Ketika hati memiliki hubungan dengan Allah subhanahu wata،¦ala dan anggota-anggota badan bekerja untuk berbuat ta’at kepada-Nya dengan menahan dari hal-hal yang diharamkan-Nya, maka Dia akan mengaruniai cahaya ke dalam hati yang dengannya ia dapat membedakan antara haq dan batil, antara orang-orang yang jujur dan orang-orang yang berdusta.!

Pemilik hati dan anggota badan seperti ini, melihat secara hakiki melalui cahaya dari Allah subhanahu wata،¦ala. Rasulullah shallallahu ،¥alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki para hamba yang mengenali manusia dengan memperhatikan tanda-tanda (firasat).” (Dihasankan Syaikh al-Albani) Pengetahuan batin dan anugerah seperti inilah yang sering dinamakan ulama sebagai Firasat Imaniah.

Sebagian ulama mengatakan, “Firasat adalah bersitan pertama (dalam hati), tanpa penentang; jika ada penentang dari yang sejenisnya, maka disebut Hadits an-Nafs (kata hati), bukan firasat.”

Salah seorang ulama mengatakan, “Firasat hanya terjadi melalui penanaman iman. Selamanya, tidak akan ada firasat tanpa iman. Iman diserupakan dengan tanaman sebab ia selalu bertambah, tumbuh dan bersih dengan siraman, buahnya dapat dihasilkan setiap waktu atas izin Allah subhanahu wata،¦ala, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Barangsiapa yang menanam iman di ‘bumi’ hatinya yang baik dan bersih lalu menyiraminya dengan ‘air’ keikhlasan, kejujuran dan mutaba’ah, maka sebagian dari buahnya adalah firasat.”

Dalil Firasat

Dalil untuk hal ini adalah firman Allah subhanahu wata،¦ala, artinya,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (keuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (QS.al-Hijr:75) Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini turun terhadap para ahli firasat.

Mengenai kata “al-Mutawassimin” dalam ayat ini, Ibn al-Qayyim rahimahullah berkata, “Mujahid rahimahullah berkata, ‘ (Mereka adalah) Para ahli firasat.’ Ibn ‘Abbas radhiyallahu ،¥anhu berkata, ‘Ahli Nazhar.’ Qatadah rahimahullah berkata, ‘Orang-orang yang mengambil pelajaran.’ Muqatil rahimahullah berkata, ،§Orang-orang yang berfikir.،¨ Mengomentari makna-makna tersebut beliau mengatakan bahwa hal itu merupakan salah satu sifat seorang Mukmin, bagian dari kemuliaan yang Allah anugerahkan padanya, bagian dari buah-buah keimanan, dan bagian dari pahala amal shalih yang dilakukan pelakunya.

Dalam ayat lain, Allah subhanahu wata،¦ala berfirman, artinya, “Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu, sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.” (QS. Muhammad :30). Asal firasat ini adalah kehidupan dan cahaya yang dianugerahkan Allahƒnkepada siapa saja dari para hamba yang dikehendaki-Nya, sehingga hatinya bersinar. Untuk selanjutnya firasatnya tidak akan pernah meleset sebagaimana firman Allah subhanahu wata،¦alaƒnyang lain. (Baca: QS.al-An’am:122-123).

Sebagian orang-orang shalih mengatakan, “Barangsiapa yang memenuhi lahiriahnya dengan mengikuti sunnah dan batiniahnya dengan Muraqabatullah (merasa diawasi Allah subhanahu wata،¦ala), menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan, mengekang dirinya dari hawa-hawa nafsu, dan terbiasa dengan makanan yang halal, maka firasatnya tidak akan pernah meleset.” Ibn al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Rahasia hal ini, bahwa suatu perbuatan akan dibalas dengan hal yang setimpal. Barangsiapa yang memicingkan pandangannya dari apa yang diharamkan Allah, maka Allah Dia akan menggantinya dengan yang sejenisnya, yang lebih baik darinya. Sebagaimana ia telah mengekang cahaya pandangannya dari hal-hal yang diharamkan, maka Allah melepaskan cahaya batin dan hatinya sehingga dengannya ia dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh orang yang melepaskan pandangannya namun tidak mengekangnya dari hal-hal yang diharamkan Allah subhanahu wata،¦ala.”

Firasat hanya dimiliki oleh seorang Mukmin sedangkan selain Mukmin tidak memiliki firasat tetapi kebodohan dan ilusi. Karenanya pula, perlu dibedakan antara firasat dan prasangka (Zhann), sebab prasangka bisa salah dan benar; bisa terjadi dengan keta’atan atau kemaksiatan; dengan hati yang hidup, sakit atau mati dan juga di antaranya ada yang haram. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wata،¦ala, artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (QS.al-Hujurat:12)

Ahli Firasat adalah Ahli Kebajikan dan Takwa

Sebagaimana telah disinggung di atas, bila seorang hamba dekat dengan Rabbnya, maka Dia akan melimpahkan nur-Nya kepadanya. Hal ini seperti dalam hadits Qudsi, “Dan tidaklah hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan atasnya, dan senantiasalah hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, hingga Aku mencintainya; bila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah pendengaran yang dengannya ia mendengar, penglihatan yang dengannya ia melihat, tangan yang dengannya ia memukul, kaki yang dengannya ia berjalan. Dan jika ia meminta kepada-Ku, niscaya Aku pasti memberikannya dan bila ia berlindung kepada-Ku, niscaya aku pasti melindunginya،K” (HR.al-Bukhari)

Tidak dapat disangkal lagi, bahwa para shahabat merupakan bagian dari umat ini yang paling banyak mendapatkan jatah sifat ini sebab mereka adalah umat yang paling berbakti hatinya, paling dalam ilmunya dan paling sedikit Takalluf-nya (membebani diri di luar batas kemampuan). Mereka adalah generasi yang telah dipilih Allah subhanahu wata،¦alaƒnuntuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya di mana Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar al-Faruq radhiyallahu ،¥anhu berdiri di garda paling depan. Sedangkan secara umum, maka seperti yang dikatakan Ibn Mas’ud radhiyallahu ،¥anhu, “Yang paling tajam firasatnya ada tiga orang: al-‘Aziz terhadap Yusuf saat berkata kepada isterinya (QS.Yusuf: 21); putri nabi Syu’aib ،¥alaihissalam (QS.al-Qashash: 26) dan Abu Bakar radhiyallahu ،¥anhu terhadap Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ،¥anhu saat menunjuknya sabagai khalifah penggantinya. Ketika itu, ada yang berkata kepadanya, ،§Wahai Abu Bakar wahai khalifah Rasulullah, apakah engkau mengangkat pemimpin yang paling keras untuk kami.? Tidakkah engkau takut kepada Allah?،¨ Maka, ia pun menangis seraya berkata, ،§Andaikata Rabbku menanyakan kepadaku, pasti aku katakan kepada-Nya, wahai Rabb, aku telah mengangkat untuk mereka orang yang paling pengasih di antara mereka. Inilah yang aku ketahui; jika diganti dan diubah, maka aku tidaklah mengetahui hal yang ghaib.” Setelah itu, ada Umar al-Faruq radhiyallahu ،¥anhu dan isteri Fir’aun, Asiah, sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ،¥alaihi wasallam mengenainya (HR.al-Bukhari, dari Abu Musa radhiyallahu ،¥anhu). Demikian juga sebagaimana terdapat dalam surat al-Qashash, yang merupakan pelengkap empat ayat dalam al-Qur’an berkenaan dengan firasat.

Contoh Kejadian Firasat

– Firasat Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ،¥anhu: Tidaklah ia mengatakan sesuatu, ،§Aku kira,،¨ melainkan terjadi seperti yang dikatakannya. Salah satu bukti besar adalah demikian banyak ayat yang turun menyetujui apa yang diucapkannya, di antaranya pendapatnya mengenai tawanan perang Badar bahwa mereka harus dibunuh, lalu al-Qur’an turun menyetujuinya.

– Firasat ‘Utsman bin al-‘Affan radhiyallahu ،¥anhu: Seorang laki-laki menemuinya di mana di jalan ia telah melihat seorang wanita lalu memperhatikan kecantikannya, lantas ‘Utsman radhiyallahu ،¥anhu berkata kepadanya, “Salah seorang di antara kamu menemuiku sementara di kedua matanya terdapat bekas zina begitu jelas.!” Lalu laki-laki itu berkata, “Apakah ada wahyu turun setelah Rasulullah shallallahu ،¥alaihi wasallam wafat?” Ia menjawab, “Bukan, akan tetapi pandangan batin, dalil dan firasat yang tulus.!”

Mengenai jenis firasat, keterkaitan nya, sebabnya dan berbagai hal lainnya secara lebih rinci dapat ditemukan pembahasannya dalam kitab ‘Madarij as-Salikin’ karya Ibn al-Qayyim. Silahkan untuk merujuknya, Wallahu a’lam. [Abu al-Harits]

Sumber: Madarij as-Salikin karya Ibn al-Qayyim; Firasah al-Mu’min karya Ibrahim bin Abdullah al-Hazimi