(1291) Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَالَ: أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِي لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ، غُفِرَتْ دُنُوبُهُ، وَإِنْ كَانَ قَدْ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ.

‘Barangsiapa yang mengucapkan, ‘Aku memohon ampun kepada Allah yang tiada tuhan yang berhak disembah selain Dia yang Mahahidup lagi terus-menerus mengurusi makhlukNya dan aku bertaubat kepadaNya, niscaya dosa-dosanya diampuni walaupun dia telah lari dari peperangan‘.”

Shahih: Diriwayatkan oleh al-Hakim 1/511, 2/118: dari dua jalur sanad yang shahih, dari Isra`il dari Abu Sinan, dari Abu al-Ahwash, dari Ibnu Mas’ud dengan hadits tersebut. Dan dia menshahihkannya pada tempat yang pertama berdasarkan syarat keduanya (al-Bukhari dan Muslim). Adz-Dzahabi mengoreksinya dengan perkataannya, “Abu Sinan adalah Dhirar bin Murrah; al-Bukhari tidak mengeluarkan hadits untuknya.” Saya berkata, “Al-Bukhari juga tidak mengeluarkan hadits untuk Abu al-Ahwash Auf bin Malik. Keduanya adalah tsiqah, termasuk dari perawi Muslim, maka sanadnya hanya berdasarkan syaratnya saja. Sedangkan dalam tempat lain, al-Hakim menshahihkannya berdasarkan syarat Muslim semata, adz-Dzahabi menyepakatinya, dan dia pun demikian.

Kemudian al-Bukhari dalam at-Tarikh 3/379; Abu Dawud. Kitab ash-Shalah, Bab al-Istighfar, 1/475, no. 1516; at-Tirmidzi, Kitab ad-Da’awat, Bab Du’a adh-Dhaif , 5/568, no. 3577: tidak mengeluarkan matan ini dari hadits Ibnu Mas’ud sebagaimana disebutkan oleh penulis (an-Nawawi), bahkan mereka mengeluarkannya dari jalur Hafsh bin Umar asy-Syanni, Abu Umar bin Murrah menceritakan kepadaku, saya mendengar Bilal bin Yasar bin Zaid, ayahku menceritakan kepadaku, kakekku, Zaid salah seorang bekas sahaya Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam menceritakan kepadaku… maka dia menyebutkannya secara marfu’. At-Tirmidzi mendhaifkannya, dan al-Mundziri menyatakan isnadnya jayyid (baik), padahal ia tidak baik, karena pada diri Hafsh dan Umar terdapat kemajhulan. Dan pendapat yang terpilih adalah bahwa keduanya diterima dalam mutaba’at, sedangkan Bilal dan ayahnya maka keduanya adalah majhul sehingga sanadnya dhaif. Benar, dia kuat dengan sanad sebelumnya dan lainnya, oleh karena itu, –wallahu a’lam– al-Albani menshahihkannya.

Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim.”

Saya berkata, Bab ini sangat luas sekali, sedangkan meringkasnya merupakan tindakan yang mendekatkan kepada ketepatan. Maka kami mencukupkan diri pada kadar tersebut.

Pasal: Dan hadits yang berkaitan dengan istighfar adalah riwayat yang datang dari ar-Rabi’ bin Khutsaim (Yaitu Ibnu A`idz, Abu Yazid ats-Tsauri al-Kufi, seorang imam yang diteladani, ahli ibadah, salah seorang tokoh terkemuka, sempat bertemu Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam
dan meriwayatkan secara mursal dari beliau. Dia meninggal sebelum tahun 65 H. Biografinya terdapat dalam Thabaqat Ibni Sa’ad 6/453, dan dalam Siyar A’lam an-Nubala` 4/258. red-)
dia berkata, “Janganlah salah seorang di antara kamu mengatakan, أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ (Saya memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya)’ karena apabila hal ini tidak dilakukan maka akan menjadi dosa dan dusta sekaligus, akan tetapi katakanlah, اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَتُبْ عَلَيَّ (Ya Allah ampunilah aku dan terimalah taubatku)’.”

Dan perkataannya ini dari ucapan, اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَتُبْ عَلَيَّ adalah hasan. Sedangkan ketidaksukaannya terhadap ucapan “Astaghfirullah” dan penamaannya sebagai suatu kedustaan (apabila tidak dilakukan), maka kami tidak sepakat dengannya, karena makna “Astaghfirullah” adalah saya memohon ampunanNya, dan dalam hal ini tidak ada kebohongan. Dan cukuplah hadits Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan sebelumnya sebagai penolaknya.

Dari al-Fudhail rahimahullah

اِسْتِغْفَارٌ بِلاَ إِقْلاَعٍ تَوْبَةُ اْلكَذَّابِيْنَ.

“Istighfar (mohon ampunan) tanpa melepaskan diri (dari dosa) adalah taubatnya para pendusta.”

Dan mirip dengan ini adalah ucapan yang datang dari Rabi’ah al-Adawiyah ( Binti Ismail, seorang wanita dari Bashrah, seorang wanita yang zuhud dan tekun beribadah. Dia meninggal 180 H. Biografinya dalam Wafayat al-A’yan 3/215, Siyar A’lam an-Nubala` 8/241.) dia berkata, “Istighfar kami butuh kepada istighfar yang banyak.” (Ini adalah perkataan Rabi’ah asy-Syamiyah, bukan Rabi’ah al-Adawiyah. Dia juga seorang zuhud yang terkenal. Lihat Siyar A’lam an-Nubala` 8/243.)

Dan diriwayatkan dari sebagian orang Arab Badui, bahwa dia bergantung pada tirai Ka’bah seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya istighfarku bersamaan dengan masih terusnya aku berbuat dosa adalah suatu cela dan sesungguhnya tindakanku meninggalkan istighfar bersamaan dengan pengetahuanku tentang luasnya pintu ampunanMu adalah sungguh merupakan kelemahan. Betapa banyak Engkau suka memberikan aku segala kenikmatan, padahal Engkau tidak butuh kepadaku dan berapa banyak aku membuatmu benci dengan melakukan kemaksiatan, padahal aku sangat butuh kepadaMu! Wahai Dzat yang apabila berjanji selalu memenuhi, Dzat yang apabila mengancam, Dia merelakan, maka Dia memaafkan! Masukkanlah Dosaku yang besar ke dalam ampunanMu yang besar, wahai Dzat Yang Maha Penyayang.”

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta.