Para ulama sepakat atas disyari’at kannya berlaku adil terhadap anak-anak dalam pemberian dengan tidak mengistimewakan yang satu atas yang lain. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukum mengistimewakan antara satu dengan lainnya, baik bersumber dari sang ayah maupun sang ibu. (Masing-masing pendapat ini didukung oleh sejumlah dalil, tetapi karena keterbatasan ruang, di sini kita hanya memaparkan satu dalil saja darinya dan lebih memfokuskan pada dalil pendapat yang rajih/kuat-red)

1. Mengharamkan Perlakuan Istimewa terhadap Salah Satu Anak dalam Pemberian Tanpa Seizin yang Lain kecuali dalam Hal yang Sepele

Ini adalah pendapat masyhur ulama madzhab Hanbali dan madzhab Zhahiriah. Ibn Hazm rahimahullah dalam kitab al-Muhalla menyebutkan bahwa ini juga adalah pendapat Abu Bakar, Umar, Utsman, Qais bin Sa’d, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Mujahid, Thawus, ‘Atha’ dan selain mereka rahimahumullah. Di antara dalilnya adalah hadits an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, bahwa ayahnya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Aku telah memberikan hadiah kepada anakku ini berupa seorang budak laki-laki.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Apakah semua anak-anakmu kamu berikan hadiah seperti dia?” Ia menjawab, “Tidak.” Lalu beliau berkata, “Kalau begitu, ambil kembali hadiah itu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

2. Mengharamkan Perlakuan Istimewa Tersebut kecuali Bila dengan Sebab Syar’i

Ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah dan dipilih oleh Ibn Taimiyah rahimahullah dan Ibn Qudamah rahimahullah. Di antara dalilnya, dari az-Zubair radhiyallahu ‘anhu mengenai ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu yang mendapat hadiah yang sangat besar dari ayahnya, lalu ketika menjelang ajalnya, sang ayah, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berwasiat kepadanya agar membagi-bagikannya kembali kepada saudara-saudaranya berdasarkan ketentuan Kitabullah karena sudah menjadi harta warisan.

Mengomentari hadits ini, Ibn Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kemung kinan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengkhususkan pemberian tersebut kepadanya karena ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu amat memerlukannya dan karena ketidak mampuannya mencari rizqi sendiri. Selain itu, sebabnya adalah karena keutamaan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai Ummul Mukminin dan keutamaan lainnya.” Namun dalil ini terbantahkan oleh ucapan ‘Urwah radhiyallahu ‘anhu dari ‘Aisyah sendiri, bahwa saudara-saudaranya tersebut merelakan sikap ayah mereka, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tersebut.

3. Mengharamkan Perlakuan Istimewa Tersebut, Bila Sang Ayah Tidak Memiliki Harta Selainnya

Ini pendapat yang diriwayatkan dari Imam Malik rahimahullah. Di antara dalilnya, riwayat lain dari hadits an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu di atas yang menyebutkan bahwa ayahnya memberikan hadiah kepada nya berupa seorang budak lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa budak ini?” Ia menjawab, “Hadiah yang diberikan ayah kepadaku.” Beliau bertanya kepada ayahnya, “Apakah semua saudaranya engkau berikan hadiah seperti ini?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Kembalikan.!” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’).

Sisi pendalilannya adalah ucapan Imam Malik bahwa Basyir radhiyallahu ‘anhu, ayah an-Nu’man radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki harta selain budak laki-laki itu. Namun dalil ini terbantahkan dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa Basyir radhiyallahu ‘anhu bukan hanya memiliki harta berupa budak tersebut, tetapi ada harta lain selain itu sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim, dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhubahwa ia berkata, “Ayahku bersedekah kepadaku dengan sebagian hartanya…”

4. Memakruhkannya

Ini adalah salah satu pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, bilamana perlakuan istimewa itu tidak memiliki sebab (alasan). Bila ada alasannya, maka dibolehkan. Dan pendapat ini juga merupakan pendapat madzhab asy-Syafi’i. Sedangkan pendapat yang menyatakan ‘makruh’ adalah juga pendapat yang masyhur dari ulama madzhab Maliki, bilamana hadiah itu berupa seluruh harta. Di antara dalilnya, ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebagian riwayat hadits an-Nu’man radhiyallahu ‘anhu di atas, “Ambil kembali hadiah itu.” Pendapat ini berargumentasi, ini secara zhahirnya menunjukkan sahnya hadiah tersebut. Andaikata tidak sah, tentu tidak sah pula mengambilnya kembali. Pasalnya, perintah beliau agar dikembalikan itu adalah karena seorang ayah boleh mengambil kembali hibahnya (dari sang anak). Namun pendapat ini dapat dimentahkan seperti yang dinyatakan Ibn Hajar rahimahullah setelah mengemukakan dalil tersebut, “Berargumentasi dengan hal itu perlu diberi catatan. Yang tampak bahwa makna sabda beliau itu adalah “Janganlah kamu berlakukan hibah tersebut.'”

Pendapat yang Rajih (Kuat)

Syaikh Prof Dr Sulaiman bin Fahd al-Isa mengatakan, “Setelah semua dalil yang dikemukan masing-masing para ulama fiqih mengenai masalah ini diketengahkan, diteliti, dan direnungkan, serta setelah mendiskusikan pendapat yang perlu didiskusikan darinya, maka pendapat yang rajih, wallahu a’lam, dalam masalah ini adalah pendapat pertama. Hal ini karena beberapa alasan:

Pertama, karena kekuatan dalil yang digunakan pendapat ini, keragamannya, keshahihannya disertai sisi pendalilan nya yang jelas atas wajibnya berlaku adil dan larangan perlakuan istimewa tersebut serta kelemahan dalil-dalil pendapat yang lain.

Ke dua, mengistimewakan sebagian anak atas yang lainnya merupakan sarana yang jelas-jelas berpotensi menimbulkan permusuhan antara sang ayah dan anak-anak yang dianaktirikan itu dari satu sisi, dan antara sesama anak-anak dari sisi yang lain. Akibatnya timbul pemutusan hubungan rahim di antara mereka.

Cara Berlaku Adil terhadap Anak dalam Harta

Para ulama berbeda pendapat mengenai cara berlaku adil terhadap anak-anak kepada dua pendapat:

Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa berlaku adil yang dituntut adalah memperlakukan sama antara anak-anak laki-laki dan perempuan dalam pemberian.

Ke dua, hendaknya pemberian itu disesuaikan dengan jatah warisan yakni anak laki-laki mendapat dua kali lipat dari anak-anak perempuan.

Pendapat yang rajih (kuat) dalam hal ini adalah pendapat ke dua, wallahu a’lam. Hal ini dengan mengqiyaskan atau menganalogikannya kepada pembagian Allah subhanahu wata’ala dalam hal warisan. Menyamaratakan pemberian kepada anak-anak perempuan dengan anak-anak laki-laki bertentangan dengan apa yang telah disyari’atkan Allah subhanahu wata’ala terkait dengan adanya kelebihan laki-laki sebab Dia Maha Tahu atas kemaslahatan kita. Di samping itu, hajat laki-laki kepada harta lebih besar ketimbang hajat wanita kepadanya.

Berlaku Adil terhadap Anak dalam Selain Urusan Harta

Dalam hal ini, mayoritas ulama mengatakan, “Berlaku adil sangat dituntut sekalipun dalam selain urusan harta, dan hal ini menandakan adanya sikap mengistimewakan, seperti mendekatkan tempat duduk sebagian mereka, mengkhususkan pembicaraan yang tidak perlu, mengkhususkan sebagian mereka dengan ciuman karena dianggap lebih muda. Sebab perlakuan istimewa seperti ini dapat menimbulkan permusuhan dan pemutusan silatur rahim antara mereka dan orang tua mereka. Berlaku adil dalam hal cinta dan kecenderungan hati bukanlah sesuatu yang wajib sebab tidak dapat dihindarkan akan tetapi hendaknya orang tua menyembunyikan sedapat mungkin sikap sayangnya terhadap sebagian mereka. Sebab menampakkan hal ini dapat menimbulkan dampak negatif yang sangat besar.

Hukum Pembagian Harta kepada Anak Semasa Hidup dan Caranya

Pendapat yang rajih, wallahu a’lam bahwa boleh membagikan harta kepada anak-anak semasa hidup, di samping juga dimakruhkan. Kalaupun terjadi, maka pembagian tersebut harus berdasarkan jatah warisan masing-masing, hanya saja lebih baik tidak melakukannya. Bila sang ayah masih hidup membagikan harta dan anak bungsu baru lahir, maka ia wajib menyamaratakan di antara mereka, dan bila anak bungsu dilahirkan setelah sang ayah wafat, maka disyari’atkan bagi siapa saja yang telah mendapatkan jatah pemberian untuk menyamaratakan pemberian itu kepada anak yang baru lahir tersebut (adik bungsu mereka). [Hafied M Chofie]

SUMBER: al-‘Adl Baina al-Awlad Fi al-‘Athiyyah Wa Kaifiyyatuhu karya Prof Dr Sulaiman bin Fahd al-Isa)