Tanya :

Saya wanita Saudi yang menikah dengan laki-laki non Saudi yang berharap bisa memperoleh kewarganegaan Saudi. Setelah tujuh tahun berlalu dan ia belum berhasil memperoleh kewarganegaraan Saudi, ia memutuskan pergi ke Amerika bersama keluarganya untuk mendapatkan kewarga negaraan Amerika tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan saya dan tidak memberi tahu pihak keluarga saya kecuali baru-baru ini. Perlu diketahui, bahwa kondisi ekonominya cukup sederhana. Dulu ia bekerja pada ayah saya dengan gaji yang tinggi. Kini ia meninggalkan saya beserta ketiga anak saya di sebuah rumah milik ayah saya -semoga Allah menjaganya-. Saya bekerja sendiri untuk menghidupi diri dan anak-anak, dan dibantu oleh ayah saya dalam hal ini, karena suami saya tidak mengirimi apa-apa kepada kami. Namun demikian, ia bersikeras agar saya selalu meminta izinnya dalam segala sesuatu, baik kecil maupun besar dan dalam segala tindak tanduk saya, termasuk berkunjung ke saudara dan keluarga saya. Hal ini menimbulkan tekanan berat bagi saya. Sebagaimana yang anda ketahui, betapa mahalnya biaya percakapan internasional (via telepon), padahal ia tidak memberi nafkah kepada kami, sementara ia meminta saya menghubunginya untuk memberitahukan segala tindak tanduk saya.

Apakah saya diharuskan meminta izinnya dalam segala tindak tanduk saya, untuk bekerja, mengunjungi keluarga dan kerabat. Haruskan saya selalu telepon ke Amerika? Saya mohon jawaban. Semoga Allah memberikan kebaikan pada anda.

Jawab :

Dalam kondisi ini ia tidak boleh menahan istrinya tanpa memberi-nya nafkah dan tanpa memenuhi hak-haknya. Menurut kami, kasus ini perlu diadukan ke pengadilan syari’at dan menjelaskan kondisi si suami dan si istri, lalu meminta pemutusan tali pernikahan, sehingga si wanita bisa menikah dengan laki-laki yang mampu menafkahinya dan memenuhi kebutuhannya. Karena mempertahankan tali pernikahan dengannya, yang tinggal di Amerika, merupakan bahaya bagi si istri. Dan sikap suami itu termasuk dalam cakupan firman Allah Ta’ala,
“Janganlah kamu menahan mereka untuk memberi kemudha-ratan.” (Al-Baqarah: 231).
Maka hendaknya si suami mempertahankannya dengan cara yang baik atau berpisah dengan cara yang baik pula. Karena dengan begitu ia tidak lagi berkuasa terhadap si istri. Maka menurut kami, ia tidak berhak melarangnya keluar rumah untuk memenuhi keperluannya dan untuk bepergian dengan mahromnya. Jadi, si wanita boleh pergi tanpa izin dan tanpa sepengetahuannya. Wallahu a’lam.
( Diucapkan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, pada tanggal 15/5/1421 H. )