Ada satu fase dari pertumbuhan anak yang paling dikhawatirkan oleh para orang tua, karena pada fase ini seorang anak mulai beranjak dari masa kanak-kanak ke masa pengenalan jati dirinya. Fase ini sering disebut dengan masa pubertas atau pancaroba.

Pada fase ini, seorang anak berada di persimpangan jalan antara istiqamah dan penyimpangan!? Oleh karena itu, mengatasi dan melewati fase ini dengan mulus merupakan harapan setiap orang tua!

Definisi Pubertas

Dari aspek biologis, pubertas merupakan fase yang dimulai dari usia baligh alias kematangan biologis hingga terbentuknya tulang secara sempurna yang sering dinamakan dengan fase baligh. Fase ini biasanya berada antara usia 12 tahun dan 18 tahun.

Bila dibagi, maka menjadi dua fase:
Pertama; fase Pubertas. Yaitu dari usia 12-14 tahun, merupakan fase menam-pakkan sikap sangat kasar dan bergejolak.

Ke Dua; fase Baligh. Yaitu dari usia 14-18 tahun di mana tingkat kekasaran sudah berkurang, namun masih merupakan perpanjangan dari fase pertama.

Masa Pubertas Identik dengan Prilaku Negatif?

Sejumlah kajian dan penelitian ilmiah membantah teori yang berpandangan bahwa fase pubertas adalah fase topan dan badai kejiwaan. Keguncangan jiwa yang mencolok pada diri seorang anak yang memasuki masa pubertas tidak lain adalah proses alami akibat perubahan biologis yang dilewatinya, yaitu fase kejiwaan yang memiliki karakteristik umum di kalangan semua individu manusia di mana pun mereka berada.

Realitasnya, teori ini tidak benar sebab sangat jelas ditentang oleh pendapat yang santer sekarang ini, yaitu pandangan bahwa problematika pubertas, bila pun ada, maka itu dilatarbelakangi oleh kondisi kebudayaan, sosial, dan pertumbuhan yang dialami seseorang, bukan sekedar perkembangan biologis saja!

Beberapa penelitian yang dilakukan di negara Arab dan di luarnya terhadap sejumlah anak-anak yang memasuki masa Pubertas berakhir pada kesimpulan:

  • Masa Pubertas tidaklah mesti merupakan masa ‘topan dan badai’ kejiwaan.
  • Fase Pubertas dianggap fase perpindahan dari masa kanak-kanak yang bergantung sepenuhnya kepada orang lain kepada fase baligh, yang matang, independen, dan mandiri.

Beberapa Kesalahan Sebagian Orang Tua dalam Mendidik Anak

Kesalahan-kesalahan ini banyak sekali dan beragam, namun di sini, hanya akan disinggung sejumlah kesalahan yang memiliki dampak kejiwaan, sosial, dan akhlaq yang selanjutnya berpengaruh langsung dalam penyimpangan si anak yang memasuki masa Pubertas, di antaranya:

1. Tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk menangani dan mengurusi sendiri urusan dan permasalahannya dengan membantunya, mengemban tanggung jawab dan menyelesaikan berbagai persoalan mewakilinya. Sementara sang anak merasa semua kewajibannya telah dirampas keluarganya, atau digantikan sang sopir, bila memiliki sopir, misalnya. Akibatnya, mereka seakan hidup dalam kekosongan, yang pada akhirnya menjadi sebab kebobrokan mereka. Padahal Rasulullah shallallahhu ‘alaihi wasallam melatih anak-anak kaum Muslimin sejak kecil untuk memikul tanggung jawab dalam bidang-bidang yang beragam dan menanggung beban kehidupan.

Hal ini seperti digambarkan dalam hadits Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang saat aku bermain bersama bocah-bocah lainnya, lalu beliau memberi salam kepada kami, lalu mengutusku untuk suatu urusan.” Sebelum pergi, aku menemui ibuku lalu ia bertanya, “Apa keperluan beliau itu.?” Aku berkata, “Itu rahasia.!” Ia berkata, “Kalau begitu, jangan ceritakan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini kepada siapa pun.!'” Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, andaikata boleh aku menceritakannya kepada seseorang, pastilah sudah aku ceritakan hal itu kepadamu, wahai Tsabit.!” (HR. Ahmad)

Pelajaran yang dapat diambil dalam hadits ini:

Pertama, Adanya perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melatih dan membiasakan anak-anak kecil untuk melakukan sebagian pekerjaan demi meneguhkan jati diri mereka dan mempersiapkan mereka untuk menghadapi kehidupan.

Ke dua, Keteguhan seorang shahabat mulia semacam Anas radhiyallahu ‘anhu untuk menjaga rahasia dan tidak menyebarkannya kepada siapa pun.

2. Kontrol seorang ayah yang terus-menerus dan langsung terhadap si anak yang memasuki usia Pubertas dengan menemaninya sepanjang hari tanpa mempedulikan kecenderungan dan kesenangannya atau pun memenuhi kebutuhan psikologis dan sosialnya. Sang ayah memaksakan kehendaknya dalam memilih sesuatu, padahal si anak masih memiliki keinginan utama, yaitu bermain dan mengembangkan bakatnya. Alasannya, demi menjaga anaknya dari penyimpangan dan teman buruk. Sekali pun ada sisi positifnya, tetapi lebih banyak negatifnya, seperti melemahkan kepribadian sang anak dan membuatnya mudah menjadi korban penyimpangan dan teman buruk begitu ia merasa bebas nantinya, baik karena meninggal, jatuh sakit atau sudah tuanya sang ayah, terjadinya perceraian, ‘broken home atau lainnya. Karena tidak ditanamkannya rasa percaya diri, kemandirian dan menjaganya dengan norma-norma Islami, maka bisa jadi sang anak akan demikian mudah tergoda dengan peradaban Barat melalui beragam media seperti radio dan televisi yang sudah masuk ke dalam rumah!?

3. Robohnya pagar kokoh yang dibangun Islam dalam membentengi keluarga dan menjaganya dari penyimpangan dan kebobrokan karena meniru gaya Barat. Perasaan dan rasa kecemburuan dalam jiwa seakan telah mati. Hal ini memberikan ruang masuknya fitnah dan kejahatan pada keluarga dan anak-anak yang memasuki usia pubertas. Dengan tindakan sang ayah membawa orang-orang yang tidak diizinkan agama hadir di tengah keluarganya, baik dengan alasan hubungan kerabat; kerabat bagi suami atau isteri. Atau pun dengan alasan teman suami, kakaknya, pembantu, guru pria sang anak perempuan dan beragam alasan lainnya. Inilah tipe suami dan laki-laki ‘Dayyuts’ yang tidak akan masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiga orang yang telah Allah haramkan masuk surga: pecandu khamer, pendurhaka terhadap kedua orang tuanya dan Dayyuts (suami berprofesi germo) yang menyetujui perbuatan keji dalam keluarganya.” (HR. An-Nasa’i)

4. Membiarkan si anak yang memasuki usia pubertas tanpa pengawasan dan terapi dari sejak pertama terjadinya penyimpangan.

5. Kebiasaan merokok di depan mata anak-anak plus lemahnya pengetahuan agama. Hal ini mendorong anak yang dalam usia pubertas untuk meniru sang ayah dan menyeretnya berada di persimpangan jalan.!

6. Penjagaan yang berlebihan karena takut bahaya mengancam sang anak

7. Tidak memberikan perhatian dan pengarahan pada anak.

8. Memanjakan sang anak dan me-nuruti apa saja kemauannya tanpa mengajarkannya untuk memiliki rasa tanggung jawab.

9. Tindak kekerasan terhadap anak berupa sanksi fisik atau lainnya.

10. Membeda-bedakan antar anak yang satu dengan yang lainnya.

S o l u s i

Di antara solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi masa pubertas anak adalah:

1. Menanamkan Rasa Percaya Diri Pada Diri Anak
Secara umum, sebagian anak yang memasuki usia pubertas ada yang mengalami rasa takut yang berlebihan dalam banyak sisi kehidupannya, seperti takut bertemu dengan para tamu, takut menghadapi ujian, takut berbicara di tengah masyarakat mana pun atau momen apa pun karena khawatir dikritik atau salah. Kelompok anak ini mengalami krisis kurang percaya diri, merasa tidak aman dan nyaman akibat pendidikan yang salah, terutama sikap ketergantungan pada orang lain. Terkadang timbul hal-hal lainnya, seperti tidak mampu berbicara, malu, stres, cemas dan sebagainya. Karena itu, kedua orang tua harus menanamkan rasa percaya diri pada diri anak-anak mereka dan memenuhi kebutuhan psikologis dan sosial mereka yang bertujuan mengaitkan mereka dengan orang lain dan merealisasikan sikap mandiri.

2. Menanamkan Norma-Norma Islami
Tidak dapat disangkal lagi, ini merupakan hal yang amat agung yang mesti diperhatikan para orangtua. Sebab norma ini berpedoman pada akidah yag diambil dari prinsip-prinsip yang mulia. Ia tidak akan bertentangan dengan perkembangan zaman dan tempat karena ia berasal dari Allah subhanahu wata’ala. Karena itu, adalah kewajiban para pendidik untuk menanamkan norma-norma yang menyeru kepada keadilan, persamaan (egaliter), persaudaraan, kecintaan, dan toleransi dalam berinteraksi dengan manusia itu.

3. Mendidik Anak untuk Memperbaiki Niat dan Amal
Islam dengan ajarannya yang mulia datang untuk mengarahkan manusia agar memiliki niat yang baik dalam beramal. Sebab niat yang tulus merupakan pondasi amal. Karena itu, para orang tua harus membimbing anak-anak mereka agar mem-perbaiki niat dan amal serta antusias untuk beribadah, jauh dari pertimbangan kuantitas dan penampilan. Masalah niat ini merupakan hal dasar dan utama dalam Islam yang memasuki hampir semua bab Fiqih sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Sesungguhnya semua amal itu tergantung pada niat.” (HR. Muslim) [Hanif Yahya]

(Sumber): “Al-Murahaqah, Muftariqith Thurufq Baynal Istiqamah Wal Inhiraf”, karya Dr. Ibrahim bin Hamud al-Musyaiqih