Darah adalah salah satu unsur terpenting dalam tubuh manusia, dalam kondisi-kondisi tertentu kehidupan dan kematian bisa bergantung kepada darah. Para fuqaha zaman dahulu belum memiliki pembahasan tersendiri tentang masalah ini. Hal tersebut karena tuntutan kehidupan belum menjangkau ke sana. Akan tetapi pada masa kini di mana sarana dan ilmu telah berkembang dan semakin maju yang dengan itu bisa dibuktikan bahwa orang sakit dalam kondisi tertentu bisa diselamatkan dengan darah maka donor dan tranfusi menjadi sesuatu yang lumrah di zaman ini. Lalu bagaimana telaah fikih terhadap masalah ini?

Para ulama masa kini bersepakat membolehkan donor dan tranfusi dengan pertimbangan:

1. Firman Allah,
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah: 32).

Ayat ini menetapkan keutamaan menjadi sebab kehidupan bagi jiwa yang harus dilindungi. Para dokter dan para pendonor termasuk orang-orang yang menjadi sebab kehidupan orang sakit yang terancam mati jika dibiarkan tanpa bantuan darah.

2. Firman Allah,
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 173).

Ayat ini meniadakan dosa bagi orang yang terpaksa kepada yang diharamkan dan orang sakit yang hidupnya bergantung kepada darah termasuk ke dalamnya. Dari sini tidak ada dosa atasnya jika dia mencari dan menerima, tidak ada dosa atas orang lain untuk memberikan dan tidak dosa atas para dokter untuk melakukan tindakan-tindakan terkait.

3. Jika si sakit menolak transfusi berarti dia telah melakukan sebab bagi kematiannya dan itu dilarang. Firman Allah,

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195).

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An-Nisa`: 29).

4. Donor dan tranfusi termasuk ke dalam keumuman perintah berobat yang ditetapkan oleh sunnah yang shahih dari Nabi saw, di antaranya adalah sabda Nabi saw,

إِنَّ اللهَ تعَالىَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ .

“Sesungguhnya Allah Taala menurunkan penyakit dan obat. Dia menjadikan obat untuk setiap penyakit, berobatlah, jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud dari Abu ad-Darda`).

5. Kaidah-kaidah syariat menetapkan dibolehkannya donor dan tranfusi, di antara kaidah-kaidah tersebut, الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَحْظُوْرَات (dharurat membolehkan yang dilarang), الضَرَرُ يُزَالُ (mudharat harus dihilangkan), المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْر (kesulitan mendatangkan kemudahan), orang sakit yang hidupnya bergantung kepada darah termasuk ke dalam kaidah-kaidah di atas.

Syarat donor dan tranfusi
1. Kebutuhan pasien dan ini ditetapkan oleh dokter yang adil.
2. Tidak ada jalan lain yang bisa menolong pasien.
3. Donor tidak membahayakan pendonor.
4. Dilakukan secukupnya karena sesuatu yang dibolehkan dalam kondisi dharurat dibatasi dengan kebutuhan.

Bagaimana jika pasien tidak menemukan pendonor kecuali dengan bayaran? Dia boleh membayar, dosanya dipikul oleh penerima bayaran karena menjual darah secara syar’i diharamkan berdasarkan hadits shahih bahwa Nabi saw melarang harga darah. (HR. Al-Bukhari). Pasien boleh membayar karena dharurat menyelamatkan hidupnya. Imam an-Nawawi di Radhatut Thalibin (5/194) berkata, “Sebagaimana haram menerima ongkos dalam hal ini haram pula membayar, membayar hanya dibolehkan bukan menerima dalam kondisi dharurat.”