Bagian Kedua
Hukum Pengguguran Janin Sebelum Peniupan Ruh

Beberapa madzhab fiqh berselisih pendapat tentang hukum menggugurkan janin yang usianya belum mencapai empat bulan atau belum ditiupkan ruh kepadanya. Banyak sekali perbedaan pendpat yang ada di antara madzhab-madzhab itu, bahkan antar ulama’ dalam satu madzhab pun juga berselisih pendapat yang ada , hingga kami melihat adanya banyak pendapat di dalam setiap madzhab. Mungkin yang menyebabkan adanya perbedaan madzhab itu adalah tidak adanya batasan tertentu untuk berpendapat dalam madzhab-madzhab tersebut, apalagi seperti yang saya sebutkan, tidak adanya nash-nash syari’at yang secara langsung membahas masalah ini.

Di dalam bagian ini, kita akan mengemukakan pendapat-pendapat setiap madzhab dan menunjukkan pendapat mana yang lebih kuat:

Madzhab Hanafi
1. Para fuqaha dari madzhab Hanafi membolehkan pengguguran kandungan janin sebelum peniupan ruh, jika mendapat izin dari pemilik janin, yaitu kedua orang tuanya. Kebanyakan argumen yang mereka kemukakan tentang bolehnya menggugurkan janin sebelum peniupan ruh ini, karena senelum peniupan ruh, belum terjadi penciptaan apapun pada janin, baik sebagian atau keseluruhan. Dan munculnya gambaran yang sempurna pada janin menunjukkan bahwa janin tersebut telah ditiupkan roh kepadanya. Ibnu al-Hammam berkata, “Bolehkan menggugurkan janin setelah kehamilan?Diperbolehkan selama belum terbentuk apa pun pada janin.” Kemudian di tempat lain beliau berkata, “Hal itu tidak terjadi kecuali setelah janin berusia seratus dua puluh hari, karena pada saat itu penciptaan telah sempurna dan siap ditiupkan roh. Jika tidak demikian, berarti pendapat mereka salah. Karena penciptaan benar-benar telah terjadi dan dapat disaksikan dengan indera sebelum fase ini.” (Syarh Fath al-Qadir, juz. II, hal. 495.)

Ibnu Abidin menyatakan bahwa fuqaha madzhab ini berkata, “Diperbolehkan menggugurkan kandungan selama janin masih masih dalam bentuk segumpal daging atau segumpal darah dan belum terbentuk anggota badannya. Mereka menetapkan menetapkan bahwa waktu terbentuknya janin adalah setelah janin berusia seratus dua puluh hari. Mereka membolehkannya sebelum waktu itu, karena janin itu belum menjadi manusia.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz. I, hal. 302). Kemudian Ibnu Abidin mengatakan, “Tetapi pendapat ini dipermasalahkan di dalam kitab al-Bahr, bahwa pembentukan janin telah terjadi sebelum fase itu dan dapat disaksikan dengan jelas serta selaras dengan beberapa riwayat yang shahih, “ Jika janin telah melalui dua kali empat puluh hari (80 hari) maka Allah mengutus seorang malaikat kepadanya lalu membentuknya, menciptakan pendengaran, penglihatan, dan kulitnya,” dan ini juga sesuai dengan apa yang ditemukan oleh para dokter.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz. I, hal. 302).

Dari beberapa teks fiqh di atas, tampaklah bahwa pada hakikatnya madzhab Hanafi membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh dan sebelum pembentukan dan pencipataan menurut sebagian mereka. Sekalipun mereka salah dalam menetapkan awal waktu penciptaan, namun pendapat menera saling membenarkan satu sama lain.

Tampak pula bahwa para fuqaha madzhab Hanafi ini membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh baik itu karena ada halangan ataupun tidak. Mereka telah mengungangkapkan masalah ini secara muthlak tanpa embel-embel. Akan tetapi mereka mensyaratkan kebolehannya, yaitu tidak melanggar hak kedua orang tuanya, artinya tidak boleh bagi orang luar untuk menggugurkan kandungan seorang isteri kecuali atas izinya dan izin suaminya. Karena bila itu dilakukan berarti telah melakukan penganiayaan kepada sang ibu, sehingga yang berangkutan bisa dihukum dengan hukuman yang ditetapkan oleh hakim namun tdak harus menggantinya dengan budak. Karena penggantian dengan budak tidak diwajibkan kecuali bila seorang menggugurkan janin yang sudah ditiupkan ruh kepadanya. Begitu juga jika isteri menggugurkan janin tidak seizing suaminya, maka dia berdosa dan harus memberi ganti rugi, karena suami juga mempunyai hak terhadap janin tersebut walaupun belum ditiupkan ruh kepadanya. Akan tetapi pengharaman di sini bukannya karena membunuh janin itu sendiri, melainkan karena melanggar hak orang lain tanpa seizinnya. (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz. VI, hal. 591).

2. Ibnu Abidin menukil dari beberapa ahli fiqh dalam madzhab Hanafi, bahwa mereka mengharamkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh, karena jani pada masa ini merupakan bakal manusia yang nantinya akan menjadi manusia atas kehendak Allah. Seperti seorang yang sedang ihram, ia tidak boleh memecahkan telur binatang buruan dan bila itu dilakukan, maka tetap akan mendapatkan hukuman, karena telur itu bakal binatang buruan. Begitu juga orang yang merusak bakal manusia. Mereka mengatakan, “Saya tidak mengatakan bahwa seorang ibu yang menggugurkan janin sebelum peniupan ruh itu tidak berdosa, tetapi dosa yang diterimanya tidak sebesar dosa yang diakibatkan pengguguran janin yang sudah ditiupkan ruh kepadanya.” Namun demikian, kelompok ini membolehkan pengguguran kandungan karena adanya alas an yang diterima. Di antara udzur (alas an) yang bisa diterima itu adalah terputusnya susu ibu setelah muncul kehamilan, dan kedua orang tua bayi itu tidak mampu menyusukannya kepada orang lain sehingga takut anaknya mati. “ (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz. VI, hal. 591).

3. Sebagian ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh hukumnya boleh tetapi makruh. Karena setelah ziqot menempel pada dinding rahim, dia adalah hidup.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz. VI, hal. 591).

Madzhab Maliki
Para ulama madzhab Maliki berselisih pendapat tentang hukum pengguguran janin sebelum peniupan ruh. Perbedaan itu bisa kita klasifikasi sebagai berikut.

1. Para ulama mereka mengharamkan pengguguran kandungan setelah air mani berada di dalam rahim. Syaikh Ahmad ad-Dardir berkata, “Tidak boleh mengeluarkan mani yang telah tertanam di dalam rahim walaupun sebelum berusia empat puluh hari. “(Asy-Syarh al-Kabir Ma’a Hasyiah ad-Dasuqi, juz. II, hal. 267).

Syaikh Alaisy berkata, “Jika rahim telah menangkap air mani, maka tidak boleh bagi suami isteri ataupun salah satu dari mereka untuk menggugurkan janinnya, baik sebelum penciptaan maupun sesudah penciptaan. “ (Fath al-Ali al-Malik, juz. I, hal. 399). Dinukil dari pendapat Ibnul Arabi: Seorang anak mempunyai tiga keadaan:

Pertama, keadaan sebelum adanya pencampuran antara sperma dengan ovum yang digugurkan dengan melepasnya di luar rahim ketika sperma keluar, dan ini hukumnya boleh.
Kedua, keadaan setelah rahim nenangkap sperma, maka pada saat itu tidak boleh seeorang pun untuk menggugurkannya. Seperti yang dilakukan oleh para pedagang murahan yang menjual ramuan-ramuan tertentu yang jika diminum, ziqot itu akan keluar dari rahim, sehingga gugurlah kandungannya.
Ketiga, keadaan setelah janin mencapai kesempurnaan bentuk sebelum peniupan ruh, maka ini lebih tidak diperbolehkan untuk digugurkan. Adapun setelah peniupan ruh, maka tidak diperselisihkan lagi, ini termasuk pembunuhan. (Fath al-Ali al-Malik, juz. I, hal. 400; Hasyiyah ar-Rahwani ala Syarh az-Zarqani, juz III, hal. 264)

Kemudian Syaikh Alaisy berkata; “Jika saya berpijak dari pendapat al-Qadhi al-Muhaqqiq Abu Bakar di atas, maka saya tahu secara pasti bahwa kesepakatan suami isteri untuk menggugurkan kandungan hukumnya haram, tidak diperbolehkan dalam bentuk apapun. Dan Ibu yang menggugurkannya harus mengganti dengan budak dan mesti diberi peralatan. Kecuali jika suaminya yang menanggung dalam membebaskan budak tersebut.” (Fath al-Ali, al-Malik, juz. II, hal. 400).

Walaupun demikian, dari tulisan para ulama madzhab Maliki yang mengharamkan pengguguran kandungan dari fase perkembangan ke fase berikutnya di atas dapat dipahami bahwa keharamannya itu bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan umur janin hingga akhirnya pengguguran kandungan itu dianggap pembununuhan setelah peniupan ruh. Ini bisa kita lihat dari penjelasan Ibnul Arabi di atas, begitu juga yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi berikut; “Jika sperma telah berada di dalam rahim, maka tidak boleh dikeluarkan dan lebih tidak boleh lagi ketika janin sudah ditiupkan ruh kepadanya.” (Fath al-Ali, al-Malik, juz. II, hal. 400). Begitu juga istihsan yang dikeluarkan oleh Ibnu Rusyd al-Maliki tentang tidak wajibnya mengganti dengan budak bagi orang yang menggugurkan janin sebelum peniupan ruh. Dia berkata; “Mereka berselisih pendapat dalam masalah ini, yaotu tentang ciptaan yang harus diganti dengan budak. Imam Malik berkara, “Setiap mudhgah (segumpal daging) atau ‘alaqah (segumpal darah) yang digugurkan dan diketahui bahwa dia bakal menjadi anak, maka pelakunya harus menggantinya dengan budak,” dan Imam Syafi’i berkata, “Tidak diwajibkan mengganti apa-apa hingga janin mempunyai bentuk,”. Dan yang paling benar adalah diwajibkan mengganti dengan budak bila menggugurkan janin yang telah ditiupkan ruh.” (Bidayah al-Mujtahid, juz. II, hal. 416)

2. Sebagian fuqaha Malikiyah memakruhkan pengguguran kandungan setelah janin terbentuk di dalam rahim sebelum berusia empat puluh dari dan menharamkannya sesudah itu. (asy-Syarh al-Kabir ma’a Hasyiyah ad-Dasuqi, juz. I. hal. 267)

3. al-Lakhami selah seorang ulama Malikiyah berpendapat, bahwa menggugurkan janin sebelum berusia empat puluh hari hukumnya boleh dan tidak harus mengganti apa-apa. (Hasyiyah ar-Rahwani ala Syarh az-Zarqani, juz. III. Hal. 264 dan Fath al-Ali, al-Malik, juz. I, hal. 399.

4. Sebagian fuqaha Malikiyah berpendapat, diberi rukhshah (keringanan) untuk menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh jika janin itu hasil dari perbuatan zina dan khususnya jika wanita takut akan dibunuh jika ketahuan bahwa dirinya hamil. (Fath al-Ali, juz. I, hal. 399).

Dari pendapat para ulama madzhab Maliki ini, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka sepakat mengharamkan pengguguran kandungan jika janin telah berusia empat puluh hari. Sedangkan sebelum janin berusia empat puluh hari, mayoritas ulama mereka mengharamkan, ada senagian yang memakruhkan, al-Lakhami membolehkan, dan sebagian yang lain memberikan rukhshah jika dilakukan sebelum peniupan ruh, jika janin itu merupakan hasil dari hubungan zina.

Madzhab Syafi’i.
Para fuqaha madzhab Syafi’i, berselisih pendapat dalam menetapkan hukum pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh, yang dapat kita klasifikasikan menjadi beberapa pendapat berikut:

1. Pendapat pertama –yang paling dipegang oleh madzhab ini-, bahwa menggugurkan kandungan selama janin belum ditiupkan ruh kepadanya adalah boleh. Syaikh Qalyubi berkata, “Ya, boleh menggugurkannya walaupun dengan obat sebelum peniupan ruh pada janin, sebagai sanggahan atas pendapat al-Ghazali. “ (Hasyiyah Qalyubi ala Syarh al-Muhalla ala al-Minhaj, juz. III, hal. 159, 160). Ar-Ramli berkata di dalam Nihayah al-Muhtaj, setelah menyebutkan pendapat al-Ghazali yang mengharamkan pengguguran kandungan, “Yang benar, diharamkan setelah peniupan ruh secara muthlak dan dibolehkan sebelumnya.” (Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, juz. VIII, hal. 416).

2. ar-Ramli juga sampai kepada suatu kesimpulan, yang akhirnya menjadi pegangan bagi madzhab ini, yaitu memakruhkan pengguguran janin sebelum peniupan ruh dan mengaharamkannya setelah memasuki waktu yang telah mendekati peniupan ruh. Karena sulitnya mengetahui secara pasti waktu peniupan ruh tersebut, maka diharamkan penggugurannya sebelum mendekati waktu peniupan ruh untuk berjaga-jaga, seperti ketika peniupan ruh dan sesudahnya. Di dalam an-Nihayah, dia mengatakan, “Telah dikatakan bahwa sejak peniupan ruh, sesudahnya dan hingga dilahirkan –tidak diragukan lagi- adalah haram hukumnya. Adapun sebelum peniupan ruh tidak diharamkan, sedangkan waktu yang mendekati waktu peniupan ruh, diperselisihkan antara boleh dan haram, namun yang rajih (kuat) adalah diharamkan, karena itu adalah waktu yang mendekati waktu keharamannya.” (Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, juz. VIII, hal. 416). Mungkin pendapat ini adalah pendapat yang ar-Ramli sendiri concong kepadanya, dan bukan pendapat yang dianut di dalam madzhab. Jika tidak tentu dia sudah mengatakan pada saat itu pula setelah menukil pendapat al-Ghazali dan pendapat-pendapat ulama lain, “Pendapat yang benar, diharamkan setelah peniupan ruh secara muthlak dan diperbolehkan sebelumnya.” Dari sini, maka jelaslah bahwa pendapat yang rajih (kuat) menurut madzhab ini adalah pengguguran janin sebelum peniupan ruh diperbolehkan, sedangkan ketika usia janin sudah mendekati waktu peniupan ruh makruh hukumnya, sedangkan setelah peniupan ruh haram hukumnya. Demikian yang dijelaskan di dalam kitab Hasyiyah al.Jumal. (Hasyiyah al-Jumal ala Syarh al-Manhaj)

Mungkin dari pendapat inilah Syaikh Qalyubi menukilnya dari beberapa ulama madzhab Syafi’i, bahwa menggugurkan kandungan pada masa ‘alaqah (segumpal darah) dan nutfah (ziqat) diperbolehkan dan diharamkan jika setelah itu, seperti yang dikatakan di dalam Hasyiyahnya. Al-Karabisi berkata, “Saya bertanya kepada Abu Bakar Sa’id al-Furati tentang seorang laki-laki yang memberi minum seorang perempuan untuk menggugurkan kandungannya, lalu beliau menjawab, “Selama janinnya masih dalam keadaan ziqot atau segumpal darah, insya Allah diperbolehkan.” (Hasyiyah Qalyubi ala Syarh al-Muhalla ala Minhaj, juz. V, hal. 490)

Demikian juga al-Bayjirami menukil dari Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa ia berkata, “Diperbolehkan menggugurkan janin yang masih berupa ziqot dan segumpal darah. Pendapat ini dinukil dari Abu Hanifah.” (Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khathib, juz. III, hal. 303.

Berdasarkan pendapat ini, maka pengguguran kandungan yang sudah menjadi mudgah (segumpal daging) atau pada empat puluh hari sebelum peniupan ruh, hukumnya haram. Pembahasan inilah yang dimaksudkan oleh ar-Ramli dalam pernyataannya.

3. Imam Abu Hamid al-Ghazali mengharamkan pengguguran janin pada semua fase perkembangan kehamilan dan dengan terus terang dia mengatakan bahwa janin dengan segala fase perkembangan umurnya sebelum peniupan ruh, haram untuk digugurkan. Kita sebutkan di sini argumennya di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin untuk menambah kesempurnaan pemahaman. Setelah membolehkan penumpahan air mani di luar rahim namun lebih baik tidak melakukannya, dia berkata; “Penumpahan air mani di luar rahim bukan termasuk pengguguran dan pembunuhan, karena pengguguran adalah kejahatan terhadap wujud manusia dan wujud ini bertingkat-tingkat. Tingkat terendah dari wujud ini adalah ketika air mani tumpah di dalam rahim dan bercampur denga ovum wanita sehingga siap menerima kehidupan. Merusak wujud ini adalah kejahatan dan jika sudah menjadi segumpal darah dan segumpal daging, maka kejahatan itu lebih keji, dan jika telah ditiupkan ruh dan telah menjadi ciptaan yang sempurna, maka kejahatan itu bertambah keji lagi, dan kejahatan terkeji dalam hal ini adalah jika melakukan pembunuhan terhadap anak yang sudah dilahirkan. Menurut kami, bahwa sebab awal terjadinya wujud ini adalah karena masuknya air mani ke dalam rahim, bukan karena dia keluar dari saluran kencing. Karena anak tidak tercipta dari air mani laki-laki semata, melainkan dari kedua suami istri. Maka bagaimana pun, ovum perempuan merupakan salah satu factor bagi terjadinya wujud ini, sehingga kedua air itu (sperma dan ovum) secara hukum berjalan seperti jalannya ijab dan qabul di dalam akad jual beli. Barangsiapa yang melakukan jual beli, kemudian dia menarik kembali tawarannya sebelum terjadi penerimaan tawaran, maka hal itu tidak termasuk merusak akad jual beli, namun jika akad ijab dan qabul telah terjadi, maka jika digagalkan berarti telah merusak akad, membetalkan dan menggugurkannya. Begitu juga dengan air mani di dalam kantong sperma tidak akan menjadi anak, begitu juga setelah keluar dari saluran kencing, selama belum bertemu ovum wanita. Ini adalah analogi yang jelas.” (Ihya Ulumiddin, juz II, hal. 53)

Pendapat yang oleh al-Ghazali ini berpengaruh terhadap sebagian ulama Syafi’iyah yang datang sesudah al-Ghazali. Mungkin apa yang saya nukil dari ar-Ramli di atas yang memakruhkan pengguguran kandungan empat puluh hari sebelum peniupan ruh itu, merupakan salah satu dari adanya pengaruh tersebut. Begitu juga yang dinukil oleh Qalyubi dari beberapa ulama madzhab Syafi’i yang membolehkan pengguguran janin pada fase ziqot dan segumpal darah, dan mengharamkannya setelah itu, atau pada fase segumpal daging, karena dekatnya masa itu dengan masa peniupan ruh.

4. Mungkin perlu disebutkan bahwa tidak ada satu pun ulama madzhab Syafi’i yang melarang untuk menggugurkan janin sebelum peniupan ruh jika kehamilan itu merupakan hasil dari zina yang pada wanita. (Nihayah al-Muhtaj, juz. VIII, hal. 416; Hasyiyah al-Jumal, juz. V, hal. 491; Tuhfah al-Habib, juz III, hal. 303)

Akan tetapi pendapat ini dianggap sebagai pendapat yang kuat di dalam madzhab ini, sehingga mereka membolehkan secara muthlak dan apabila ada udzur. Akan tetapi mungkin tujuan para ulama itu adalah mensyaratkan bagi orang-orang yang mengharamkan atau memakruhkan dari ulama madzhab ini, bahwa memang pengguguran itu tidak diperbolehkan jika tidak ada alas an yang rasional, namun jika ada lasan yang rasional, maka semuanya membolehkan. (Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khathib, juz. III, hal. 303.

Madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali, ada beberapa pendapat tentang hukum pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh.

1. Pendapat mereka secara umum dalam madzhab, membolehkan pengguguran kandungan pada fase perkembangan pertama sejak terbentuknya janin, yaitu fase ziqot, yang usianya maksimal empat puluh hari dan setelah empat puluh hari tidak boleh digugurkan.

Sebagian kelompok dari ulama mereka mengatakan bahwa boleh meminum obat untuk menggugurkan ziqot. (al-Inshaf, juz. I, hal. 386, al-Furu’, juz. VI, hal. 191). Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Sahabat-sahabat kami secara terus terang mengatakan, bahwa jika janin telah menjadi segumpal darah tidak diperkenankan bagi wanita untuk menggugurkannya, karena dia sudah menjadi anak, lain halnya dengan ziqot, karena dia belum menjadi anak.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 46)

2. Ibnul Jauzi berpendapat mengharamkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh di semua fase perkembangan janin. Demikian yang dinukil al-Mawardi darinya.” (al-Inshaf, juz. I, hal. 386)

3. Sebagian ulama’ Hambali membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh secara muthlak tanpa mensyaratan fase-fase tertentu. Hal ini dinukil oleh penulis kitab al-Furu’ dari Ibnu Aqil dan ia berkata seperti itu. (al-Inshaf, Juz. I, hal. 386). Di antara ulama madzhab Hambali yang juga berpendapat seperti itu adalah Yusuf bin Abdul Hadi yang berkata, “Boleh meminum obat untuk menggugurkan janin yang sudah menjadi segumpal daging.”

Penjelasan Sikap Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.
Sebaiknya dalam hal ini kita menjelaskan bahwa Ibnu Qudamah al-Hambali tidak menyatakan secara terus terang di dalam bukunya al-Mughni, untuk menjelaskan tentang hukum pengguguran janin sebelum peniupan ruh, baik mengharamkan atau membolehkan. Akan tetapi kita bisa menilai dari perkataan yang inginkannya tentang diyat (denda) janin, bahwa dia mengharamkan pengguguran kandungan pada fase mudghah (segumpal daging) atau fase persiapan untuk menerima ruh, yaitu empat puluh hari sebelum peniupan ruh, dengan syarat harus disaksikan oleh para ahli bahwa pada mudghah itu sudah ada bentuk manusia walaupun sedikit. Untuk itu dia berpendapat tentang adanya diyat pada janin dan membayar kafarat pada fase ini, seperti halnya jika digugurkan setelah peniupan ruh. Wajibnya membayar kafarat menunjukkan atas haramnya tindakan ini secara qath’i (jelas) dan dianggap sebagai pembunuhan. Karena kafarat tidak diwajibkan kecuali jika terjadi pembunuhan yang diharamkan.

Demikian yang kami pahami dari perkataan Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni. Teks aslinya berbunyi, “Demikian pula tidak wajib bertanggung jawab jika janin belum berbentuk manusia, maka jika janin itu digugurkan sebelum berbentuk manusia , tidak apa-apa. Namun, jika kita tahu bahwa ternyata janin tersebut setelah digugurkan telah berbentuk manusia –walaupun kecil- maka pelakunya wajib membayarnya dengan budak. Namun bila kita melihatnya sebagai awal penciptaan manusia, walaupun telah tampak bentuknya, maka di dalamnya ada dua kemungkinan, dan yang paling benar adalah tidak wajib membayar denda, karena dia belum terbentuk dan posisinya sama dengan segumpal darah, karena asalnya adalah bebas dari tanggungan, maka tidak perlu kita ragu-ragu di dalamnya.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa di dalamnya ada denda (mengganti dengan budak). Karena dia awal penciptaan manusia, dan jika membentuk dia akan seperti manusia. Kemudian dia berkata untuk menyangkal pendapat kedua, “Hal ini dibatalkan karena itu masih termasuk ziqot dan segumpal darah.” (al-Mughni, hal. 539). Atau tidak ada denda di dalam keduanya walaupun keduanya awal penciptaan manusia. Di tempat yang lain beliau berterus terang, bahwa setiap orang yang mewajibkan untuk membayar denda yang berupa membebaskan budak, maka dia juga harus membayar kafarat (denda). (al-Mughni, juz. IX, hal. 556-557).

Dari penjelasan di atas nampak bahwa Ibnu Qudamah telah mewajibkan untuk membayar ghurrah (mengaganti janin dengan budak) dan kafarat pada awal pembentukan atau penciptaan janin seperti manusia, dan itu tidak terjadi pada dua fase perkembangan sebelumnya, yaitu fase nuthfah (zigot) dan alaqah (segumpal darah). Adapun pada fase mudghah (segumpal daging), menurut pendapatnya di atas, merupakan awal dari pembentukan manusia walaupun masih sederhana, maka dia berpendapat bahwa menggugurkan kandungan di dalamnya sama dengan menggugurkan kandungan setelah peniupan ruh dengan syarat janin itu sudah terbentuk walaupun sederhana, maka wajib membayar ghurrah dan kafarat.

Akan tetapi pendapat Ibnu Qudamah yang mewajibkan kafarat dalam pengguguran kandungan pada fase mudghah (segumpal darah) yang sudah berbentuk manusia itu, bertentangan dengan pendapatnya yang dinyatakan ketika dia membahas tentang hukum keguguran (atau anak yang dilahirkan wanita dalam keadaan mati atau tidak sempurna). Dia mengatakan, “Adapun janin yang belum berusia empat bulan, maka dia tidak wajib dimandikan dan dishalati, tapi dia harus dikafani dan dikubur. Kami tidak melihat dalam permasalahan ini adanya perbedaan pendapat kecuali dengan Ibnu Sirin. Menurut Ibnu Sirin, janin itu harus dishalati jika diketahui bahwa dia telah ditiupkan ruh kepadanya. Hadits Rasulullah menunjukkan bahwa tidak ditiupkan ruh kecuali setelah janin berusia empat bulan, maka sebelum itu dia tidak disebut jiwa, sehingga tidak perlu dishalati, seperti halnya benda mati dan darah.” (al-Mughni, juz. II, hal. 398).

Itulah penjelasan yang terus terang mengatakan bahwa janin sebelum peniupan ruh tidak disebut jiwa atau manusia, sehingga mengharuskan tidak adanya kafarat bila menggugurkannya. Jadi, pendapat ini bertentangan dengan pendapatnya yang lain, yang mewajibkan kafarat dalam pengguguran kandungan pada fase mudghah dengan syarat adanya bentuk manusia walaupun belum sederhana. Karena kafarat adalah pembebasan budak perempuan budak perempuan yang tidak diwajibkan melakukannya pada pembunuhan, kecuali pembunuhan terhadap manusia hidup.

Adapun hal-hal yang tidak bertentangan antara pendapat pertama dan pendapat kedua, bahwa Ibnu Qudamah menjadikan fase mudghah yang sudah berbentuk manusia sebagai dalil atau semacam dalil yang menunjukkan tercapainya peniupan ruh, yaitu usia janin telah mencapai empat bulan dan terjadinya kesalahan dalam perhitungan kedua fase tersebut. Inilah beberapa pendapat yang sama dengan pendapat sebelumnya dari sebagian ulama Syafi’iyah yang menganggap periode mudghah sebagai masa-masa yang mendekati waktu peniupan ruh sehingga perlu berhati-hati.

Dari penjelasan di atas, tidak selayaknya seseorang menyimpulkan bahwa Ibnu Qudamah membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh dengan alas an dia tidak mewajibkan kafarat bagi orang yang menggugurkan kandungan pada usia ini, karena tujuan dia mengatakan tidak mewajibkan kafarat itu adalah bahwa menggugurkan janin pada usia tersebut tidak dikatakan membunuh manusia, tidak termasuk dosa besar , dan tidak diharankan secara muthlak, karena banyak kemaksiatan yang tidak diwajibkan oleh syari’at untuk membayar kafarat, bahkan banyak penganiaaan jasad manusia yang tidak diwajibkan bagi pelakunya untuk membayar kafarat seperti melukai, memukul, memotong dan sebagainya, padahal semua itu hukumnya haram.

Dari sini kita tahu bahwa perkataan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni tidak menunjukkan bahwa dia mengharamkan ataupun membolehkan sebelum peniupan ruh, melainkan secara jelas dia berpendapat bahwa pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh tidak dianggap pembunuhan terhadap jiwa manusia, dan tidak sama dengannya, baik dari segi larangan du dunia maupun dosanya di akhirat.” (Lihat, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, juz. II, hal. 59; al-Injab fi Dhau’ al-Islam, hal. 273).

Madzhab Ibnu Hazm azh-Zhahiri
Ibnu Hazm tidak mempunyai pendapat yang jelas mengenai hukum pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh, akan tetapi beliau menegaskan bahwa menggugurkan kandungan sebelum usia janin mencapai empat bulan persis tidak dianggap pembunuhan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Karena pembunuhan adalah menghilangkan ruh dari jasad, sementara janin pada saat itu tidak mempunyai ruh. Seperti yang ditegaskan di dalam hadits shahih dari Rasulullah, bahwa ruh tidak ditiupkan kepada anak adam kecuali setelah empat bulan dari awal kehamilan. Akan tetapi beliau berpendapat wajib membayar diyat atau gurrah walaupun umurnya masih relatif dini, namun tidak wajib kafarat.

Demikian bunyi pernyataan Ibnu Hazm, “Barangsiapa memukul orang hamil lalu menyebabkan janinnya keguguran, jika usia janin itu belum mencapai empat bulan persis, maka tidak ada kafarat baginya tetapi hanya wajib membayar ghurrah saja. Karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menghukumi dengan hukuman seperti itu. Dia tidak membunuh seseorang tetapi hanya menggugurkan janin saja. Karena dia tidak membunuh seseorang, baik disengaja maupun tidak disengaja, maka tidak ada kafarat dalam hal ini, karena tidak ada kafarat kecuali dalam pembunuhan yang tidak di sengaja dan tidak dibunuh kecuali orang yang sudah punya ruh, sementara janin itu belum ditiupkan ruh kepadanya.” (al-Muhalla, juz. VIII, hal. 30).

Kemudian Ibnu Hazm berpendapat bahwa denda ghurrah janin yang belum ditiupkan kepadanya ruh diberikan ibunya bukan kepada pewarisnya, karena dia dianggap seperti anggota badan sang ibu dan dia menolak kalau denda itu diberikan kepada ahli warisnya. Beliau berkata, “Adapun pendapat mereka bahwa ghurrah adalah diyat seperti hukmu diyat. Dan ditetapkan di dalam hadits shahih bahwa diyat diwariskan kepada ahli waris, maka begitu juga dengan ghurrah.” Sesungguhnya ini adalah qiyas yang batil, karena janin yang belum ditiupkan ruh kepadanya tidak terbunuh, sehingga mengqiyaskan diyat orang yang tidak terbunuh dengan orang yang terbunuh adalah batil, walaupun pengqiyasan itu benar, karena mengqiyaskan sesuatu dengan lawannya adalah batal.

Adapun menurut kami, bahwa janin yang menurut keyakinan kita telah mencapai usia seratus dua puluh hari, maka denda ghurrah itu diberikan kepada ahli warisnya. Jika tidak yakin bahwa janin telah berusia seratus dua puluh hari, maka denda ghurrah itu diberikan kepada ibunya saja. Alasan kami adalah bahwasanya Allah Ta’ala berfirman, artinya “Barangsiapa membunuh seorang mukmin tanpa sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu. (QS. an-Nisa’:92)

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja, maka sebaiknya dia dilihat dari dua aspek; entah itu qishash atau membayar diyat.”

Memang benar, menurut al-Qur’an dan sunnah di atas, bahwa diyat korban yang dibunuh secara tidak sengaja diberikan kepada keluarganya. Dan korban tidak terjadi kecuali jika hidupnya dirampas hingga akhirnya mati, tanpa ada silang pendapat di antara ahli bahasa mengenai masalah yang dijelaskan oleh Allah dan Nabi-Nya tersebut. Janin setelah berusia seratus dua puluh hari, menurut penjelasan Rasulullah adalah manusia hidup, karena dia hidup maka dia bisa dibunuh. Adapun jika tidak yakin bahwa usianya melebihi seratus dua puluh hari, maka kami yakin bahwa dia belum hidup sama sekali. Jika belum hidup berarti tidak mempunyai ruh, jika tidak mempunyai ruh berarti tidak terbunuh, melainkan dia adalah zigot atau segumpal darah dari tulang dan daging, sehingga dia dianggap bagian dari anggota tubuh ibunya. Jika sesuatu tidak hidup maka tidak diragukan lagi tidak terbunuh, karena mayat atau benda mati tidak terbunuh, jika tidak terbunuh berarti bukan korban pembunuhan, sehingga pada dirinya tidak ada hukum pembayaran diyat bagi korban pembunuhan.” (al-Muhalla, juz. VIII, hal. 33).

Teks-teks yang kami nukil dari Ibnu Hazm di atas menjelaskan pendapatnya secara gamblang tentang hakekat pengguguran janin sebelum peniupan ruh, yaitu bahwa hal itu tidak dianggap pembunuhan jiwa manusia, melainkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh, tetapi menisbatkan pendapat haram kepadanya lebih baik daripada menisbatkan mubah kepadanya. Demikian itu karena walaupun dia tidak menganggapnya sebagai pembunuhan, tetapi dia mengatakan bahwa itu adalah perbuatan yang harus didenda. Sedangkan denda tidak diwajibkan kecuali pada perbuatan yang menghilangkan manfa’at sesuatu dan menghilangkan manfa’at tanpa ada udzur penghilangannya hukumnya haram.