Banyak orang yang terbiasa mengucapkan kalimat, “Malu dong!” yang merupakan ungkapan untuk mengecam dan diarahkan kepada orang yang menentang syari’at Allah subhanahu wata’ala, melakukan sesuatu yang diharamkan-Nya atau menyepelekan suatu kewajiban dan kurang berlaku sopan terhadap sesama manusia dalam bentuk apa pun.! Benar, sesungguhnya itu adalah ungkapan yang memiliki makna dan misteri.

Kerapnya ungkapan seperti itu dilontarkan merupakan pertanda adanya kecemburuan dan kepekaan yang tidak lain merupakan salah satu dari metode beramar ma’ruf nahi munkar, yang pantas diterapkan terhadap sekelompok manusia yang tidak mempan dengan cara-cara yang lain dan perilaku maksiatnya telah mencapai puncaknya hingga secara terang-terangan melakukannya tanpa rasa takut kepada Allah subhanahu wata’ala dan rasa malu kepada sesama manusia. Pelecehan terhadap hak-hak makhluk yang dia lakukan telah sampai kepada batasan di mana orang-orang harus mengatakan kepadanya, “Malu dong!’ tersebut.

Sekalipun demikian, terkadang kita tidak mengetahui makna malu itu sendiri, bahkan sebagian kita tidak memahami perbedaan antara malu ‘syar’i’ dan malu bukan ‘syar’i’, demikian juga malah ada di kalangan kita yang tidak mengenal nilai malu tersebut.!

Kedudukan Sifat Malu

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah malu.” (HR. Malik dan Ibn Majah dengan sanad Hasan)

Saking pentingnya sifat malu dan tingginya kedudukannya, maka ia merupakan karakteristik Dien ini dan juga semua agama terdahulu. Ia merupakan salah satu dari sekian syari’at-syari’at terdahulu yang tidak dihapus. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya di antara ucapan kenabian pertama yang didapati manusia adalah (ungkapan), “Bila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang kamu mau.” (HR. al-Bukhari dan Abu Daud)

Dan cukuplah untuk menunjukkan betapa kedudukan malu sangat tinggi, penilaian bahwa ia merupakan sebagian dari iman dan jalan menuju surga. Lawannya adalah badza’ (ucapan cabul, jorok). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Malu merupakan bagian dari iman dan iman itu di surga sedangkan badza’ (ucapan cabul) itu merupakan bagian dari jafa’ (tabi’at kasar) dan jafa’ (tabi’at kasar) itu di neraka.” (HR. at-Turmudzi, Hasan Shahih)

Definisi Malu

Para ulama mendefinisikan malu secara bahasa yakni perubahan dan kekalahan diri yang dialami manusia akibat rasa takut dicela. (Fath al-Bari, I:56)

Sedangkan definisi malu secara istilah syari’at adalah sifat yang mendorong diri menghindari hal yang buruk dan mencegah ketidak-optimalan dalam memberikan hak kepada pemiliknya. Oleh karena itu, dalam hadits dikatakan, “Malu itu semuanya baik.” (Fat-h al-Bari, I:56)

Malu Adalah Sebagian Dari Iman

Malu merupakan tanda kebaikan dan salah satu dari cabang iman sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Iman itu memiliki tujuh puluh tiga-an (tujuh puluh tiga hingga tujuh puluh sembilan) cabang, dan malu merupakan bagian dari iman.” (HR. al-Bukhari). Pertanyaan penting di sini, mengapa malu merupakan bagian dari iman? Mengapa pula ia disebutkan secara tersendiri dari sekian cabang-cabang iman? Ada pun mengapa ia merupakan bagian dari iman, hal ini karena seperti yang dikatakan, Ibn Qutaibah rahimahullah, “Sesungguhnya malu mencegah pemiliknya dari melakukan perbuatan maksiat sebagaimana iman mencegahnya, maka dinamakan dengan iman. Sebagaimana juga sesuatu dinamakan dengan nama yang mewakilinya.”

Ibn al-Atsir rahimahullah berkata, “Malu yang merupakan watak merupakan bagian dari iman. Ia juga sesuatu yang dihasilkan (bukan eksis dengan sendirinya) sebab dengan sifat malunya, si pemalu akan terputus dari perbuatan-perbuatan maksiat sekalipun bukan sebagai tameng atau pencegah baginya. Maka jadilah ia seperti iman yang memutus antara pelaku maksiat dan kemaksiatan. Malu dijadikan sebagian iman karena iman terbagi kepada sikap mengikuti perintah Allah subhanahu wata’ala dan berhenti dari larangan-Nya. Bila sudah berhenti melalui sifat malu, maka ia menjadi sebagian dari iman.” (an-Nihayah Fi Gharib al-Hadits, I:470)

Perbedaan Malu Secara Syari’at Dan Bukan Syari’at

Sementara mengapa malu disebut kan secara tersendiri dari sekian cabang-cabang iman, maka hal itu karena malu ibarat pendorong kepada sisa cabang-cabang tersebut sebab si pemalu takut dirinya mendapat malu di dunia dan akhirat, sehingga ia mengikuti perintah dan mengambil pelajaran.

Dari sini diketahui, betapa kedudukan dan nilai sifat malu yang merupakan pengawasan internal yang mengontrol prilaku-prilaku manusia, mendorongnya melakukan perbuatan baik dan mencegahnya melakukan perbuatan buruk, meskipun berten tangan dengan kemauan dirinya. Bila seseorang menampilkan sifat malu, maka ia dapat menggiringnya kepada setiap kebaikan dan menghalanginya dari setiap keburukan. Akan tetapi hal ini memerlukan kesungguhan, kegigihan, latihan diri dan sikap mengharap pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Inilah malu ‘syar’i’ yang dituntut itu.! seperti yang dikatakan para ulama, malu ‘syar’i’ adalah malu yang selalu bergandengan dengan ilmu dan niat yang baik. Ia adalah motivator untuk melakukan perintah dan meninggalkan larangan. Ia yang menyebabkan para tokoh dihargai dan dihormati.!

Sementara malu bukan syar’i (tidak sesuai syari’at) sebagaimana yang dikatakan al-Hafizh Ibn Hajar rahimahullah, “Dan tidak dapat dikatakan, “Betapa banyak sifat malu yang dapat mencegah dari mengatakan kebenaran atau melakukan kebaikan, sebab itu bukanlah malu secara syari’at (malu ‘syar’i’).” (Fat-h al-Bari, I:52)

Ia juga mengatakan, “Ada pun yang menjadi sebab ditinggalkannya perkara syari’at, maka hal itu dicela dan bukan merupakan malu ‘syar’i’ tetapi kelemahan dan kehinaan.!”

Tiga Tipe Manusia

Dulu orang-orang bijak selalu mengatakan, “Ada tiga tipe laki-laki:

– Pertama; Laki-laki yang melakukan perbuatan baik seraya mengharapkan pahalanya.

– Ke dua; Laki-laki yang melakukan perbuatan buruk kemudian bertaubat darinya seraya berharap ampunan Allah subhanahu wata’ala.

– Ke tiga; Laki-laki pembohong yang terus-menerus melakukan dosa seraya mengatakan, “Aku berharap ampunan Allah subhanahu wata’ala.”

Siapa yang mengetahui dirinya berbuat buruk, maka hendaklah rasa takutnya lebih dominan.!” (Tsalatsu Syu’ab Minal Jami’ Li Syu’ab al-Iman Li al-Baihaqi, I:297)

Tipe pertama dan kedua masih memiliki rasa malu sedangkan tipe ke tiga adalah orang yang menuruti hawa nafsu dan tidak mengerti makna malu.

Sejumlah Pertanyaan Dan Jawabannya

Timbul pertanyaan, Lalu apa jalan menuju sifat malu itu? Bagaimana manusia mengetahui dirinya; apakah termasuk golongan orang-orang yang mempunyai rasa malu atau para penipu dan hanya menipu diri sendiri tanpa sadar.?

Jawabannya adalah sebagaimana terhimpun dalam jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabatnya saat beliau bertanya kepada mereka, “Malulah kamu terhadap Allah dengan sebenar-benarnya.!” Mereka berkata, “Demi Allah, alhamdulillah, kami sungguh merasa malu terhadap Allah subhanahu wata’ala, wahai Rasulullah. Beliau berkata, “Bukan demikian. Akan tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu adalah dengan menjaga kepala dan apa yang ditangkapnya; menjaga perut dan apa yang dikandungnya (isinya) dan mengingat kematian dan cobaan. Siapa yang menginginkan akhirat, maka ia akan meninggalkan perhiasan dunia dan mementingkan akhirat ketimbang dunia.” Barangsiapa yang melakukan hal itu, maka berarti ia telah malu terhadap Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR.at-Turmudzi, dishahih kan al-Hakim, disetujui adz-Dzahabi)

Gejala-Gejala Kurang Malu

Secara umum, di antara gejala kurang malu adalah:

– Melakukan perbuatan maksiat secara terang-terangan, apapun perbuatan maksiatnya.

– Memiliki akhlak yang buruk seperti suka mencaci, fasiq, banyak bercanda, berucap kotor, sombong, dusta, menipu dan sejenisnya.

– Tidak menghormati orang lain dan menghargai perasaan mereka.

Semoga kita semua dapat berhias dengan sifat malu dan terhindar dari hal-hal yang mengotorinya, amin. (Abu Shofiyyah)

Sumber: “Min Kalam an-Nubuwwah al-Ula”, Dr Sulaiman bin Hamd al-Oadah.