Ketika sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikodifikasi pada abad-abad pertama dari sejarah umat ini, para ulama Mushthalah Hadits membagi hadits-hadits nabawi kepada hadits Mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak dalam jumlah yang sama pada setiap tingkatannya di mana mustahil mereka berbuat dusta karenannya) dan Ahad (hadits yang diriwayatkan oleh jumlah yang kurang dari hadits Mutawatir).

Tidak terbetik dalam hati seorang pun dari mereka bahwa hal ini kelak dapat menjadi hujjah yang membantah para Ahlul Ahwa Wal Bida’ (Para pengikut hawa nafsu dan bid’ah) sebab yang menjadi patokan menurut ulama as-Salaf ash-Shalih adalah validnya suatu hadits; bila valid, maka harus diamalkan, baik dalam masalah aqidah, hukum maupun akhlak. Sampai akhirnya tumbuhlah ‘benih’ buruk di tengah umat ini, yaitu Ahlul Ahwa Wal Bida’. Mereka lalu mengeluarkan pernyataan dusta, intinya bahwa masalah-masalah Aqidah tidak valid kecuali bila berupa hadits Mutawatir sedangkan hadit-hadits Ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah aqidah.!?

Sikap buruk ini berimplikasi pada penolakan terhadap nash-nash syari’at yang shahih dan valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta penolakan terhadap masalah-masalah terpenting dalam aqidah yang semuanya telah valid melalui hadits Ahad. Kita mempertanyakan, berapa sebenarnya jumlah hadits-hadits Mutawatir yang terdapat dalam sunnah nabawiyyah.? Ternyata jawabannya, tidak lebih dari 313-319 hadits saja, sebagaimana yang disebutkan oleh al-‘Allamah al-Kattani dalam Nuzhum al-Mutanatsir.

Apakah masuk di akal orang-orang yang berakal sehat menolak sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang valid, sementara yang diterima hanya sejumlah bilangan ini saja.? Sungguh aneh prilaku para pelaku bid’ah yang mengatakan dalam agama Allah subhanahu wata’ala ini sesuatu yang tidak mereka ketahui.!

Dulu pernah ada orang-orang yang datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beriman dan belajar perkara agama mereka, kemudian kembali kepada kaum mereka menjadi para penyeru agama Allah. Mereka terdiri dari orang perorangan dari beragam lapisan. Apakah Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka untuk menyampaikan dan menjelaskan hingga jumlah mereka mencapai Mutawatir yang karenanya baru dapat memerintah, melarang dan berdakwah.?!

Sama sekali tidak demikian! Imam al-Bukhari rahimahullah mengeluarkan hadits dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami kaum muda yang memiliki usia yang hampir merata pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu menetap bersama beliau selama 20 malam. Beliau seorang yang amat menyayangi kami. Tatkala ia mengira kami telah menginginkan dan rindu kepada keluarga, beliau bertanya kepada kami mengenai orang yang kami tinggalkan, lalu kami kabarkan kepadanya. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kembalilah kepada keluarga kamu, menetaplah bersama mereka, ajarilah mereka, perintahlah mereka dan shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.” (HR.al-Bukhari)

Tidak diragukan lagi, setiap orang yang memiliki hati yang sehat mengetahui, bahwa pasti hal pertama kali yang akan diserukan para pemuda tersebut kepada keluarga mereka adalah masalah aqidah dan iman kepada Allah subhanahu wata’ala. Para juru dakwah di sini merupakan orang perorangan (Ahad). Nah, bagaimana mungkin tidak mengambil ucapan mereka dalam masalah aqidah.? Apakah orang yang mengklaim bahwa hadits Ahad tidak boleh diambil dalam masalah aqidah lebih konsern terhadap agama dan perkembangannya daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman karena Mu’adz seorang diri, bukan Mutawatir.? Bukankah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengutus Abu ‘Ubaidah, Abu Musa al-Asy’ari, ‘Ali, Abu Bakar dan para shahabat lainnya.?

Berkata Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Beliau tidaklah mengutus dengan perintah melainkan hujjah telah tegak bagi seorang utusan dan atas masyarakat yang didakwahinya untuk menerima hadits Ahad dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mampu untuk datang sendiri kepada mereka lalu berbicara dengan mereka atau mengutus sejumlah orang kepada mereka lalu mengutus salah satu dari mereka yang dikenal jujur.” (ar-Risalah, hal.412)

Pendapat bahwa hadits Ahad tidak dapat diambil sebagai hujjah dalam masalah aqidah adalah pendapat yang diada-adakan, tidak ada landasannya dalam syari’at. Yang menjadi patokan adalah validitas hadits tersebut dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam; bila ia shahih, maka wajib diamalkan, baik itu dalam aqidah, hukum, adab, sunnah-sunnah atau pun akhlak. Sungguh aneh prilaku orang perorangan yang sudah pasti tidak ma’shum namun menolak hadits Ahad yang ma’shum.!

Untuk mengetahui kebatilan pendapat pihak yang berpendapat dan mengklaim bahwa hadits Ahad tidak dapat dijadikan dasar dalam aqidah, berikut sebagian dari permasalahan aqidah yang ditetapkan berdasarkan hadits Ahad. Hal ini agar kita mengetahui bahwa pendapat tersebut adalah ucapan terhadap Allah subhanahu wata’ala tanpa ilmu dan praduga yang tidak pernah Allah subhanahu wata’ala turunkan wahyu karenanya. Itu adalah pendapat yang sama sekali tertolak dalam aqidah kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah:

1).Pendapat mengenai kenabian Adam ‘alaihissalam.

2). Keutamaan Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas seluruh para Nabi dan Rasul.

3). Syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang agung pada hari Mahsyar dan syafa’atnya kepada umatnya
yang minum dari telaga Kautsar

4). Mukjizat terbelahnya bulan.

5). Hadits-hadits tentang asal mula penciptaan manusia.

6). Sifat malaikat dan jin.

7). Adanya sepuluh orang yang diberi kabar gembira masuk surga.

8). Iman kepada adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam kubur.

9). Iman kepada adanya azab kubur.

10). Iman kepada adanya mizan pada hari Kiamat.

11). Iman kepada adanya shirath.

12). Iman kepada adanya Haudh (telaga) dan bahwa yang meminum satu teguk saja darinya, maka ia tidak akan merasakan haus setelahnya.

13). Iman kepada adanya sejumlah 70 ribu orang dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang masuk surga tanpa hisab.

14). Iman kepada Qadha dan Qadar.

15). Iman kepada al-Qalam yang mencatatkan segala sesuatu.

16). Iman bahwa para pelaku dosa-dosa besar tidak dikekalkan di dalam api neraka.

17). Iman bahwa arwah-arwah syuhada berada di surga.

18). Iman bahwa Allah subhanahu wata’ala mengharamkan bumi memakan jasad para Nabi.

19). Iman bahwa Allah subhanahu wata’ala mempunyai para malaikat yang berpelesiran menyampaikan salam umat kepada Nabi mereka, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

20). Iman kepada keluarnya al-Mahdi, turunnya Isa dan keluarnya Dajjal.

Perlu diketahui, bahwa sebagian permasalahan ini ada yang ditetapkan dengan hadits Mutawatir. (al-‘Aqidah Fillah, Dr. Umar al-Asyqar)

Peran Ilmu Kalam

Sesungguhnya Ilmu Kalam yang tumbuh di bawah asuhan filsafat Yunani paganis-lah yang membuat keruh beningnya sumber pengambilan agama dari Kitabullah dan as-Sunnah bagi kaum Muslimin. Mengenai para Ahli Kalam itu, Imam asy-Syafi’i berkata, “Putusanku terhadap Ahli Kalam, bahwa mereka harus dipukuli dengan pelepah pohon kurma dan sandal, diseret berkeliling pasar lalu dikatakan, ‘Inilah balasan orang yang meninggalkan Kitabullah dan as-Sunnah dan mengambil Ilmu Kalam.'” (Shaun al-Manthiq Wa al-Kalam ‘An Fann al-Manthiq Wa al-Kalam, karya Imam as-Suyuthi, hal.31)

Akibat dari klaim bahwa hadits Ahad tidak dapat diambil dalam masalah aqidah hanyalah berasal dari Ilmu Kalam. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wata’ala semoga tidak menjadi orang-orang yang menolak hadits-hadits yang shahih dan valid dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya semata karena berdasarkan praduga dan klaim yang tidak perkuat oleh satu dalil pun, baik logika mau pun syari’at. Kita memohon kepada Allah subhanahu wata’ala semoga termasuk orang-orang yang tunduk kepada ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, perbuatan, dan taqrirnya. [Abu Shofiyyah]

SUMBER: Masa’il Hammah Fi Tauhid al-‘Ibadah karya Muhammad bin Sa’id bin Salim al-Qahthani.