Maturidiyah membagi ushuluddin (dasar-dasar agama) dari segi sumber pengambilannya menjadi dua bagian, pertama: Ilahiyat atau Aqliyat, bagian ini untuk masalah-masalah di mana akal mampu menetapkannya secara independen sementara dalil naqli hanya mengikutinya, bagian ini meliputi bab-bab tauhid dan sifat Allah. Kedua: Syari’iyat atau Sam’iyat, bagian ini untuk masalah-masalah di mana akal memastikan kemungkinan keberadaanya dan ketiadaannya tetapi akal tidak memiliki akses kepadanya, bagian ini seperti masalah nubuwat, azab kubur dan perkara-perkara akhirat.

Berpijak kepada pembagian di atas maka sikap Maturidiyah terhadap dalil-dalil naqli dalam masalah-masalah Ilahiyat atau Aqliyat adalah sebagai berikut.

Mereka membagi dalil naqli menjadi dua,
pertama: Dalil naqli di mana keshahihannya dan petunjuk dalilnya bersifat pasti, yakni petunjuk dalilnya tidak bertentangan dengan akal mereka.
Kedua: Dalil naqli di mana keshahihannya bersifat pasti tetapi petunjuk dalilnya bersifat zhanni (tidak pasti), yakni petujuk dalilnya bertentangan dengan akal, menurut mereka.
Yang pertama mereka berdalil kapadanya dalam menetapkan akidah, adapun yang kedua, karena ia tidak menetapkan keyakinan maka ia tidak diterima, dalam kondisi ini mereka mengambil satu dari dua jalan, kalau tidak jalan takwil maka mereka mengambil jalan tafwidh yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Taala.

Maturidiyah menganggap hadits ahad tidak menunjukkan keyakinan, ia hanya menunjukkan zhan(dugaan), dari sini mereka tidak berdalil kepada hadits ahad untuk menetapkan masalah-masalah akidah, walaupun hadits tersebut memenuhi seluruh syarat yang tercantum dalam ushul fikih. Jika hadits tersebut menyelisihi akal, menurut mereka, maka ia harus ditakwilkan, jika tidak mungkin ditakwilkan maka mereka menolaknya dengan alasan rawinya dusta atau lupa atau keliru, jika hadits tersebut adalah hadits yang zhahir(jelas) maka mereka berkata bahwa zhahir hadits tersebut bukan yang dimaksud.

Ini adalah sikap Maturidiyah dahulu dan sekarang, sampai-sampai al-Kautsari dan orang-orang Maturidiyah yang sepaham dengannya menyerang kitab-kitab sunnah tidak terkecuali ash-Shahihain, mereka juga menyerang akidah para imam sunnah seperti Hammad bin Salamah, rawi hadits-hadits sifat dan imam Usman bi Said ad-Darimi, penulis as-Sunan.

Maturidiyah mewajibkan mengetahui Allah melalui akal walaupun syariat belum hadir, ia adalah kewajiban mukallaf pertama kali, tidak ada alasan untuk meninggalkannya, jika dia meninggalkannya maka dia diazab karenanya walaupun para nabi dan rasul belum diutus.

Maturidiyah menetapkan baik dan buruk dengan berpijak kepada akal semata, menurut mereka akal mampu mengetahui kebaikan dan keburukan segala perkara.

Maturidiyah berpendapat bahwa tauhid adalah menetapkan bahwa Allah adalah Esa dalam Dzatnya, tidak ada padanan dan tidak ada bagian bagiNya, Esa dalam sifatNya, tidak ada yang menyerupaiNya, Esa dalam perbuatanNya, tidak ada yang berserikat denganNya dalam menciptakan makhluk. Oleh karena itu mereka berusaha maksimal menetapkan tauhid versi ini dengan pertimbangan bahwa al-Ilah menurut mereka adalah yang mampu membuat sesuatu yang baru. Dalam hal ini mereka menggunakan kiyas-kiyas dan dalil-dalil aqli falsafi ala Mu’tazilah dan Jahmiyah.

Maturidiyah menetapkan asma`ul husna bagi Allah, mereka berkata, Allah tidak di beri nama kecuali dengan nama di mana Allah menamakan diriNya dengannya, menurut mereka bab asma`ul husna bersifat tauqifiyah, hanya saja mereka memasukkan beberapa yang bukan merupakan nama Allah Taala ke dalam namaNya seperti ash-Shani’, al-Qadim, adz-Dzat.

Maturidiyah hanya menetapkan delapan sifat Allah saja yaitu al-Hayat, al-Qudrah, al-Ilm, al-Iradah, as-Sam’u, al-Bashar, al-Kalam dan at-Takwin. Sifat-sifat Allah yang lain yang ditetapkan oleh al-Qur`an dan sunnah; sifat-sifat khabariyah baik dzatiyah maupun fi’liyah, menurut Maturidiyah harus dinafikan semuanya karena ia tidak berada dalam jangkuan akal.

Maturidiyah meyakini bahwa al-Qur`an adalah kalam Allah Taala yang ada dalam diri, tidak didengar, yang didengar adalah ungkapan dari kalam Allah, al-Qur`an bukan kalam Allah secara hakiki, dari sini Maturidiyah berpendapat bahwa seluruh kitab Allah termasuk al-Qur`an adalah makhluk.

Maturidiyah beranggapan bahwa iman hanya sekedar membenarkan dalam hati saja, sebagian dari mereka menambahkan ‘pengakuan dengan lisan’. Iman menurut mereka tidak bertambah dan tidak berkurang karena iman hanya sekedar membenarkan. Maturidiyah berpendapat bahwa Islam dan iman adalah dua kata sinonim.

Maturidiyah beriman kepada perkara-perkara sam’iyat seperti keadaan alam barzakh, alam akhirat meliputi hasyr (pengumpulan manusia), mizan (timbangan amal), shirath (titian), syafaat, surga dan neraka. Mereka menetapkan semua itu karena sumber talaqqinya adalah dalil sam’i, ia termasuk perkara-perkara yang mungkin dan didukung oleh dalil-dalil al-Qur`an dan sunnah.

Maturidiyah menetapkan Khulafa` Rasyidin yang empat sesuai dengan urutannya, Abu Bakar, kemudian Umar , kamudian Usman, kemudian Ali. Apa yang terjadi di antara para sahabat, menurut mereka, adalah kekeliruan yang berasal dari ijtihad, oleh karena itu wajib menahan diri dengan tidak menyerang mereka, karena menyerang mereka bisa merupakan kekufuran atau bid’ah atau kefasikan. Maturidiyah berpendapat bahwa khilafah ada pada Quraisy, shalat tetap dilaksanakan di belakang imam baik shalih maupun fajir, memberontak pemimpin yang fajir menurut mereka tidak diperbolehkan.

Maturidiyah menetapkan takdir, kodrat dan kemampuan, bahwa apa yang terjadi di alam ini dengan masyi`ah dan kehendak Allah Taala, bahwa perbuatan manusia yang baik dan yang buruk adalah ciptaan Allah, manusia melakukan perbuatannya dengan suka rela tidak dipaksa atasnya, karena itu manusia diberi balasan pahala atau siksa.

Dari al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzahib wa al-Ahzab al-Mu’ashirah.