Bagian Pertama:
Hukum Menggugurkan Janin Setelah Peniupan Ruh

Para fuqaha sepakat atas haramnya pengguguran janin setelah janin berusia empat bulan di dalam perut ibunya. Karena pada usia itu telah ditiupkan roh kepadanya, seperti yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits yang disebutkan di atas. Janin jika telah ditiupkan roh kepadanya akan menjadi manusia dan manusia tidak boleh dibunuh tanpa sebab syar’i, padahal tidak ada satu pun sebab-sebab syar’i yang membolehkan untuk membunuh janin, sehingga tidak ada pula sebab-sebab syar’i yang membolehkan pengguguran janin pada fase ini. (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz I, hal. 591, asy-Syarh al-Kabir dan Hasyiyah ad-Dasuqiy, juz. II, hal. 267, Nihayah al-Muhtaj, juz. VIII, hal. 416, Jami’ Ulum wa al-Hikam, hal. 46, al-Inshaf, juz II, hal. 386, al-Muhalla, Ibnu Hazm, juz VIII, hal 30-31)

Makna dzahir dari pendapat para fuqaha menunjukkan bahwa mereka mengharamkan pengguguran kandungan setelah peniupan roh, hingga jika keberadaan janin itu membahayakan. Bahkan sebagian dari mereka mengatakannya terus terang, seperti Ibnu Najib al-Hanafi mengatakan, “Seorang wanita hamil yang terancam bahaya karena anak yang di dalam perutnya, anaknya tidak boleh digugurkan, tetapi jika anaknya sudah mati di dalam perut tidak apa-apa digugurkan. Dan jika masih hidup, tidak diperbolehkan, karena menghidupkan seorang jiwa dengan membunuh jiwa lain tidak diperkenankan di dalam syari’at.”

Terhadap perkataan Ibnu Najim, Ibnu Abidin mengomentari, “Tidak boleh digugurkan, karena kematian ibunya masih diragukan, maka tidak boleh membunuh manusia yang hidup karena perkara yang meragukan.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz I, hal. 602)

Kami tidak mendapatkan teks-teks fiqh yang berbeda pendapat dalam masalah ini, karena hukum dasarnya adalah bahwa membunuh jiwa yang diharamkan secara syari’at tidak boleh hukumnya dengan alas an apa pun. Karena Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alas an) yang benar.” (al-Isra’: 33)

Jadi, tidak boleh membunuh jiwa yang suci untuk menyelamatkan jiwa orang lain, walaupun dalam keadaan terpaksa. Para fuqaha tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Dan menurut jumhur ulama, bahwa membunuh karena terpaksa harus dihukum qishash. Mereka juga sepakat, tidak halal bagi orang yang terpaksa untuk membunuh orang lain untuk menyelamatkan dirinya dari kematian. Mereka menyontohkan, bahwa jika sebuah perahu akan akan tenggelam, sedangkan keselamatan kapal bisa terjadi jika sebagian penumpangnya dilemparkan ke laut, maka tidak boleh melemparkan sebagian dari penumpang peruhau itu untuk menyelamatkan penumpang lainnya, sebanyak apa pun jumlah penumpangnya. Begitu juga tidak boleh bagi orang yang kelaparan memakan daging manusia hidup untuk menyelamatkan dirinya dari kematian. (al-Badai’, juz VII, hal. 177, al-Mabsuuth, juz. XXIV, hal. 76, Kasysyaf al-Qana’, juz IV, hal. IV, hal. 118, Ahkam al-Qur’an, juz III, hal. 378 dan juz IV, hal. 1611)

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa para fuqaha ingin menempatkan kehormatan jiwa berada di atas dharurat dan keterpaksaan serta tidak menjadikannya tunduk kepada kaidah syari’at ketika terjadi pertentangan antara dua bahaya dan ketika terjadi pertentangan antara bahaya dan keselamatan.

Ketika roh telah ditiupkan pada janin, bebarti janin itu telah menjadi jiwa yang terhormat dan terjaga dari permusuhan terhadapnya, tidak bisa digugurkan oleh sebab apa pun, karena dia telah menjadi seperti anak yang dilahirkan.

Namun demikian, panitia penelitian ilmiah dalam perspektif fiqh yang dibentuk oleh kementerian wakaf di Kuwait membolehkan pengguguran janin –walaupun telah ditiupkan ruh kepadanya- jika itu merupakan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan ibunya –jika keberadaan janin di dalam perutnya membahayakannya- lebih diutamakan, karena kehidupannya lebih dulu ada dan sudah ada secara meyakinkan.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, juz II, hal. 57).

Sebenarnya, menentang pendapat para fuqaha terdahulu dalam masalah ini bukan urusan gampang, karena mereka bersandar kepada kaidah syari’at yang kuat dan tidak ada pengecualian sama sekali di dalamnya, yaitu bahwa janin setelah peniupan ruh menjadi jiwa yang terhormat di mata syari’at, sehingga dia termasuk di dalam yang dimaksud oleh firman Allah, artinya, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” Al-Isra’: 33)

Kebenaran yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa jiwa tidak bisa dibunuh tanpa hak kecuali jika terbunuh karena hukum qishash, pezina mukhshan, dan murtad dari Islam. Semua ini tidak akan terjadi pada janin sama sekali.

Adapun alasan yang dijadikan sandaran oleh panitia ilmiah di atas adalah, bahwa kehidupan sang ibu sudah jelas adanya secara meyakinkan. Namun alasan itu bisa dibantah, bahwa jika maksudnya adalah hidupnya sang ibu ketika melahirkan, maka janin pun juga demikian halnya, karena janin itu telah ditiupkan ruh kepadanya dan untuk mengetahui hakikat kehidupan janin –setelah adanya kemajuan dalam dunia kedokteran- sangat memungkinkan secara mendatail. Tetapi jika yang dimaksudkan adalah adanya kehidupan pada masa mendatang hingga melahirkan, memang kehidupan janin lebih mudah terkena bahaya daripada ibunya. Namun alas an ini pun bisa disanggah bahwa tidak ada seorang pun dapat memastikan bahwa kehidupan ibunya bisa bertahan lama, begitu juga kehidupan janin. Dengan demikian kedudukan keduanya sama saja, sehingga tidak sah menyatakan bahwa kehidupan salah satu dari mereka dapat dipastikan secara meyakinkan.

Kami melihat bahwa tidak ada jalan untuk memberikan keringanan dalam menggugurkan janin yang telah memiliki ruh untuk menyelamatkan ibunya dari kematian, kecuali dengan alas an bahwa kehormatan jiwa sang ibu lebih tinggi daripada kehormatan jiwa sang janin.

Dari pendapat para fuqaha dalam masalah ini, kita dapat menyimpulkannya menjadi dua hukum:
Pertama, tidak diwajibkan qishash bagi asal (ibu) bila membunuh cabang (janin), walaupun disengaja dan dicencanakan. Di antara alas an yang mereka kemukakan untuk menetapkan hukum ini adalah karena asal (ibu) telah dijadikan oleh Allah sebagai sebab untuk mewujudkan cabang (janin), maka tidak layak jika cabang menjadi sebab kematian asalnya.
Kedua, sebagian besar fuqaha sepakat bahwa pembunuh janin tidak diqishash walaupun disengaja, walaupun janinnya lahir dalam keadaan mati, dan walaupun pekerjaan itu haram hukumnya. (Lihat, Ibnu Qadamah, juz IX, hal. 359)

Dari kedua hukum –jika keduanya diambil semua- sudah cukup memberikan alas an bahwa kehormatan ibu lebih tinggi daripada kehormatan janin jika keduanya bertemu. Maka tidak ada jalan lain kecuali mengorbankan salah satu jiwa untuk menyelamatkan jiwa yang lain.

Dari segi lain, menurut pendapat fuqaha madzhab Hanafi tentang janin, bahwa jiwa janin yang masih berada di dalam kandungan tidak sama dengan bayi yang sudah dilahirkan dalam beberapa segi. Sehingga di satu sisi mereka menganggap janin itu mempunyai jiwa, namun di sisi lain mereka tidak menyebutkan begitu. (Ibnu Qudamah, al-Mughniy, juz. IX. Hal. 22; at-Tasyri’ al-Islami, juz. II, hal. 14). Mereka menyebutnya jiwa karena telah ditiupkan ruh kepadanya, namun tidak menyebutkannya sebagai jiwa karena dia adalah bagian daripada ibunya. Mereka beralasan bahwa selama janin masih berada di dalam perut ibunya, ia tidak mempunyai tanggung jawab penuh dan dianggap tidak memiliki hak apa-apa. Karena posisinya masih sama dengan anggota badan ibunya. Akan tetapi jika dia sudah hidup sendiri, maka dia dia bisa disebut jiwa. Dengan sebutan ini, maka dia baru mempunyai hak yang berupa warisan, nasab, wasiat, dan sebagainya. (al-Badai’, juz VII, hal. 233. Di antara mereka ada yang menambahkan jiwa yang telah dilahirkan itu dengan jiwa yang mempunyai hak. (al-Bahr ar-Raiq, juz. VIII, hal. 387)

Dari penjelasan madzhab Hanafi tentang kepribadian janin di atas, maka kita bisa mengatakan bahwa ada perbedaan tingkat antara kehormatan ibu dan kehormatan janinnya, dan kita pun bisa memilih mana yang lebih didahulukan jika terjadi pertentangan antara kedua kehormatan tersebut. Mungkin adanya perbedaan tingkat kehormatan ini juga terdetik dalam pikiran para fuqaha terdahulu. Akan tetapi mereka terlalu terpengaruh untuk tetep berpegang pada kaidah aslinya, sehingga mereka tidak punya cukup alas an untuk keluar darinya. Khususnya karena pengetahuan mereka tentang kedokteran tidak sampai pada tingkat yakin bahwa keberadaan janin itu di dalam perut ibunya dapat menyebabkan kematian ibunya dan jika digugurkan dapat menyelamatkan hidupnya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Abidin, “Karena kematian sang ibu masih meragukan, maka tidak boleh membunuh manusia hidup untuk sesuatu yang meragukan.” Pemahaman yang dapat diambil dari pernyataan itu bahwa seandainya perkara itu tidak meragukan, berarti meyakinkan, maka boleh mengorbankan janin untuk menyelamatkan hidup ibunya. Adapun pada saat sekarang para dokter bisa memprediksi tingkat keselamatan ibu dan janin.