Setelah orang-orang kafir Quraisy menderita kekalahan di perang Badar, dengan terbunuhnya beberapa tokoh mereka dan sisanya tunggang-langgang melarikan diri kembali ke Makkah, dan Abu Sofyan tiba di Makkah dengan kafilah dagangnya, maka Abdullah bin Abi Rabi’ah, ‘Ikrimah bin Abi Jahal, Shafwan bin Umayyah serta beberapa tokoh Quraisy lain yang anak, bapak dan saudara-saudara mereka tewas menja-di korban dalam perang Badar, datang menemui Abu Sofyan lalu berbi-cara kepadanya dan kepada para pedagang Quraisy yang ikut bersama-nya: “Hai orang-orang Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah membi-nasakan kalian serta membunuh orang-orang terbaik kalian. Maka dari itu, bantulah kami dengan harta kalian itu untuk memeranginya. Mudah-mudahan kami dapat membalas dendam atas kematian orang-orang kita!” Abu Sofyan dan orang-orang yang bersamanya mengabulkan permintaan mereka itu.

Maka orang-orang kafir Quraisy sepakat memerangi Rasulullah SAW., setelah Abu Sofyan dan pedagang-pedagang Quraisy lainnya setuju memberi bantuan kepada mereka dengan mengikut sertakan ahabisy (kabilah-kabilah Arab di luar kabilah Quraisy yang bergabung dengan orang-orang Quraisy) yang patuh kepada mereka, antara lain kabilah Kinaanah dan penduduk Tihaamah. Mereka juga menyertakan istri-istri mereka sebagai jaminan agar mereka tidak melarikan diri dari medan perang. Abu Sofyan yang bertindak sebagai komandan perang berangkat bersama istrinya, Hindun binti Utbah. Ikrimah bin Abi Jahal berangkat bersama istrinya, Ummu Hakim binti al-Harits bin Hisyam bin Mughirah. al-Harits bin Hisyam bin Mughirah berangkat bersama istrinya, Fathimah binti al-Walid bin al-Mughirah. Shafwan bin Umayyah berangkat bersama istrinya, Barzah binti Mas’ud ats-Tsaqafiyah. Dan ‘Amr bin al-‘Ash berangkat bersama istrinya, Biriithah binti Munabbih bin al-Hajjaj.

Pasukan Quraisy ini terus berjalan hingga tiba di dua mata air, tepat-nya di lembah sebuah gunung bernama Sabkhah, sebuah saluran air di tepi lembah tepat menghadap kota Madinah. Ketika pasukan Quraisy tiba di tempat tersebut, Rasulullah dan kaum muslimin mendengar berita kedatangan pasukan itu. Rasulullah berkata: “Demi Allah, aku tadi meli-hat mimpi yang baik. Aku lihat lembu milikku disembelih dan kulihat salah satu sisi mata pedangku sumbing. (Rasulullah berkata: “Adapun lembu itu adalah beberapa orang sahabatku yang terbunuh. Adapun sumbing yang kulihat pada salah satu sisi mata pedangku adalah salah seorang dari keluargaku yang terbunuh.”)

Dan kulihat aku memasukkan tanganku ke sebuah baju perang yang kokoh, aku menakwil baju perang itu adalah kota Madinah. Rasulullah SAW., bersabda kepada para sahabat: “Jika kalian mau, tetaplah kalian tinggal di Madinah dan biarkan mereka di tempat persinggahan mereka. Jika mereka tetap berada di sana, maka tempat itu adalah tempat yang paling jelek. Dan jika mereka masuk kepada kita (di Madinah), maka kita perangi mereka di dalamnya.” Abdullah bin Ubay bin Salul berpendapat sama dengan Rasulullah, yakni hendaknya mereka tidak keluar untuk menghadapi kaum Quraisy.

Sebenarnya Rasulullah SAW., sendiri tidak ingin keluar dari Madinah untuk menghadapi mereka. Namun beberapa orang dari kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah untuk gugur sebagai syuhada pada perang Uhud dan peperangan lainnya yang tidak ikut hadir pada perang Badar berkata: “Wahai Rasulullah, keluarlah bersama kami untuk menghadapi musuh, agar mereka tidak melihat kita sebagai orang-orang yang penge-cut dan tidak memiliki nyali untuk menghadapi mereka.” Abdullah bin Ubay bin Salul berkata: “Wahai Rasulullah, tetaplah anda tinggal di Madinah dan jangan keluar ke tempat mereka. Demi Allah jika kita keluar niscaya musuh akan mengalahkan kita. Dan jika mereka masuk ke tempat kita niscaya kita akan dapat mengalahkan mereka. Biarkan mereka di tempatnya wahai Rasulullah. Jika mereka tetap berada di sana, sungguh mereka menetap di tempat yang paling jelek. Jika mereka masuk Madi-nah, mereka akan diperangi oleh kaum laki-laki dan dilempari batu oleh para wanita dan anak-anak. Dan jika mereka kembali ke negeri asalnya, mereka pulang dengan membawa kegagalan seperti ketika mereka datang.”

Para sahabat yang menghendaki pertemuan dengan orang-orang Quraisy tetap berada di tempat Rasulullah SAW., hingga beliau masuk dan mengenakan baju besinya. Hari itu hari Jum’at dan peristiwa itu terjadi ketika beliau selesai mengerjakan shalat. Pada hari itu salah seorang dari kaum Anshar bernama Malik bin Amr meninggal dunia. Maka Rasulullah menshalatkannya. Setelah itu beliau keluar menemui para sahabat dan mereka semua menyesal. Mereka berkata: “Kita telah memaksa Ra-sulullah untuk keluar. Dan itu tidak pantas kita lakukan.” Maka ketika Rasulullah datang menemui mereka, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, kami telah memaksamu keluar, dan itu tidak pantas kami lakukan. Jika Anda berkehendak, silakan Anda duduk kembali (tidak usah keluar dari Madinah), mudah-mudahan Allah memberi shalawat kepada Anda.” Rasulullah bersabda: “Jika seorang nabi telah mengenakan baju besinya, ia tidak pantas melepasnya sampai dia berperang.” Kemudian Rasulullah berangkat bersama seribu orang sahabat nabi.

Ketika Rasulullah SAW., bersama para sahabatnya tiba di Asy-Syauth, daerah antara Madinah dan Uhud, Abdullah bin Ubay bin Salul bersama sepertiga pengikutnya memisahkan diri dari Rasulullah. Dia berkata: “Ia (Rasulullah) menuruti pendapat para sahabatnya dan tidak menuruti pen-dapatku. Wahai manusia, untuk apa kita membunuh diri kita sendiri di tempat ini?”

Setelah itu Abdullah bin Ubay bin Salul kembali ke Madinah bersama para pengikutnya, yaitu kaum munafiqin dan orang-orang yang dihinggapi keraguan. Mereka dikejar oleh Abdullah bin Amr bin Haram, yang kemudian berkata kepada mereka: “Wahai kaumku, aku ingatkan kalian kepada Allah. Hendaknya janganlah kalian menelantarkan kaum dan nabi kalian ketika mereka telah dekat dengan musuh.” Mereka menjawab: “Jika kami tahu kalian akan diperangi, niscaya kami tidak akan menyerahkan kalian, namun kami mengira perang tidak akan ter-jadi.” Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul dan para pengikutnya bersi-keras untuk kembali di Madinah, Abdullah bin Amr bin Haram berkata: “Hai musuh-musuh Allah, semoga Allah menjauhkan kalian dan Dia akan membuat nabiNya tidak membutuhkan kalian.” Sementara itu kaum Anshar berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa kita tidak meminta bantuan kepada sekutu-sekutu kita dari kaum Yahudi?”

Rasulullah bersabda: “Kita tidak membutuhkan mereka.” Rasulullah terus berjalan hingga singgah di sebuah jalan menuju gunung Uhud. Beliau menghadapkan unta dan pasukannya ke arah Uhud seraya bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian berperang sebelum aku menyu-ruhnya berperang.” Sementara orang-orang Quraisy menghentikan unta dan kuda mereka pada ladang yang berada di asy-Syamghah, dekat dengan saluran kaum muslimin. Ketika Rasulullah melarang mereka ber-perang hingga beliau perintahkan, salah seorang dari kaum Anshar berka-ta: “Pantaskah tanaman-tanaman Bani Qallah dijadikan padang gembala-an sementara kami tidak diberi bagian?”

Rasulullah SAW., bersama tujuh ratus orang sahabat bersiap-siap untuk berperang. Beliau menunjuk Abdullah bin Jubair saudara Bani Amr bin Auf sebagai komandan pasukan pemanah. Ketika itu Abdullah bin Jubair diberi sandi kain berwarna putih dan pasukan pemanah berjumlah lima puluh orang. Rasulullah bersabda kepadanya: “Lindungi kami dari pa-sukan berkuda orang-orang Quraisy dengan anak panah kalian, agar me-reka tidak menyerang dari belakang kita. Jika kita menang ataupun kalah tetaplah engkau di posisimu, agar kita tidak akan diserang dari arah ka-lian!” Rasulullah merapatkan kedua baju besi beliau dan menyerahkan bendera kepada Mush’ab bin Umair saudara Bani Abdud Daar. Ketika itu Rasulullah memberikan izin kepada Samurah bin Jundub al-Fazari dan Rafi’ bin Khudaij saudara Bani Haritsah untuk ikut berperang. Ketika itu keduanya baru berusia lima belas tahun. Sebelumnya beliau menyuruh keduanya kembali ke Madinah. Namun dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rafi’ adalah seorang pemanah yang hebat.” Maka Rasulullah pun mengizinkannya ikut berperang. Dikatakan pula kepada beliau: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Samurah pernah me-ngalahkan Rafi’.” Maka Rasulullah juga mengizinkannya ikut berperang. Selain itu Rasulullah memulangkan Usamah bin Zaid, Abdullah bin Umar bin al-Katthab, Zaid bin Tsabit salah seorang dari Bani Malik bin an-Najjar, al-Bara’ bin Azib dari Bani Haritsah, Amr bin Hazm dari Bani Malik bin an-Najjar, dan Usaid bin Dhuhair dari bani Haritsah, kemudian mengizinkan mereka ikut serta dalam perang Khandaq pada usia lima belas tahun.

Sementara itu kaum musyrikin berkekuatan tiga ribu tentara dan dua ratus ekor kuda yang diletakkan di samping mereka juga melakukan persiapan untuk berperang. Mereka menunjuk Khalid bin Walid sebagai komandan pasukan berkuda sayap kanan dan Ikrimah bin Abu Jahal sebagai komandan pasukan berkuda sayap kiri. Rasulullah SAW., bersabda: “Siapa yang siap mengambil pedang ini dengan haknya?” Beberapa orang sahabat berdiri untuk mengambilnya namun Rasulullah tidak menyerahkannya kepada seorang pun dari mereka. Abu Dujanah Simak bin Kharasyah saudara Bani Saidah berdiri seraya bertanya: “Apa haknya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Engkau tebas musuh dengannya hingga pedang ini bengkok.” Abu Dujanah berkata: “Saya siap mengambilnya dengan haknya, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah menyerahkan pedang itu kepadanya. Abu Dujanah adalah seorang pemberani dan suka berjalan sombong di tengah peperangan jika telah meletus. Ia membuat tanda ikat kepala berwarna merah. Jika ia telah mengenakannya, maka orang-orang akan mengetahui bahwa ia akan berperang. Setelah meng-ambil pedang itu dari tangan Rasulullah, Abu Dujanah mengeluarkan ikat kepala warna merah, lalu mengenakannya di kepala dan berjalan som-bong di antara dua barisan. Ketika melihat Abu Dujanah berjalan dengan sombong Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya gaya jalan seperti itu ada-lah gaya jalan yang dibenci Allah kecuali di tempat seperti ini.”

Sementara itu Abu Sofyan bin Harb berkata memprovokasi para pe-megang bendera Bani Abdid Daar: “Wahai Bani Abdid Daar, kalian ditunjuk untuk memegang bendera perang kita pada perang Badar kemu-dian kita kalah sebagaimana kalian ketahui. Sesungguhnya pasukan itu didatangi dari arah para pemegang bendera. Jika para pemegang bendera kalah maka pasukan pun akan kalah. Sekarang terserah kalian, apakah kalian tetap akan memegang bendera perang atau kalian akan melepas-kannya, dan untuk itu kami melindungi kalian.” Orang-orang dari Bani Abdid Daar tertarik dengan tawaran Abu Sofyan dan berjanji kepadanya seraya berkata: “Kami serahkan bendera perang kepadamu. Besok pagi jika kita bertemu musuh, engkau akan tahu apa yang kami perbuat.” Memang sikap itulah yang diinginkan Abu Sofyan dari mereka.

Ketika kedua pasukan telah bertemu, Hindun binti Utbah berdiri bersama kaum wanita lainnya, kemudian mengambil rebana dan menabuhnya di belakang pasukan kaum musyrikin untuk mengobarkan semangat mereka.

Hindun binti Utbah pun bersya’ir:
“Wahai Bani Abdud Daar,
Duhai para pembela anak keturunan,
Yang memukul dengan pedang tajam.”

Hindu binti Utbah juga bersya’ir:
“Jika kalian maju, kalian akan kami peluk
Dan kami sediakan bantal kecil untuk bersandar
Namun jika kalian mundur, kami akan berpisah dari kalian dengan perpisahan yang tidak menyenangkan.”

Sedangkan kode kaum muslimin di perang Uhud adalah amit, amit.
Kedua pasukan pun bertempur hingga perang berkecamuk. Abu Dujanah bertempur hingga berada di tengah-tengah antara dua pasukan yang sedang berperang. Ia membunuh siapa saja yang ditemuinya. Di pihak kaum musyrikin terdapat seorang yang tidak membiarkan seorang pun yang terluka dari kaum muslimin kecuali dia membunuhnya seka-ligus. Orang musyrik tersebut mendekati Abu Dujanah. Maka aku pun (az-Zubair bin Awwam -pent) berdoa kepada Allah, mudah-mudahan Dia mempertemukan keduanya. Ternyata benar, keduanya pun bertemu dan saling menyerang. Orang musyrik itu memukul Abu Dujanah, namun perisai kulit melindungi Abu Dujanah dan menahan pedang orang tersebut. Kemudian Abu Dujanah memukulnya hingga tewas. Setelah itu Abu Dujanah mengayunkan pedangnya ke atas belahan rambut Hindun binti Utbah, namun kemudian ia menurunkan pedangnya kembali.

Abu Dujanah berkata: “Saya melihat manusia menyayati tubuh kor-ban dengan sayatan-sayatan, maka aku pun menghampirinya dan mengarahkan pedang kepadanya. Ternyata dia adalah seorang wanita, aku pun menghormati pedang Rasulullah untuk tidak membunuh dengannya se-orang wanita.”

Sementara itu Hamzah bin Abdul Muthalib bertempur hingga berha-sil membunuh Artha’ah bin Abdu Syurahbil bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdiddaar. Ia adalah salah seorang pembawa berdera kaum musyrikin. Setelah itu Siba’ bin Abdul ‘Uzza al-Ghubsyani yang biasa dipanggil Abu Niyar berjalan melewati Hamzah bin Abdul Muthalib. Hamzah ber-kata: “Kemarilah wahai anak pemutus kelentit!” Ibu Siba’ adalah seorang tukang khitan di Makkah.

Wahsyi, budak Jubair bin Muth’im berkata: “Demi Allah, aku lihat Hamzah bin Abdul Muthalib membunuh orang-orang Quraisy dengan pedangnya dan tidak menyisakan seorang pun. Aku lihat ia seperti unta yang belang-belang putih dan hitam. Tiba-tiba’ Siba’ bin Abdul Uzza lebih cepat kepada Hamzah bin Abdul Muthalib daripadaku. Hamzah berkata: “Kemarilah!” (Hamzah memanggilnya dengan panggilan yang jelek) Setelah itu hamzah memukul Siba’ bin Abdul Uzza tepat di kepalanya. Aku pun menggerak-gerakkan tombakku hingga ketika aku merasa telah siap, aku melempar-kannya ke arah Hamzah bin Abdul Muthalib dan tepat mengenai bagian bawah perutnya dan tombakku keluar di antara kedua kakinya. Hamzah bin Abdul Muthalib berusaha berjalan ke arahku namun tidak sanggup dan akhirnya terjatuh. Aku membiarkannya beberapa waktu, hingga ketika yakin ia telah mati aku mengambil tombakku dan kembali ke barak. Aku tidak mempunyai tujuan lain selain membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib karena aku ingin menjadi orang merdeka.

Ketika aku tiba di Makkah aku langsung dimerdekakan. Selanjutnya aku tetap berdomisili di Makkah, hingga ketika Rasulullah berhasil menaklukkan Makkah, aku pun lari ke Thaif dan tinggal di sana. Ketika delegasi Thaif pergi mene-mui Rasulullah untuk menyatakan masuk Islam tiba-tiba terasa gelap semua jalan bagiku. Aku berkata pada diriku: “Aku akan pergi ke Syam atau Yaman atau negara lain.” Demi Allah, aku resah karena itu. Namun tiba-tiba seseorang berkata kepadaku: “Celakalah engkau, demi Allah, dia (Rasulullah -pent) tidak akan membunuh seseorang yang masuk dalam agamanya dan bersaksi dengan persaksian yang benar.” Mendengar per-kataan orang itu aku pun ikut bersama orang-orang pergi menemui Ra-sulullah di Madinah. Tidak ada yang lebih menakutkan diriku kecuali berdiri di hadapan beliau dan bersaksi dengan persaksian yang benar. Ketika Rasulullah melihatku, beliau bersabda: “Apakah engkau Wahsyi?” “Betul, wahai Rasulullah.” Jawabku. Selanjutnya beliau bersabda: “Du-duklah, dan ceritakan kepadaku bagaimana engkau membunuh Hamzah!” Setelah selesai aku menceritakan peristiwa itu, beliau bersabda: “Celaka engkau, sembunyikan wajahmu dariku! Aku tidak ingin melihatmu lagi.” Maka aku pun pergi, dan aku berharap semoga Rasulullah tidak melihat-ku lagi hingga beliau diwafatkan oleh Allah.

Di sisi lain, Mush’ab bin Umair bertempur melindungi Rasulullah. Ia dibunuh oleh Qami’ah al-Laitsi karena ia sangka Rasulullah. Setelah membunuh Mush’ab bin Umair, ia kembali ke Makkah dan berkata: “Aku telah membunuh Muhammad.” Ketika Mush’ab bin Umair gugur, Ra-sulullah menyerahkan berdera kepada Ali bin Abi Thalib yang kemudian bertempur bersama beberapa orang dari kaum muslimin. Ketika perang tengah berkecamuk, Rasulullah duduk di bawah bendera orang-orang Anshar dan menyuruh seseorang untuk menemui Ali bin Abi Thalib dengan membawa pesan hendaknya Ali bin Abi Thalib maju dengan membawa bendera perang. Maka ia pun maju sambil berkata: “Aku adalah Abul Qusham.” { pendekar pembawa bencana. Dia mengatakan seperti itu karena sebagai jawaban terhadap Abu Sa’ad yang mengatakan “Ana Qashim” (Saya pembawa bencana).}

Abu Sa’ad bin Abi Thalhah, pembawa bendera kaum musyrikin berseru: “Wahai Abul Qusham, apakah engkau bersedia perang tanding denganku?” Ali bin Abi Thalib menjawab: “Ya.” Kemudian keduanya melakukan perang tanding di antara barisan kaum muslimin dan barisan kaum musyrikin. Keduanya saling mengayunkan pedang dan akhirnya Ali bin Abi Thalib berhasil menebas Abu Sa’ad bin Abi Thalhah hingga terluka. Selanjutnya Ali bin Abi Thalib pergi dan tidak membunuhnya. Para sahabat pun bertanya: “Mengapa engkau tidak membunuhnya seka-ligus?” Ali bin Abi Thalib menjawab: “Ia datang kepadaku dengan kehor-matannya dan aku merasa iba kepadanya karena hubungan kekerabatan antara aku dengannya. Dan setelah itu aku tahu bahwa Allah Ta’ala telah me-matikannya.

Sementara itu Ashim bin Tsabit bin Abi Aqlah bertempur habis-habisan dan berhasil membunuh Musafi’ bin Thalhah dan saudaranya al-Julas bin Thalhah. Keduanya terkena anak panah Ashim bin Tsabit. Sebelum menemui ajalnya, salah seorang dari keduanya menemui ibunya yang bernama Sulafah dan meletakkan kepala di pangkuannya. Sulafah berkata: “Anakku, siapa yang melukaimu?” Ia menjawab: “Ketika sese-orang melemparku dengan anak panah, aku dengar ia berkata: “Ambillah ini, aku anak Abu Abi Aqlah.” Sulafah pun bernadzar jika Allah membe-rinya kesempatan untuk melihat kepala Ashim bin Tsabit, ia akan menyi-ramnya dengan minuman keras.

Handhalah bin Abu Amir al-Ghasil (yang dimandikan para malai-kat) bertemu dengan Abu Sofyan bin Harb di perang Uhud. Ketika Handhalah bin Abi Amir dapat mengatasi perlawanan Abu Sofyan bin Harb, tiba-tiba Syaddad bin Al-Aswad –anak Syu’ub– melihatnya lalu memukul Handhalah bin Abi Amir hingga gugur. Rasulullah SAW., bersabda: “Sungguh sahabat kalian, Handhalah, pasti akan dimandikan para malai-kat.” Ketika para sahabat menanyakan perihal Handhalah kepada istrinya: “Ada apa dengan Handhalah bin Abi Amir?” Istrinya menjawab bahwa Handhalah bin Abi Amir keluar dari rumah dalam keadaan junub ketika mendengar panggilan jihad.

Kemudian Allah Ta’ala menurunkan pertolongan kepada kaum muslimin dan menepati janjiNya kepada mereka. Kaum muslimin berhasil membunuh orang-orang musyrik dengan pedang-pedang mereka dan berhasil membobol pertahanan musuh. Kekalahan menimpa kaum musy-rikin dan tidak terelakkan.

Az-Zubair berkata: “Demi Allah, aku lihat gelang kaki Hindun binti Utbah dan teman-temannya tercecer dan tidak diambil sedikit pun. Tiba-tiba pasukan pemanah turun ke barak ketika kami berhasil membobol pertahanan musuh dan membiarkan punggung kami berada di depan pasukan berkuda musuh. Akhirnya kami diserang oleh pasukan berkuda musuh dari arah belakang, dan seseorang berseru: “Sesungguhnya Mu-hammad telah terbunuh.” Maka musuh pun berhasil mengalahkan kami setelah sebelumnya kami berhasil mengalahkan para pemegang bendera mereka hingga tak seorang pun yang berani mendekat. Bendera Quraisy yang terjatuh kemudian diambil oleh Amrah binti al-Qamah al-Hari-tsiyah dan diangkatnya tinggi-tinggi kepada orang-orang Quraisy yang kemudian berkumpul di sekitarnya.

Pertahanan kaum muslimin jebol, dan mereka diserang oleh musuh. Hari itu adalah hari ujian dan hari pembersihan. Allah memuliakan kaum muslimin dengan memberikan kepada mereka kesempatan mati syahid. Karena pertahanan kaum muslimin telah terbuka, maka musuh berhasil masuk ke tempat Rasulullah SAW., kemudian melempar beliau dengan batu hingga terjatuh dalam keadaan miring. Batu tersebut mengenai gigi seri, melukai wajah dan bibir beliau. Orang yang melempar beliau dengan batu itu adalah Utbah bin Abi Waqqash. Darah pun mengalir di wajah beliau. beliau mengusapnya seraya bersabda; ‘Bagaimana suatu kaum bisa bahagia, sedang mereka melukai wajah nabi mereka. Padahal ia mengajak mereka kepada Rabb mereka.”

Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat:
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, kare-na sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.” (Ali Imran: 128)

Abu Sa’id Al-Khudri RA., berkata bahwa pada perang Uhud, “Utbah bin Abi Waqqash melempar Rasulullah hingga memecahkan gigi seri sebelah kanan bagian bawah dan juga melukai bibir beliau. Abdullah bin Syihab az-Zuhri melukai kening beliau. Ibnu Qami’ah melukai bagian atas pipi yang menonjol hingga dua buah mata rantai besi masuk ke bagian atas pipi beliau. Rasulullah terjatuh ke dalam salah satu lubang yang dibuat oleh Abu Amir agar kaum muslimin terperosok ke dalamnya tanpa mereka sadari. Kemudian Ali bin Abi Thalib memegang tangan beliau dan Thalhah bin Ubaidillah mengangkat beliau hingga bisa tegak berdiri. Malik bin Sinan yakni Abu Sa’id al-Khudri mengusap darah dari wajah beliau dan menelannya. Kemudian Rasulullah bersabda: “Barang-siapa yang darahnya menyentuh darahku, niscaya ia tidak akan disentuh api Neraka.”

Ketika Rasulullah SAW., dikepung oleh orang-orang Quraisy, beliau bersabda: “Siapa yang siap mengorbankan nyawanya untukku?” Ziyad bin as-Sakan berdiri bersama lima orang dari kaum Anshar. Mereka bertempur habis-habisan melindungi Rasulullah hingga satu persatu me-reka gugur sebagai syuhada. Dan orang yang terakhir gugur dari mereka adalah Ziyad atau Umarah yang bertempur hingga terluka parah. Ketika dalam keadaan seperti itu datanglah serombongan kaum muslimin yang akhirnya berhasil mengusir orang-orang musyrik dari sekitar Rasulullah. Kemudian beliau bersabda: “Dekatkan ia kepadaku!” Lalu mereka pun mendekatkannya kepada Rasulullah yang kemudian menjadikan kaki be-liau sebagai bantalnya. Akhirnya Ziyad bin as-Sakan meninggal sedang pipinya berada di atas kaki Rasulullah.

Sahabat yang pertama kali melihat Rasulullah SAW., setelah kekalahan mereka dan ucapan orang-orang yang mengatakan bahwa beliau telah gugur adalah Ka’ab bin Malik. Ia berkata: “Aku melihat kedua mata Rasulullah yang suci bersinar dari bawah perisai kepala. Kemudian aku berteriak sekeras-kerasnya: ‘Wahai seluruh kaum muslimin, bergembira-lah kalian. Inilah Rasulullah.’ Rasulullah memberikan isyarat kepadaku agar aku diam.” –Bersambung-