannya tetap dihukumi dari berbagai jalur perselisihan dan unsur kelemahan yang dalam hadits kita ini. Kesimpulannya, bahwa hadits ini lemah sekali dan memiliki illat yang beruntun. Al-Baghawi dan al-Mundziri telah menyatakannya berillat. Ibnu Mandah, an-Nawawi, al-Asqalani dan al-Albani telah mendhaifkannya.

Kami meriwayatkan dari Ibnu Sirin rahimahullah, bahwasanya dia berkata, “Perkataan itu adalah lebih luas daripada kebohongan dari seorang yang cerdik.”

Contoh ta’ridh yang dibolehkan:

Ta’ridh yang diucapkan an-Nakha’i rahimahullah (Al-Imam al-Hafidz, seorang ulama fikih Irak, salah seorang ahli ilmu, Ibrahim bin Yazid bin Qais al-Yamani kemudian al-Kufi. Wafatnya pada tahun 96 H, dan berumur 49 atau 58 tahun. Biografinya terdapat dalam Wafayat al-A’yan 1/25, dan Siyar A’lam an-Nubala` 4/520.) “Apabila perkataanmu sampai kepada seseorang, maka katakanlah, ‘Allah Maha Mengetahui sesuatu yang aku ucapkan dari apa pun!'”

Maka pendengar akan berpraduga salah bahwa kamu menafikannya. Padahal maksudmu, ‘Allah mengetahui apa yang saya ucapkan’. (Huruf “Ma” di sini adalah isim maushul (kata benda penyambung), bukan huruf nafyi (peniadaan). Maksud perkataan tersebut adalah, “Allah-lah yang mengetahui sesuatu yang aku ucapkan dari hal tersebut.”)

Dan ucapan an-Nakha’i juga, “Janganlah mengatakan kepada anakmu, ‘Aku membeli gula untukmu?’ Akan tetapi katakanlah, ‘Bagaimana pendapatmu kalau saya membelikanmu gula?'”

Dan apabila seseorang mencari an-Nakha’i, maka dia berkata kepada budak wanitanya, “Katakanlah kepadanya, ‘Carilah dia di masjid’.” (Maka pendengar berpraduga salah bahwa dia tidak di rumah, tanpa menegaskan kepadanya dengan hal tersebut.)

Dan yang lainnya berkata, “Ayahku telah keluar pada waktu sebelum ini.”( Maka pendengar akan berpraduga salah bahwa dia keluar dan belum kembali, padahal pembicara memaksudkan waktu tersebut, yakni dia memaksudkan waktu yang telah lalu dan telah selesai.)

Dan dahulu asy-Sya’bi rahimahullah (Amir bin Syarahil, Abu Amr al-Hamdani, al-Imam, Allamah pada masa tersebut. Dia dilahirkan lewat enam tahun setelah kekhalifahan Umar, dan meninggal 104 H. Biografinya terdapat dalam Tarikh Dimasyq 25/335 dan dalam Siyar A’lam an-Nubala` 4/294.) menggarisi sebidang tempat, lalu dia berkata kepada budak wanitanya, “Letakkan jarimu di dalamnya, dan katakan kepada (orang yang mencariku), ‘Dia tidak di sini’.”( Yaitu bukan pada daerah ini, namun pendengar berprasangka bahwa dia tidak di rumah ini.)

Dan semisal ini perkataan manusia yang biasa diucapkan untuk orang yang dipanggil untuk suatu jamuan, “Saya berada pada suatu niat”, maka orang lain berprasangka salah bahwa dia berpuasa, padahal maksudnya berniat meninggalkan makan.

Dan semisalnya adalah, “Apakah kamu melihat fulan?” Maka dia menjawab, “Ma raituhu “, maksudnya saya tidak memukul paru-parunya. Dan contoh semisal ini banyak.

Kalau dia bersumpah terhadap sesuatu dari ini, dan bertauriyah dalam sumpahnya, maka dia tidak membatalkan sumpahnya, sama saja dia bersumpah dengan Nama Allah ‘Azza Wa Jalla, atau bersumpah dengan talak atau dengan selainnya, maka tidak terjadi talak padanya dan pada selainnya. Namun ini dengan syarat apabila hakim tidak memintanya bersumpah dalam suatu dakwaan. Apabila hakim yang memintanya bersumpah dalam suatu dakwaan, maka yang dijadikan pedoman adalah niat hakim jika dia memintanya bersumpah dengan Nama Allah ‘Azza Wa Jalla. Namun jika dia memintanya bersumpah dengan talak, maka yang dijadikan pedoman adalah niat orang yang melakukan sumpah, karena seorang hakim tidak boleh memintanya bersumpah dengan talak. Kedudukan hakim dalam masalah talak adalah sebagaimana manusia lainnya. Wallahu A’lam.

Al-Ghazali berkata, “Dan di antara kebohongan yang tidak menyebabkan kefasikan (Di semua naskah, “Dan di antara kebohongan yang diharamkan yang mewajibkan kefasikan”. Ini merupakan kesalahan yang sangat jelas, karena dia hanya berbicara tentang suatu kebohongan yang ditoleransi di dalamnya. Kemudian hal itu muncul secara jelas pada paragraf selanjutnya. Oleh karena itu saya merujuk kepada al-Ihya’ karya al-Ghazali 3/140 untuk meyakinkan. Maka saya mendapatkan perkataannya berlawanan dengan yang tertulis dalam al-Adzkar. Maka saya menetapkan perkataan al-Ihya’ dan berpaling dari tulisan di sini.) adalah sesuatu yang biasa dilakukan dalam al-Mubalaghah (pengungkapan sesuatu secara berlebihan), seperti perkataannya, ‘Saya telah berkata kepadamu seratus kali, dan saya telah mencarimu seratus kali…’ dan semisalnya. Sesungguhnya ia tidak dimaksudkan pada pemahaman berapa kali, akan tetapi dimaksudkan pemahaman bentuk al-Mubalaghah. Apabila dia tidak mencarinya kecuali hanya satu kali, maka dia berbohong. Namun apabila dia mencarinya beberapa kali yang banyaknya tidak biasa, maka dia tidak berdosa, walaupun tidak sampai seratus kali. Di antara keduanya terdapat tingkatan-tingkatan yang dapat diketahui bagi orang yang menyampaikannya untuk kebohongan.

(1205) Saya berkata, Dan dalil bolehnya melakukan al-Mubalaghah serta bahwa ia tidak dianggap berbohong, adalah apa yang kami riwayatkan dalam ash-Shahihain: bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ، فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ، فَلاَ مَالَ لَهُ.

“Adapun Abu Jahm, maka dia tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya (maksudnya galak, suka memukul), sedangkan Mu’awiyah maka dia adalah orang yang tidak mempunyai harta.” (Hadits ini telah dikemukakan beserta takhrijnya pada no. 1082)

Perlu diketahui bahwasanya Muawiyah hanya mempunyai baju yang dipakainya saja, sedangkan Abu Jahm meletakkan tongkatnya sewaktu tidur dan lainnya.

Wabillahi at-Taufiq.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta.