Syaikh Husain al-Awayisyah (salah seorang murid Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah) di dalam mukaddimah kitabnya, “Hashaid al-Alsun” mengungkapkan kesedihannya karena begitu banyak orang yang salah dalam memfungsikan lisan. Beliau mengatakan, “Siapa pun yang memikirkan nasib umat Islam saat ini, maka dia pasti akan meratapi kondisinya dan menangisi keadaannya. Sungguh mata ini akan meneteskan air mata dan hati pun akan merasa bersedih. Bagaimana tidak? Pertikaian tengah memuncak di tengah mereka, perpecahan merambah di tengah-tengah barisan mereka dan rasa takut telah merasuki hati mereka.

Dalam kondisi yang memilukan dan pada saat yang menyedihkan ini, kita semua menunggu adanya langkah nyata dan pembangunan untuk mendirikan kembali sebuah istana, mengembalikan bangunan umat, dan mengumpul kan kesatuannya. Kita menunggu adanya kalimat yang mampu menyatukan antara saudara dan kekasih, dan mempersatukan hati-hati yang berselisih. Kita juga menunggu adanya dorongan dan upaya untuk merangkak dan melangkah ke depan. Kita menantikan senyuman yang bisa meneguhkan hati dan bisa memotivasi untuk bekerja. Di samping itu kita memohon semua pihak agar melaksanakan pekerjaan dan tugasnya demi tegaknya bangunan umat Islam. Masing-masing berada di bidangnya, diposisikan sesuai dengan potensi dan kemampuannya. Dan alhamdulillah kita dapat menyaksikan di antara orang-orang yang baik dan jujur ada yang mau melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya.

Tetapi sayang di lain pihak kita melihat orang yang secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi menggunakan mulutnya untuk memisahkan para kekasih dan menggunakan lidahnya untuk mengucapkan sesuatu yang dimurkai Allah subhanahu wata’ala. Dan kita juga melihat masih banyak mulut yang menghancurkan umat Islam. Kita dapat merasakan akibat yang disebabkan oleh lisan tersebut.

Berapa banyak terjadi peribadatan kepada selain Allah dan perbuatan syirik akibat dari ulah lisan-lisan semacam ini. Berapa banyak hukum Allah subhanahu wata’ala yang tersingkirkan akibat lisan-lisan tersebut. Berapa banyak bid’ah-bid’ah bermunculan, berapa banyak hati yang terluka, kerabat dan pertalian terputus, hati menjadi bercerai berai dan bahkan darah tertumpah karena akibat ulah lisan. Berapa banyak pula orang tak berdosa meregang nyawa karenanya, wanita yang suci dicerai, harta dirampas dan para istri dituduh berbuat selingkuh?” Semua akibat dari ulah lisan yang tidak bertanggungjawab. Ini semua membuktikan bahwa lisan bila tidak difungsikan dengan baik sesuai aturan maka akan menyebabkan munculnya kerusakan dan bencana.

Namun ternyata menyetir lisan agar mengucapkan yang lurus dan sejalan dengan rel agama dan norma kebaikan bukan hal yang mudah dilakukan. Harus dibutuhkan perjuangan, latihan, dan kesabaran, atau dapat dikatakan harus “jihad” untuk dapat mengendalikan lisan, yakni mengendalikan dan memerangi hawa nafsu yang mendorong lisan untuk mengucapkan sesuatu yang buruk tersebut, sebab hawa nafsu senantiasa memerintahkan kepada keburukan.

Dalam bab selanjutnya beliau memaparkan bahwa menahan lisan agar mau tunduk dan taat kepada Allah subhanahu wata’ala adalah merupakan bentuk jihad, sebagaimana dalam pembahasan berikut ini.

Diriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Seorang mujahid adalah orang yang memerangi hawa nafsunya agar mau taat kepada Allah.” (Penggalan hadits riwayat Imam Ahmad, termuat dalam as-Silsilah ash-Shahihah no.539)

Dalam hadits yang lainnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
“Sebaik-baik jihad adalah engkau memerangi hawa nafsumu demi (taat kepada) Dzat Allah Azza wa Jalla.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, Ad-Dailami dan selainnya, lihat ash-Shiihah no. 1496)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
“Orang muslim yang paling baik (kualitas) keislamannya adalah orang yang kaum muslimin merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya. Orang mukmin yang paling baik (kualitas) keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik orang yang berhijrah adalah orang orang yang meninggalkan apa saja yang dilarang Allah. Dan sebaik-baik jihad adalah orang yang memerangi hawa nafsunya demi (ketaatan) kepda Dzat Allah Azza wa Jalla.” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Kabiir, Ibnu Nashar dalam ash-Shalat, lihat ash-Shahihah no.1491)

Barangkali kita sedikit merasa heran ketika mendengar bahwa menahan lidah dari ucapan yang tidak baik adalah satu dari bentuk jihad. Namun rasa heran itu akan segera sirna, manakala kita telah membaca sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas.

Sungguh, betapa berat dan susahnya jihad menahan lisan ini. Sebab lidah merupakan tempat untuk mengungkapkan segala keinginan, sedangkan hawa nafsu selalu mengajak kepada kejelekan dan kehinaan. Keinginan-keinginan tersebut memiliki rupa yang beraneka ragam, dan bentuk yang tidak berbilang. Orang yang terjaga dari keburukan nafsu tersebut adalah orang yang benar-benar mendapat perlindungan dari Allah subhanahu wata’ala.

Membunuh musuh di medan perang tidaklah bisa disebut dengan jihad yang sebenarnya, kecuali memenuhi satu syarat penting yang tak bisa diabaikan begitu saja, yaitu jihad nafsu. Kalau seandainya seseorang ditimpa cobaan yang baik berupa mati saat berperang, tetapi dia tidak pernah memerangi sifat riya’ (pamer) dalam dirinya, sementara ia mati dalam keadaan demikian maka amalan jihadnya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Maka bukan merupakan hal yang aneh bila dikatakan bahwa jihad melawan nafsu ini lebih susah daripada jihad dengan raga (badan). Sebabnya adalah karena badan itu diperintah, sedangkan yang memerintah adalah nafsu, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS.Yusuf:53)

Maka perkaranya akan menjadi mudah ketika hawa nafsu sudah berhasil ditaklukkan. Juga sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat an-Nu’man bin Basyir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad tersebut, dan jika ia buruk maka buruk pula seluruh jasad tersebut. Ketahuilah ia adalah hati (qalbu).” (Penggalan dari hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dan selainnya)

Apabila seseorang mau berpikir merenungi hadits ini maka dia akan tahu bahwa seluruh anggota badannya adalah mengikuti perintah qalbu (hati). Sehingga jasad merupakan pihak yang disetir dan hati merupakan pihak yang mengendalikannya. Jasad merupakan pihak yang diperintah sedang nafsu sebagai pihak yang memerintah.

Setelah kita mengetahui masalah ini, maka tentunya kita akan mengetahui bahwa jihad nafsu merupakan hal yang sangat pokok. Ia merupakan jihad yang sangat sulit, dan bahwasanya jihad dengan badan tidak akan menjadi besar dan bernilai di hadapan Allah subhanahu wata’ala, kecuali bila disertai dengan jihad nafsu. Bahkan seseorang yang dengan tulus ikhlas meminta mati syahid kepada Allah subhanahu wata’ala dan ia memerangi hawa nafsunya demi menahan diri dari apa yang dimurkai Allah subhanahu wata’ala, maka dia akan sampai pada kedudukan para syuhada meskipun dia mati di atas pembaringannya.

Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam riwayat Imam Muslim dan selainnya, beliau bersabda, “Barang siapa yang meminta mati syahid kepada Allah dengan sejujurnya, maka Allah akan menjadikannya sampai pada kedudukan para syuhada, meskipun ia mati di atas pembaringannya.”

Dan bisa jadi sebagian orang yang gugur di medan peperangan pada hari Kiamat nanti dia akan disiksa karena katidakikhlasannya. Ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya tentang tiga orang yang diseret di dalam neraka, salah satunya adalah seorang yang berperang (berjihad) dengan tujuan agar dikatakan sebagai seorang pemberani atau pahlawan.

Maka yang paling utama dan terbaik adalah mengikhlaskan niat dan amalan semata-mata karena Allah subhanahu wata’ala. Orang yang mampu berbuat ikhlas dalam setiap perbuatannya maka ia telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya. (Kholif Abu Ahmad)

Sumber: “Hashaid al-Alsun” Edisi terjemah “Manjemen Lisan” Darul Haq Jakarta.