Ramadhan memang berbeda dengan bulan-bulan lainnya, diwajibkannya puasa di bulan ini sudah cukup membedakannya dengan bulan-bulan yang lain, kaum muslimin menyadari perbedaan ini maka mereka pun mengistimewakan dengan amaliyah-amaliyah tertentu baik untuk menyambutnya atau ketika bulan tersebut telah hadir, akan tetapi cukup disayangkan karena sebagian dari apa yang dilakukan oleh kaum muslimin di bulan ini tidak berpijak kepada ilmu yang benar yang bersumber dari sunnah Rasulullah saw, meskipun begitu mereka mempertahankannya hidup-mati seolah-olah ia merupakan kebenaran itu sendiri, kebodohan dan warisan tradisi biasanya yang dipijak dalam perkara seperti ini.

ZIARAH QABLA RAMADHAN
Salah satu tradisi yang umum dilakukan adalah berziarah. Sebagian kaum muslimin dengan alasan menyambut Ramadhan, melakukan ziarah, baik kepada orang hidup maupun kepada orang mati alias ke kuburnya, alasan ziarah yang umum adalah ngalap berkah atau bersih diri. Oleh karena itu biasanya yang diziarahi adalah orang-orang khusus yang dianggap memiliki sesuatu yang dengannya mereka bisa meraih berkah demi menghadapi Ramadhan, tanpa itu serasa tidak afdhal, kata orang-orang yang melakukannya. Demi ziarah ini mereka rela merogoh kocek dan melakukan perjalanan jauh. Sebagian yang lain melakukan ziarah dalam skala terbatas karena yang dia ziarahi hanya kubur orang tuanya atau leluhurnya. Ini biasanya dilakukan demi berbakti kepada orang tua, tanpa itu bisa dianggap durhaka, kata orang yang melakukannya.

Apapun alasan dan maksud ziarah, baik kepada orang hidup maupun kepada orang mati, ziarah qabla Ramadhan secara khusus tidak berdasar kepada petunjuk yang benar dari Rasulullah saw. Rasulullah saw memang mensyariatkan ziarah kubur akan tetapi tanpa pengkhususan dengan waktu tertentu lebih-lebih jika diyakini bahwa waktu tersebut memiliki kekhususan dan biasanya memang demikian. Tidak ada keterangan dari Rasulullah saw yang menganjurkan atau mengajak para sahabat melakukan ziarah baik ke kubur ataupun kepada orang-orang tertentu sebelum Ramadhan. Tidak ada keterangan dari Rasulullah saw bahwa beliau melakukan ziarah sebelum Ramadhan secara khusus, tidak kepada kubur orang tuanya atau kerabat yang lain. Oleh karena itu para sahabat setelah Rasulullah saw tidak melakukannya karena mereka mengetahui Rasulullah saw tidak melakukannya. Dari mana kita mengetahui bahwa Rasulullah dan para sahabat tidak melakukannya? Kita mengetahui dari tidak adanya keterangan tersebut dari mereka, karena jika ada tentu sudah dinukil kepada kita secara shahih, tidak adanya penukilan merupakan bukti tidak adanya perbuatan dari Rasulullah dan para sahabat. Dan salah satu bentuk meneladani Rasulullah saw adalah meneladani dalam perkara yang tidak beliau lakukan dengan tidak melakukannya karena jika kita melakukannya berarti kita termasuk ke dalam sabda Nabi saw,

من عمل عملا ليس عليه امرنا فهو رد .

“Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak berdasar kepada perintah dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim).

Lajnah Daimah dalam fatwa no. 7777 berkata, “Ziarah kubur disyariatkan kapan pun dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya dengan hari Jum’at atau selain Jum’at.” Dalam fatwa no. 8818 Lajnah berkata, “Tidak boleh mengkhususkan hari tertentu dalam setahun tidak hari Jum’at, tidak hari pertama bulan Rajab atau hari terakhir untuk berziarah kubur karena tidak ada dalil yang mendasarinya. Yang disyariatkan adalah ziarah kapan memungkinkan tanpa mengkhususkan hari tertentu.”

Karena perbuatan ini tidak berdasar kepada sunnah Rasul maka ia kerap diiringi dengan penyimpangan-penyimpangan yang lain yang bisa kita lihat menjelang Ramadhan di kuburan-kuburan kaum muslimin, di antaranya duduk-duduk di atas kubur sambil berbincang-bincang diselingi tawa, ikhtilath laki-laki dan perempuan campur-baur, wanita-wanita keluar ke kuburan dengan penampilan yang jauh dari syar’i dan lain-lainnya dimana semua itu tidak selaras dengan maksud dari ziarah kubur. Jika ziarahnya kepada kubur orang-orang yang dianggap wali maka kemungkarannya lebih berat lagi, bisa mencapai derajat syirik, bertawasul dengan orang mati, berharap berkah darinya, mengadukan hajat-hajat hidup kepada penghuninya dan sebagainya.

Begitulah keadaannya, jika perbuatan yang tidak disyariatkan dilakukan maka ia akan menelorkan penyimpangan-penyimpangan lain yang mengubur sasaran dari perbuatan yang disyariatkan.

MENGANGGAP RAMADHAN MUSIM
Karena Ramadhan datang sekali setelah rotasi sebelas bulan maka sebagian kaum muslimin bahkan kebanyakan dari mereka menganggapnya sebagai musim. Banyak indikasi mengarah ke sana baik dari ucapan-ucapan maupun perbuatan mereka. Demi mendorong kepada kebaikan kita sering mendengar ucapan, “Mumpung bulan puasa, bulan baik penuh berkah,” dan ucapan senada. Begitu pula ketika ada orang yang berbuat tidak baik seperti berdusta, marah-marah atau ghibah maka ada yang berkata, “Puasa kok bohong atau jangan marah-marah, ini puasa,” dan sejenisnya. Ucapan-ucapan seperti ini sering kita simak dari mulut orang-orang umum bahkan tidak jarang kita menyimaknya pula dari suara penceramah atau dai atau khatib dari mimbar. Mendorong kepada kebaikan atau mencegah keburukan dengan memanfaatkan bulan Ramadhan bukan sesuatu yang keliru karena memang Ramadhan dengan puasanya memberikan aroma tersendiri yang bisa mendongkrak semangat berbuat baik. Hanya saja mengaitkan dorongan kepada kebaikan dengan Ramadhan dan menekankan hal itu bisa memicu asumsi bahwa Ramadhan adalah musim, ia sama dengan musim-musim lainnya yang datang dan pergi dan realitanya memang demikian meskipun tidak seratus persen.

Indikasi Ramadhan sebagai musim terbaca dari perbuatan kaum muslimin. Orang-orang berbondong-bondong ke masjid utamanya pada shalat Isya karena setelahnya ada shalat tarawih dan shalat Shubuh karena sebelumnya ada sahur, sementara di shalat-shalat fardhu lainnya tidak ditemukan perbedaan yang berarti dengan hari-hari lainnya di luar Ramadhan dan itu pun hanya terjadi di awal-awal Ramadhan saja, setelah hari-hari Ramadhan bertambah terlihat penyusutan yang berarti sehingga yang terlihat adalah wajah-wajah lama, orang-orang itu yang memang orang-orang masjid yang selalu hadir ke masjid di dalam dan di luar Ramadhan. Lalu kemana orang-orang yang datang ke masjid di bulan Ramadhan itu pergi di selain Ramadhan?

Di bulan Ramadhan ceramah-ceramah dan wejangan-wejangan digalakkan, kajian-kajian dan kultum dimobilisir, masjid-masjid dan mushala-mushala bererbutan memboking ustadz-ustadz, TV-TV dan radio-radio tidak mau ketinggalan kereta menawarkan acara-acara ramadhani meskipun ia berbalut kemungkaran dan tercium tanda-tanda tendensi ekonomi, baik memang, akan tetapi di mana kita jumpai hal seperti ini di luar Ramadhan? Padahal kebutuhan-kebutuhan seorang muslim akan nasihat dan ilmu agama yang bermanfaat berlangsung sepanjang tahun?

Wanita-wanita muslimah sibuk mencari kerudung, di bulan ini terlihat kepala-kepala wanita tertutup. Penjualan baju muslim meningkat, meskipun secara syar’i ia perlu pembenahan, akan tetapi dalam batas tertentu boleh kita katakan lumayan daripada tidak sama sekali. Tetapi di luar Ramadhan kerudung-kerudung dan baju muslim tersebut hanya sebagai pengisi almari baju.

Syaikh Abdullah bin Jarullah al-Jarullah dalam Risalah Ramadhan berkata, “Sebagian orang apabila datang bulan Ramadhan mereka bartaubat, mendirikan shalat dan melaksanakanibadah puasa, namun jika Ramadhan lewat mereka kembali meninggalkan shalat dan melakukan perbuatan maksiyat. Mereka inilah seburuk-buruk manusia karena mereka tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan saja.”

Gejala-gejala dan fenomena-fenomena ini menguatkan realita bahwa pandangan kaum muslimin kepada Ramadhan hanya sebatas sebagai musim. Memprihatinkan, kebaikan hanya terlihat di bulan Ramadhan, tapi begitulah. Sebuah lahan garapan bagi kita semua sebagai pemerhati dakwah kepada Allah.